Sariputta | Jataka | SAMMODAMANA-JATAKA Sariputta

SAMMODAMANA-JATAKA


“Saat kerukunan yang berkuasa,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika menetap di Taman Beringin dekat Kapilavatthu, mengenai perselisihan tentang bantalan kepala, yang akan berhubungan dengan Kunāla-Jātaka. Pada kesempatan ini, Sang Guru berkata demikian kepada para kerabatnya, “Para raja, perselisihan antar anggota keluarga adalah tidak layak adanya. Benar, di kehidupan yang lampau, hewan-hewan berhasil mengalahkan musuh mereka ketika mereka hidup rukun, dan benar-benar mengalami kehancuran saat mereka berselisih.” Atas permintaan para kerabatnya, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________

Sekali waktu saat Brahmadatta menjadi Raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung puyuh. Ia tinggal di hutan dan menjadi pemimpin dari beberapa ribu ekor burung puyuh. Pada masa itu terdapat seorang penangkap burung yang datang ke hutan; ia selalu meniru suara burung puyuh, membuat burung-burung itu berkumpul, dan melempar jaring ke arah mereka.

Setelah itu, ia menyimpul sisi-sisi jaring itu menjadi satu, sehingga mereka semua berhimpitan menjadi satu gerombolan. Kemudian, ia akan menjejalkan mereka semua ke dalam keranjang dan membawa mereka pulang untuk dijual, hasil penjualannya akan digunakan untuk menghidupi dirinya. Suatu hari Bodhisatta berkata kepada kawanan burung puyuh tersebut, “Penangkap burung ini merupakan malapetaka untuk kerabat kita. Saya mempunyai sebuah cara agar ia tidak bisa menangkap kita. Mulai sekarang, detik-detik ketika jaring dilemparkan ke arah kalian, tempatkan kepala kalian di mata jaring tersebut dan kalian harus terbang secara serentak beserta jaring ke tempat yang kalian mau, dan biarkan jaring itu jatuh setelah kalian membuat simpul yang rumit; setelah melakukan hal itu, kita dapat melarikan diri dari mata jaring yang telah menjadi beberapa bagian itu.”

“Baik,” jawab mereka semua dengan penuh persetujuan.

Saat berikutnya, ketika jaring itu dilemparkan ke arah mereka, mereka melakukan apa yang telah dikatakan oleh Bodhisatta : — mereka mengangkat jaring itu, dan menjatuhkannya setelah membuat simpul yang rumit, dan membebaskan diri dari jaring tersebut. Ketika penangkap burung masih sibuk menguraikan jaring-jaring tersebut, malam telah tiba; ia pun pulang ke rumah dengan tangan kosong. Keesokan hari dan hari-hari berikutnya, kawanan burung puyuh itu memakai cara yang sama, sehingga sudah menjadi hal yang biasa jika penangkap burung itu sibuk menguraikan jaring hingga matahari terbenam, kemudian pulang dengan tangan kosong. Istri penangkap burung itu marah dan berkata, “Hari demi hari kamu pulang dengan tangan kosong. Menurutku, kamu pasti mempunyai keluarga kedua yang kamu pelihara di tempat lain.”

“Tidak, Istriku,” kata penangkap burung itu, “saya tidak memiliki keluarga kedua yang harus saya pelihara. Kenyataannya, semua burung puyuh itu saling bekerja sama sekarang ini. Saat jaring menimpa mereka, mereka terbang secara bersamaan membawa jaring, kemudian meninggalkan jaring itu dalam keadaan tersimpul. Namun tidak selamanya mereka dapat hidup dalam satu kesatuan. Jangan mempermasalahkan hal ini; begitu mereka mulai terlibat perselisihan antara mereka sendiri, saya akan menangkap kumpulan burung puyuh itu dan membuatmu tersenyum lagi.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini untuk istrinya : —

Saat kerukunan yang berkuasa, burung-burung dapat menahan jaring yang saya lemparkan.

Saat perselisihan muncul, mereka semua akan menjadi mangsaku.

Tidak lama setelah itu, ketika salah seekor burung puyuh hinggap di tanah untuk mencari makan, secara tidak sengaja ia menginjak kepala burung puyuh yang lain. “Siapa yang menginjak kepalaku?” teriak burung itu dengan marah. “Saya, namun saya tidak sengaja. Tolong jangan marah kepadaku,” jawab burung puyuh yang satu. Namun jawaban itu tidak meredakan amarah burung puyuh yang kepalanya terinjak itu. Setelah beberapa kali saling menyahut satu sama lain, mereka mulai saling mencela, dengan berkata, “Saya kira jaring itu diangkat oleh engkau sendiri saja!” Saat mereka saling mencela satu sama lain, Bodhisatta berpikir, “Tidak ada keselamatan bagi mereka yang suka bertengkar. Telah tiba saat bagi mereka untuk tidak mampu mengangkat jaring itu secara bersama lagi. Dengan demikian, saat kehancuran mereka telah datang. Penangkap burung itu akan mendapatkan kesempatannya. Saya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di sini.” Oleh sebab itu, ia dan para pengikutnya pergi ke tempat yang lain. Dengan penuh keyakinan penangkap burung itu kembali lagi beberapa hari kemudian, mula-mula ia mengumpulkan mereka dengan cara meniru suara burung, kemudian melemparkan jaring ke arah mereka. Salah seekor burung puyuh itu berkata, “Saya dengar, saat mengangkat jaring, bulu di kepala kamu semakin sedikit. Sekarang tiba waktumu untuk mengangkat jaring ini.” Yang satu lagi membalas, “Kata burung yang lain, saat mengangkat jaring itu, kedua sayapmu berganti bulu. Sekarang kesempatanmu telah datang, angkatlah jaring ini!”

Sementara mereka saling mempersilakan lawan untuk mengangkat jaring, penangkap burung itu sendiri yang mengangkat jaring itu dan menjejalkan mereka ke dalam satu keranjang dan membawa mereka pulang, agar istrinya bisa tersenyum lagi.
____________________

“Demikianlah, Paduka,” kata Sang Guru, “hal-hal seperti perselisihan antar keluarga adalah tidak layak adanya; perselisihan hanya bisa membawa kehancuran.” Setelah uraian tersebut terakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah burung puyuh yang bodoh di masa itu, dan Saya sendiri adalah burung puyuh yang bijaksana dan baik tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com