Sariputta | Jataka | SATTAPATTA-JATAKA Sariputta

SATTAPATTA-JATAKA


“Seperti pemuda itu yang dalam jalannya,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Paṇḍuka (Panduka) dan Lohitaka. Dari keenam bhikkhu yang menyimpang (dari peraturan winaya),dua tinggal di dekat Rājagaha—Mettiya dan Bhummaja, dua tinggal di dekat Kīṭāgiri—Assaji dan Punabbasu, dan dua lagi tinggal di dekat Sāvatthi—Panduka dan Lohitaka. Mereka mempertanyakan masalah-masalah di dalam Dhamma; siapa pun teman dan rekan mereka, mereka akan membesarkan hati dengan berkata, “Anda tidaklah lebih buruk dari ini, Āvuso, dalam al kelahiran, keturunan atau moralitas. Jika Anda terus memberikan pendapat, maka mereka akan mendapatkan hal yang lebih baik lagi dari Anda.” Dengan mengatakan demikian, mereka membuat teman dan rekan mereka tidak memberikan pendapat, sehingga perselisihan dan pertengkaran dan persaingan muncul. Para bhikkhu lainnya memberitahukan ini kepada Yang Terberkahi. Yang Terberkahi mengumpulkan para hikkhu karena masalah ini dan memanggil Panduka dan Lohitaka, kemudian bertanya kepada mereka, “Benarkah, Para Bhikkhu, bahwasanya kalian mempertanyakan masalah-masalah, dan membuat orang-orang tidak memberikan pendapat mereka?” “Benar, Bhante,” jawab mereka. “Kalau begitu,” kata Beliau, “kelakuan kalian sama seperti pemuda dan burung bangau.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan di dalam sebuah keluarga di Desa Kāsi. Ketika dewasa, bukannya menyokong kehidupan dengan berladang atau berdagang, dia malah mengumpulkan lima ratus perampok dan menjadi ketua mereka, hidup dengan melakukan perampokan di jalan dan rumah.

Suatu ketika, seorang tuan tanah meminjamkan uang seribu keping kepada seseorang dan meninggal sebelum sempat mengambilnya kembali. Beberapa lama kemudian, istrinya yang berbaring di ranjang kematiannya, berkata kepada putranya, “Anakku, ayahmu pernah memberikan uang seribu keeping kepada seseorang dan meninggal sebelum sempat menerimanya kembali. Jika saya meninggal juga, orang itu tidak akan memberikannya kembali kepadamu. Pergilah, selagi saya masih hidup, cari orang itu untuk mengambilnya kembali.” Maka putranya pun pergi, dan mendapatkan uang tersebut. Sang ibu kemudian meninggal; tetapi karena dia begitu mencintai putranya sehingga kemudian terlahir sebagai seekor serigala di jalan yang (selalu) dilewati olehnya. Kala itu, ketua perampok dengan kawanannya sedang berada di jalan tersebut, menanti untuk merampok orang-orang yang melewatinya. Ketika putranya itu sampai di jalan masuk ke dalam hutan tersebut, serigala itu berputar ke sana ke sini dan memintanya untuk tidak masuk, dengan berkata, “Anakku, janganlah masuk ke dalam hutan ini.

Di sana ada perampok yang akan membunuhmu dan mengambil uangmu!” Akan tetapi, pemuda itu tidak mengerti apa yang dimaksud olehnya. “Pertanda buruk!” katanya, “serigala ini ingin menghalangi jalanku.” Dia pun mengusirnya dengan kayu dan bongkahan tanah, kemudian masuk ke dalam hutan itu. Dan seekor bangau terbang ke arah para perampok itu dan bersuara, “Seorang pemuda sedang berjalan ke sini dengan uang seribu keping di tangannya. Bunuhlah dia dan ambillah uangnya!”

Pemuda itu tidak mengerti apa yang dilakukan oleh burung itu, jadi dia berpikir, “Pertanda bagus! Burung ini memberikan pertanda baik kepadaku!” Dia memberi salam kepadanya dengan hormat dan berkata, “Teruslah bersuara, teruslah bersuara!”

Bodhisatta yang memahami makna dari segala suara memerhatikan kedua hewan tersebut dan berpikir, “Serigala yang di sana pastilah ibu dari pemuda ini, sehingga dia berusaha untuk menghentikannya dan memberi tahu dirinya bahwa dia akan dibunuh dan dirampok. Sedangkan bangau ini pastilah musuhnya, sehingga dia mengatakan ‘Bunuhlah dia dan ambillah uangnya!’. Dan pemuda ini sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi, mengusir ibunya pergi yang menginginkan kebaikan dirinya, memuja bangau yang menginginkan keburukan dirinya karena memercayai bahwa dia adalah pertanda baik. Pemuda ini adalah seorang yang dungu.”

(Walaupun para Bodhisatta adalah makhluk agung, tetapi kadang-kadang mereka terlahir sebagai orang jahat; dikatakan ini terjadi karena kesalahan dalam gugus bintang). Maka pemuda itu terus berjalan dan kemudian berjumpa dengan para perampok tersebut. Bodhisatta menangkapnya dan berkata, “Di mana kamu tinggal?” “Di Benares.” “Kamu datang ari mana?” “Ada uang seribu keping yang merupakan milikku di desa anu. Saya barusan datang dari sana.” “Apakah kamu mendapatkan uangnya?” “Ya.” “Siapa yang memintamu ke sana?” “Tuan, ayahku sudah meninggal dan ibuku sedang sekarat. Ibukulah yang memintaku pergi karena dia berpikir bahwa saya tidak akan mendapatkan uang ini kembali jika dia meninggal nantinya.” “Dan apakah kamu tahu apa yang telah terjadi kepada ibumu sekarang?” “Tidak, Tuan.” “Dia meninggal setelah kamu pergi. Begitu cintanya dia kepada kamu sehingga seketika itu juga dia menjadi seekor serigala, dan terus-menerus berusaha menghentikan langkahmu (tadi) karena takut kamu akan dibunuh. Dia adalah makhluk yang tadi kamu usir pergi. Sedangkan bangau itu adalah seorang musuhmu, yang datang dan memberi tahu kami untuk membunuhmu dan merampok uangmu. Kamu adalah orang yang begitu dungu sehingga berpikir bahwa ibumu sendiri adalah makhluk pembawa sial di saat dia sebenarnya menginginkan kebaikan dirimu, dan berpikir bahwa bangau itu adalah makhluk pembawa keberuntungan di saat dia sebenarnya menginginkan keburukan dirimu. Dia tidak memberikan apa pun yang baik kepadamu, sedangkan ibumun begitu baik terhadap dirimu. Simpanlah uangmu itu dan pergilah!” Dia melepaskannya pergi.

Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau mengulangi bait-bait berikut:

Seperti pemuda itu yang dalam perjalanannya, berpikir bahwa serigala hutan itu adalah seorang musuh, menghalangi jalannya, padahal serigala melakukan itu demi kebaikannya:

Bangau jahat itu dianggap sebagai sahabat, yang sebenarnya merencanakan kehancuran baginya:

Demikianlah orang lain, yang berada di sini,

membuat teman-temannya salah paham;

mereka tidak akan mendapatkan dukungannya,

mereka yang menasihati dirinya demi kebaikannya.

Dia percaya ketika yang lain memujinya—padahal sebenarnya direncanakan sesuatu yang buruk baginya:

seperti pemuda di masa lampau itu yang menyukai

burung bangau yang terbang di atasnya.

Setelah mengucapkan ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran-Nya: “Pada masa itu, ketua perampok adalah diri-Ku sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com