Sariputta | Suttapitaka | Perumpamaan Burung Puyuh Sariputta

Perumpamaan Burung Puyuh

Laṭukikopama (MN 66)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri orang-orang Anguttarāpa di mana terdapat sebuah pemukiman bernama Āpaṇa.

Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, pergi ke Āpaṇa untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Āpaṇa dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi ke suatu hutan untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

Pada pagi hari itu, Yang Mulia Udāyin merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia juga pergi ke Āpaṇa untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan di Āpaṇa dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia pergi ke hutan yang sama untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

Kemudian, sewaktu Yang Mulia Udāyin sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikirannya: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!”

Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Udāyin bangkit dari meditasinya, pergi menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’ Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah-tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makan dua kali kami yang lebih mewah, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sop di siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ Hampir semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku melalui cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ Aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu yang sedang mengumpulkan dana makanan.’—‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati! Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”

“Demikian pula, Udāyin, terdapat orang-orang sesat di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini,’ mengatakan: ‘Apalah hal kecil dan remeh seperti ini? Petapa ini terlalu cerewet!’ Dan mereka tidak meninggalkan hal itu dan mereka menunjukkan sikap tidak sopan terhadapKu serta terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Bagi mereka hal itu menjadi tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan menjadi gandar yang tebal.

“Misalkan, Udāyin, seekor burung puyuh terjebak oleh tanaman rambat kering dan karenanya dapat mengakibatkan luka, tertangkap, atau kematian. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tanaman rambat kering yang menjebak burung puyuh itu yang dapat mengakibatkan luka, tertangkap, atau kematian, baginya adalah tali pengikat yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.’ Apakah ia berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena bagi burung puyuh itu tanaman rambat kering yang mengikatnya dan dapat mengakibatkan luka, tertangkap, atau kematian, baginya adalah tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan gandar yang tebal.”

“Demikian pula, Udāyin, terdapat orang-orang sesat di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ … tidak meninggalkan hal itu dan mereka menunjukkan sikap tidak sopan terhadapKu serta terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Bagi mereka hal itu menjadi tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan menjadi gandar yang tebal.

“Udāyin, terdapat anggota keluarga tertentu di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini,’ mengatakan: ‘Apalah hal kecil dan remeh seperti ini yang harus ditinggalkan, Sang Bhagavā memberitahukan kepada kita untuk meninggalkan, Yang Sempurna memberitahukan kepada kita untuk melepaskan.’ Namun mereka meninggalkannya dan tidak memperlihatkan sikap tidak sopan terhadapKu atau terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran terasing seperti rusa liar. Bagi mereka hal tersebut menjadi tali pengikat yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.

“Misalkan, Udāyin, seekor gajah besar dengan gading sepanjang tiang kereta, dewasa dalam posturnya, dari keturunan yang baik, dan terbiasa dalam pertempuran, terikat dengan tali kulit yang kuat, tetapi hanya dengan sedikit menggerakkan badannya ia dapat memutuskan dan menghancurkan tali itu dan kemudian pergi ke manapun yang ia sukai. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tali kulit yang kuat itu yang mengikat gajah besar itu … baginya adalah tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan gandar yang tebal.’ Apakah ia berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Tali kulit yang kuat itu yang mengikat gajah besar itu, yang hanya dengan sedikit menggerakkan badannya ia dapat memutuskan dan menghancurkan tali itu dan kemudian pergi ke manapun yang ia sukai, baginya adalah tali pengikat yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.”

“Demikian pula, Udāyin, terdapat anggota keluarga tertentu di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ … meninggalkannya dan tidak memperlihatkan sikap tidak sopan terhadapKu atau terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran terasing seperti rusa liar. Bagi mereka hal tersebut menjadi tali pengikat yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.

“Misalkan, Udāyin, ada seseorang yang miskin, melarat, tidak punya uang, dan ia memiliki sebuah pondok bobrok yang terbuka bagi burung-burung gagak, bukan jenis terbaik, dan satu ranjang kayu, bukan jenis terbaik, dan beberapa biji-bijian dan benih labu dalam pot, bukan jenis terbaik, dan seorang istri yang kurus, bukan jenis terbaik. Ia melihat seorang bhikkhu di halaman vihara sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya tercuci bersih setelah memakan makanan lezat, menekuni pikiran yang lebih tinggi. Ia mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya kondisi petapa itu! Betapa sehatnya kondisi petapa itu! Seandainya aku dapat mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah!’ Tetapi karena tidak mampu meninggalkan sebuah pondok bobrok yang terbuka bagi burung-burung gagak, bukan jenis terbaik, dan satu ranjang kayu, bukan jenis terbaik, dan beberapa biji-bijian dan benih labu dalam pot, bukan jenis terbaik, dan istrinya yang kurus, bukan jenis terbaik, maka ia tidak mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tali yang mengikat orang itu sehingga ia tidak dapat meninggalkan sebuah pondok bobrok … dan istrinya yang kurus, bukan jenis terbaik, maka ia tidak mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah—baginya adalah adalah tali pengikat yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.’ Apakah orang itu berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Tali yang mengikat orang itu sehingga ia tidak dapat meninggalkan sebuah pondok bobrok … dan istrinya yang kurus, bukan jenis terbaik, maka ia tidak mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah—baginya hal-hal tersebut adalah tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan gandar yang tebal.”

“Demikian pula, Udāyin, terdapat orang-orang sesat di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ … tidak meninggalkan hal itu dan mereka menunjukkan sikap tidak sopan terhadapKu serta terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Bagi mereka hal itu menjadi tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan menjadi gandar yang tebal.

“Misalkan, Udāyin, ada seorang perumah-tangga kaya atau putera perumah-tangga kaya, dengan banyak harta dan kekayaan, dengan banyak batangan emas, banyak lumbung, banyak ladang, banyak tanah, banyak istri, dan banyak budak laki-laki dan perempuan. Ia melihat seorang bhikkhu di halaman vihara sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya tercuci bersih setelah memakan makanan lezat, menekuni pikiran yang lebih tinggi. Ia mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya kondisi petapa itu! Betapa sehatnya kondisi petapa itu! Seandainya aku dapat mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah!’ Dan karena mampu meninggalkan banyak batangan emasnya, banyak lumbungnya, banyak ladangnya, banyak tanahnya, banyak istrinya, dan banyak budaknya laki-laki dan perempuan, maka ia mampu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Sekarang misalkan seseorang berkata: ‘Tali yang mengikat orang itu sehingga ia dapat meninggalkan batangan emasnya … banyak budaknya laki-laki dan perempuan, dan mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah—baginya hal-hal tersebut adalah tali pengikat yang kuat, kokoh, tidak lapuk dan gandar yang tebal.’ Apakah orang itu berkata dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia. Tali yang mengikat orang itu sehingga ia dapat meninggalkan batangan emasnya … banyak budaknya laki-laki dan perempuan, dan mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah—baginya hal-hal tersebut adalah tali pengikat yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.”

“Demikian pula, Udāyin, terdapat anggota keluarga tertentu di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini’ … meninggalkannya dan tidak memperlihatkan sikap tidak sopan terhadapku atau terhadap para bhikkhu lain yang menyukai latihan. Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran terasing seperti rusa liar. Bagi mereka hal tersebut menjadi tali pengikat yang lunak, lemah, lapuk dan tanpa inti.

“Udāyin, terdapat empat jenis orang yang ada di dunia ini. Apakah empat ini?

“Di sini, Udāyin, seseorang mempraktikkan jalan untuk meninggalkan perolehan, untuk melepaskan perolehan. Ketika ia mempraktikkan jalan itu, ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan perolehan menyerangnya. Ia menerimanya; ia tidak meninggalkannya, tidak melenyapkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak memusnahkannya. Orang demikian Kusebut terbelenggu, bukan tidak terbelenggu. Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman tertentu dari indria-indra dalam diri orang ini.

“Di sini, Udāyin, seseorang mempraktikkan jalan untuk meninggalkan perolehan, untuk melepaskan perolehan. Ketika ia mempraktikkan jalan itu, ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan perolehan menyerangnya. Ia tidak menerimanya; ia meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Orang demikian juga Kusebut terbelenggu, bukan tidak terbelenggu. Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman tertentu dari indria-indria dalam diri orang ini.

“Di sini, Udāyin, seseorang mempraktikkan jalan untuk meninggalkan perolehan, untuk melepaskan perolehan. Ketika ia mempraktikkan jalan itu, ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan perolehan kadang-kadang menyerangnya karena lemahnya perhatian. Perhatiannya mungkin lambat muncul, tetapi ia dengan cepat meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Seperti halnya seseorang meneteskan dua atau tiga tetes air di atas lempengan besi yang dipanaskan sepanjang hari, jatuhnya tetesan air itu mungkin lambat namun air itu akan dengan cepat menguap dan lenyap. Demikian pula, di sini seseorang mempraktikkan jalan … Perhatiannya mungkin lambat muncul, tetapi ia dengan cepat meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Orang demikian juga Kusebut terbelenggu, bukan tidak terbelenggu. Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman tertentu dari indria-indria dalam diri orang ini.

“Di sini, Udāyin, seseorang, setelah memahami bahwa perolehan adalah akar penderitaan, melepaskan dirinya dari perolehan dan terbebaskan dalam hancurnya perolehan. Orang demikian Kusebut tidak terbelenggu, bukan terbelenggu. Mengapakah? Karena Aku telah mengetahui keberagaman tertentu dari indria-indria dalam diri orang ini.

“Ada, Udāyin, lima utas kenikmatan indria. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

“Sekarang, Udāyin, kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indria—kenikmatan yang kotor, kenikmatan yang kasar, kenikmatan yang tidak mulia. Aku katakan bahwa jenis kenikmatan ini tidak boleh dikejar, bahwa jenis kenikmatan ini tidak boleh dikembangkan, bahwa jenis kenikmatan ini tidak boleh dilatih, bahwa jenis kenikmatan ini seharusnya ditakuti.

“Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …

“Ini disebut kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. Aku katakan bahwa jenis kenikmatan ini harus dikejar, bahwa jenis kenikmatan ini harus dikembangkan, bahwa jenis kenikmatan ini harus dilatih, bahwa jenis kenikmatan ini seharusnya tidak ditakuti.

“Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang dapat mengganggu. Dan apakah di sana yang menjadi bagian dari yang dapat mengganggu? Awal pikiran dan kelangsungan pikiran yang belum lenyap di sana, itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang dapat mengganggu.

“Di sini, Udāyin, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang dapat mengganggu. Dan apakah di sana yang menjadi bagian dari yang dapat mengganggu? Sukacita dan kenikmatan yang belum lenyap di sana, itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang dapat mengganggu.

“Di sini, Udāyin, dengan meluruhnya sukacita … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang dapat mengganggu. Dan apakah di sana yang menjadi bagian dari yang dapat mengganggu? Kenikmatan keseimbangan yang belum lenyap di sana, itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang dapat mengganggu.

“Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Sekarang ini, Aku katakan, adalah bagian dari yang tidak mengganggu.

“Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Itu, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

“Di sini, Udāyin, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

“Di sini, Udāyin, dengan meluruhnya sukacita … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

“Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

“Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

“Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

“Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

“Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Itu melampaui sebelumnya. Tetapi itu juga, Aku katakan, belum cukup. Tinggalkanlah, Aku katakan; lampauilah, Aku katakan. Dan apakah yang melampauinya?

“Di sini, Udāyin, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Itu melampaui sebelumnya. Demikianlah Aku mengatakan tentang meninggalkan bahkan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Apakah engkau melihat, Udāyin, belenggu apapun, kecil atau besar, yang pelepasannya tidak Aku katakan?”

“Tidak, Yang Mulia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Udāyin merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com