Sariputta | Jataka | SAMMUDA-JATAKA Sariputta

SAMMUDA-JATAKA


“Siapakah yang terbang,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Thera Upananda. Bhikkhu ini adalah seorang pemakan dan peminum yang banyak, tidak ada yang membuatnya puas, bahkan persediaan berupa satu muatan kereta. Selama masa vassa, dia menghabiskan waktunya di dua atau tiga tempat tinggal, dengan meninggalkan sandalnya di satu tempat, tongkatnya di tempat lain dan kendi airnya di tempat yang lainnya lagi. Ketika dia berkunjung ke sebuah wihara desa dan melihat para bhikkhu yang mendapatkan segala perlengkapan mereka, dia mulai membicarakan tentang empat jenis petapa yang berpuas hati281 (ariya); mengambil pakaian mereka, membuat mereka mengambil pakaian dari tumpukan debu; membuat mereka mengambil patta yang terbuat dari tanah, membuat mereka memberikan patta yang terbuat dari logam yang diinginkannya; kemudian dia memasukkan semuanya ke dalam sebuah kereta dan membawanya pergi ke Jetavana.

Pada suatu hari, para bhikkhu mulai membicarakannya di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Upananda dari suku Sakya, seorang pemakan banyak, seorang yang tamak, memberikan ajaran kepada yang lain, dan dia datang ke sini dengan membawa muatan satu kereta penuh berupa barang-barang milik mereka!” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. “Para Bhikkhu,” Beliau berkata, “Upananda melakukan perbuatan buruk setelah mengajarkan kepuasan diri ini. Seorang bhikkhu hendaknya berkeinginan sedikit terlebih dahulu di dalam dirinya sebelum memuji kelakuan baik yang lain. Hendaklah orang mengembangkan dirinya terlebih dahulu dalam hal-hal yang baik, kemudian barulah melatih orang lain. Orang bijak yang melakukan hal itu tidak akan dicela.”

Setelah demikian memaparkan syair yang terdapat di dalam Dhammapada (syair 158), dan mencela Upananda, Beliau melanjutkan, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Upananda menjadi orang yang tamak, tetapi dahulu kala, dia bahkan berpikiran untuk menyimpan air yang berada di lautan.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa laut. Seekor burung gagak air terbang melewati laut itu. Dia terbang ke sana ke sini, mencari ikan dan kawanan burung lainnya, sambil meneriakkan, “Jangan terlalu banyak minum air laut, berhati-hatilah!” [442] Ketika melihatnya, dewa laut itu mengulangi bait pertama berikut:

Siapakah yang terbang melewati ombak laut asin ini?

Siapakah yang mencari ikan, dan berusaha

menahan monster laut, menghabiskan air di laut ini?

Mendengar ini, gagak air itu menjawabnya dalam bait kedua berikut:

Peminum tidaklah pernah puas hati,

demikian yang dikatakan orang di seluruh penjuru,

sayalah yang ingin mencoba minum air laut ini,

dan mengeringkannya.

Mendengar jawabannya, dewa laut mengulangi bait ketiga berikut:

Laut akan surut pada satu waktu,

dan kemudian pasang kembali pada waktu berikutnya.

Siapa yang bilang laut akan kehabisan air?

Untuk menghabiskan air di dalamnya adalah hal yang sia-sia dilakukan.

Setelah mengucapkan ini, dewa laut tersebut mengubah wujudnya menjadi rupa yang menyeramkan dan mengusir gagak air itu pergi.

Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Upananda adalah gagak air, sedangkan dewa laut adalah diri-Ku sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com