Sariputta | Jataka | UDUMBARA-JATAKA Sariputta

UDUMBARA-JATAKA


“Buah-buah elo telah masak,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu. Dia membangun pertapaannya untuk ditempati di dekat sebuah desa di daerah perbatasan. Kediaman yang menyenangkan ini berada di atas batu yang rata; sebuah sumur dengan air yang cukup menambah kesenangannya, sebuah desa yang dekat untuk dikelilingi mendapatkan derma makanan dan penduduk-penduduk yang ramah untuk memberikan derma.

Seorang bhikkhu lain dalam perjalanannya tiba di tempat ini. Thera yang berdiam di dalamnya itu pun melakukan kewajibankewajiban sebagai tuan rumah terhadap tamu yang datang, dan pada keesokan harinya membawa dia turut serta berpindapata. Orang-orang memberikannya makanan, dan mengundangnya untuk datang berkunjung lagi pada hari-hari berikutnya. Setelah demikian melewati hari-harinya selama beberapa lama, dia mulai memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa mengusir thera itu keluar dari kediamannya dan mengambil alih. Suatu ketika, dia menghampiri sang thera dan bertanya, “Āvuso, pernahkah Anda mengunjungi Sang Buddha?” “Belum pernah, Bhante, tidak ada orang yang menjaga gubukku. Kalau tidak, saya sudah pergi dari dulu.” “Oh, kalau begitu saya yang akan menjaganya selagi Anda pergi berkunjung ke tempat Sang Buddha,” kata bhikkhu tamu itu. Maka bhikkhu tuan rumah itu pun pergi untuk mengunjungi Sang Buddha setelah terlebih dahulu berpesan kepada para penduduk untuk menjaga bhikkhu tamu tersebut sampai dia kembali nanti. Bhikkhu tamu ini mulai memfitnah bhikkhu tuan rumah tersebut dan mengatakan kepada para penduduk mengenai segala keburukan dirinya.

Sang thera kembali setelah mengunjungi Sang Buddha, tetapi bhikkhu tamu itu tidak mau memberikannya tempat tinggal. Dia kemudian mencari tempat lain untuk ditempati, dan pada keesokan harinya berpindapata di desa. Akan tetapi, para penduduk tidak melakukan kewajiban mereka. Dia menjadi begitu putus asa dan kembali ke Jetavana, dia memberitahukan hal ini kepada para bhikkhu. Mereka pun mulai membicarakannya di dalam balai kebenaran, “Āvuso, bhikkhu anu telah membuat bhikkhu ini keluar dari pertapaannya sendiri dan mengambil alih untuk dirinya sendiri!” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya orang ini membuat orang lain keluar dari kediamannya sendiri,” dan menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmdatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai makhluk dewata penghuni pohon di dalam hutan. Kala itu musim hujan, dan hujan lebat turun selama tujuh hari secara berturut-turut. Seekor kera kecil berwajah merah hidup di dalam sebuah gua karang yang terlindung dari hujan. Sewaktu dia duduk di dalam gua itu, seekor kera besar berwajah hitam, yang basah kuyup, gemetar kedinginan, melihatnya. “Bagaimana caranya agar saya bisa mengusir kera itu keluar dan tinggal di dalamnya?” pikirnya. Setelah mengembangkan perutnya, dan bertingkah seolah-olah dia baru saja menyantap makanan enak, dia berhenti di hadapan kera kecil tersebut dan mengucapkan bait pertama berikut:

Buah-buah elo telah masak, buah-buah beringin juga,

siap dijadikan sebagai santapan bagi para kera.

Marilah ikut bersamaku dan menyantapnya,

mengapa harus menahan lapar di sini?

[446] Kera merah itu memercayainya dan hendak mendapatkan buah-buah itu untuk disantap. Maka dia pun pergi dan mencari buah-buahan itu ke sana ke sini, tetapi tidak ada satu buah pun yang bisa dijumpainya. Kemudian dia pulang kembali, dan melihat kera hitam itu duduk di dalamnya. Dia memutuskan untuk mengalahkannya, maka dengan berhenti di hadapannya, dia kemudian mengulangi bait kedua berikut:

Dia yang memberikan hormat kepada yang lebih tua

akan menjadi bahagia sepanjang hari;

sama seperti yang kurasakan sekarang ini,

setelah menyantap semua buah itu.

Kera besar itu mendengarnya dan mengulangi bait ketiga berikut:

Penghuni hutan bertemu dengan penghuni hutan, seekor

kera telah mencium adanya tipuan dari kera lainnya.

Meskipun yang lebih muda ini pintar akalnya,

tetapi kera tua tidak dapat ditangkap dengan perangkap.

Kera kecil berwajah merah itu pun pergi.

Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, bhikkhu pemilik gubuk (tuan rumah) adalah kera kecil, bhikkhu perampas gubuk (tamu) adalah kera besar, sedangkan dewa pohon adalah diri-Ku sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com