Sariputta | Jataka | NANACHANDA-JATAKA Sariputta

NANACHANDA-JATAKA


“Kami tinggal di dalam satu rumah,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang permintaan Yang Mulia Ānanda yang terkabulkan (semuanya). Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Juṇha-Jātaka272, Buku XI.

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari permaisurinya. Dia tumbuh dewasa dan dididik di Takkasilā, kemudian menjadi raja sepeninggal ayahnya. Seorang pendeta kerajaan di masa pemerintahan ayahnya telah dicopot dari jabatannya dan saat itu tinggal di dalam sebuah rumah tua. Pada suatu malam, raja berjalan berkeliling kota dalam samaran untuk menjelajahinya.

Beberapa perampok, yang setelah melakukan pekerjaan mereka, bermabuk-mabukan di sebuah kedai minuman, sedang berjalan pulang ke rumah sambil membawa satu kendi minuman keras. Mereka melihatnya di tengah jalan, dan berkata, “Halo, siapa kamu?” mereka memukulnya jatuh, mengambil pakaian luarnya. Kemudian mereka memungut kendi minuman mereka dan pergi, sembari menakut-nakutinya.

Pendeta kerajaan yang tadi disebutkan, kala itu, sedang berada di jalan memerhatikan gugusan bintang. Dia mengetahui bagaimana raja telah dibawa oleh penjahat dan memanggil istrinya. Sang istri dengan tergesa-gesa datang dan menanyakan ada masalah apa. Dia berkata, “Istriku, raja kita telah jatuh ke tangan para musuh!” “Tuan,” katanya, “apa hubungannya raja dengan Anda? Para brahmananya akan mengurusi dirinya.” Raja mendengar perkataan ini, dan setelah berjalan beberapa jauh ke depan, dia berkata kepada para perampok itu, “Saya hanyalah seorang yang miskin, Tuan-tuan—ambillah pakaianku dan lepaskanlah diriku!” Karena dia mengatakan ini terus-menerus, mereka pun melepaskannya dikarenakan rasa kasihan. Dia memberi tanda di tempat mereka tinggal dan kemudian pulang kembali.

Brahmana itu berkata kepada istrinya, “Istriku, raja kita sekarang telah lepas dari tangan para musuhnya! Raja mendengar perkataan ini juga, sama seperti sebelumnya.

Kemudian raja pulang kembali ke dalam istana. Ketika hari menjelang fajar, raja memanggil para brahmananya dan menanyakan pertanyaan kepada mereka, “Apakah kalian ada memerhatikan gugusan bintang?” “Ya, Paduka.” Apakah gugusan bintang itu beruntung atau tidak beruntung?” “Gugusan bintangnya beruntung, Paduka?” “Tidak ada gerhana?” “Tidak ada, Paduka, tidak ada.” Raja berkata, “Pergi dan jemputlah ke tempatku seorang brahmana dari rumah anu,” memberikan perintah demikian kepada mereka.

Maka mereka pergi menjemput pendeta tua itu dan raja melanjutkan bertanya kepadanya, [428] “Apa Anda melihat gugusan bintang semalam, Guru?” “Ya, Paduka.” “Apakah ada gerhana?” “Ya, Paduka. Semalam Anda jatuh ke tangan para musuhmu, dan tak lama kemudian, Anda bebas kembali.”

Raja berkata, “Demikianlah seharusnya orang yang mampu melihat gugusan bintang.” Dia membubarkan brahmana-brahmana lainnya. Dia memberi tahu pendeta yang lama itu bahwa dia senang dengan dirinya dan menyuruhnya untuk membuat permintaan. Brahmana ini terlebih dahulu minta izin untuk menghubungi keluarganya, dan raja pun mengizinkannya.

Dia memanggil istri, putra, menantu, dan pelayannya, kemudian menjelaskan masalahnya di hadapan mereka. “Raja telah memberikanku satu pilihan hadiah. Apa yang harus kuminta

darinya?”

Istrinya berkata, “Bawakan untukku seratus ekor sapi perah.”

Putranya yang bernama Chatta berkata, “Untukku, sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda Sindhava yang berwarna seperti teratai putih.”

Kemudian menantu perempuannya berkata, “Untukku, cincin permata dan beragam jenis perhiasan lainnya!”

Dan pelayannya yang bernama Puṇṇā berkata, “Untukku, sebuah lesung, alu, dan penampi.”

Brahmana ini sendiri ingin mendapatkan upeti dari sebuah desa sebagai hadiahnya. Maka ketika dia kembali menghadap raja dan raja ingin tahu apakah istrinya telah ditanyakan, dia menjawab, “Ya, Paduka. Akan tetapi, mereka yang saya tanyakan tidaklah memiliki satu pendapat,” dan dia mengulangi bait-bait berikut:

Kami tinggal di dalam satu rumah, tetapi kami semua

menginginkan benda-benda yang berbeda:

Istriku menginginkan seratus ekor ternak;

sebuah desa yang makmur adalah permintaanku;

putraku menginginkan kereta,

menantuku menginginkan perhiasan,

Puṇṇā, si pelayan, menginginkan lesung, alu,dan penampi.

“Baiklah,” kata raja, “mereka akan mendapatkan semua yang mereka inginkan,” dan mengulangi bait terakhir berikut:

Berikan seratus ekor ternak kepada sang istri,

kepada laki-laki ini sebuah desa,

perhiasan kepada menantunya,

kereta dan kuda untuk putranya,

dan untuk pelayannya lesung, alu dan penampi.

Demikian raja memberikan apa yang diinginkan kepada brahmana tersebut, disertai dengan kehormatan-kehormatan lainnya. Dan sejak saat itu, raja menyibukkan brahmana ini dengan urusan pemerintahan dan membuatnya bekerja melayaninya.

Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, brahmana adalah Ānanda, sedangkan raja adalah diri-Ku sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com