Sariputta | Jataka | LOLA-JATAKA Sariputta

LOLA-JATAKA


“Anak dari awan,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang serakah. Dia dibawa ke balai kebenaran, kemudian Sang Guru berkata, “Bukan hanya kali ini dia adalah seorang yang serakah, sebelumnya juga dia adalah seorang yang serakah, dan keserakahannya itu yang membuatnya kehilangan nyawanya, serta sebagai akibatnya orang bijak di masa lampau diusir dari tempat tinggalnya.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, juru masak seorang saudagar di kota itu menggantungkan sebuah keranjang sangkar di dapurnya untuk mendapatkan jasa kebajikan darinya. Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung dara; dia datang dan tinggal di dalam keranjang sangkar tersebut. Kala itu juga ketika terbang melewati dapur itu, seekor burung gagak yang serakah tertarik pada ikan-ikan yang tergeletak beragam jenisnya. Dia menjadi merasa lapar setelahnya. “Bagaimanakah caranya saya bisa mendapatkan ikan-ikan itu?” pikirnya. Kemudian matanya tertuju kepada Bodhisatta. “Saya tahu!” pikirnya lagi, “Saya akan menjadikan burung ini sebagai alatku untuk mendapatkan ikan-ikan itu.” Dan berikut ini adalah bagaimana caranya dia menjalankan rencananya.

Ketika burung dara hendak keluar untuk mencari makanannya, burung gagak itu terbang mengikutinya dari belakang. “Apa yang kamu inginkan dariku, Gagak?” tanya burung dara. “Saya dan kamu tidaklah memakan makanan yang sama. Tetapi saya menyukai dirimu,” kata gagak, “izinkanlah saya menjadi pelayanmu dan mencari makanan bersamamu.”

Burung dara menyetujuinya. Akan tetapi, ketika mereka pergi untuk mencari makanan, burung gagak hanyalah berpura-pura makan bersamanya; dia kemudian akan terbang ke tempat yang lain, mengais tumpukan kotoran sapi dan memakan satu atau dua cacing, dan setelah perutnya kenyang, dia akan terbang kembali—“Hai, Tuan, lama sekali waktu yang kamu butuhkan untuk mencari makan! Kamu tidak tahu kapan waktunya untuk selesai. Ayo, mari kita kembali sebelum hari terlalu gelap.” Dan mereka melakukan hal itu. Ketika mereka pulang bersama, juru masak itu yang melihat burung dara membawa pulang seorang teman, menggantungkan satu keranjang sangkar lagi untuknya.

Dengan cara yang demikian, empat atau lima hari berlalu. Kemudian terjadilah suatu pembelian ikan secara besar-besaran di dapur saudagar kaya tersebut. Betapa inginnya gagak itu untuk mendapatkan beberapa ikan itu! Sejak subuh dia sudah berbaring di sana, sambil merintih dan mengeluarkan suara ribut. Pada pagi hari, burung dara berkata kepada gagak, “Mari, Teman, kita (cari) sarapan pagi.” “Kamu saja yang pergi,” balasnya, “saya lagi sakit perut.” “Seekor burung gagak sakit perut? Omong kosong!” kata burung dara, “Bahkan sumbu lampu tidak bisa bertahan lama di dalam perutmu, dan segala sesuatu yang kamu makan akan langsung dicerna dalam waktu singkat. Sekarang kerjakanlah apa yang kuminta padamu. Janganlah bertingkah seperti ini hanya untuk mendapatkan sedikit ikan!” “Apa maksudmu, Tuan? Saya benar-benar merasa sakit di dalam perutku!” “Baiklah, baiklah,” kata burung dara, “jagalah dirimu.” Dan dia pun terbang pergi.

Juru masak itu telah selesai menyiapkan semua masakannya dan berdiri di pintu dapur, sambil mengusap keringatnya. “Sekaranglah waktunya!” pikir gagak, dan dia hinggap di sebuah piring yang berisikan makanan lezat. “Klik!” juru masak mendengar suara ribut itu dan melihat di sekelilingnya. Tidak lama kemudian dia menangkap burung gagak itu dan mencabuti bulu-bulunya, kecuali jumbai bulunya yang terdapat tepat di atas kepalanya. Dia menggiling jahe dan merica, mencampurnya dengan mentega sisa dan air, kemudian mengoleskannya ke sekujur tubuh gagak. “Terimalah itu karena telah merusak makan malam tuanku, dan karena telah membuatku harus membuang makanan itu!” katanya, dan kemudian melemparnya masuk ke dalam keranjangnya. Oh, betapa sakitnya itu! Burung dara kemudian pulang dari perburuan makanannya. Yang pertama terlihat olehnya adalah sang gagak dalam keadaannya yang demikian. Dia mengolok-olok dirinya. Dia mengucapkan bait berikut ini:

‘Anak dari awan,’ dengan jambul berjumbai-jumbai,

Mengapa Anda mengambil tempat di sangkar temanku?

Ayo kemari, burung bangau.

Temanku, si gagak, mudah marah, kamu harus tahu itu.

Mendengar ini, burung gagak membalasnya dalam bait berikutnya:

Bukanlah bangau yang berjumbai diriku ini,

tidak lain tidak bukan adalah seekor gagak serakah.

Tidak kukerjakan seperti apa yang telah diberitahukan,

maka demikianlah bulu-buluku dicabuti, seperti yang dapat terlihat olehmu.

Dan burung dara membalasnya kembali dalam bait ketiga berikut:

Nantinya kamu akan kembali berduka, saya tahu itu—

adalah sifat alamiahmu untuk melakukannya.

Jika manusia menyiapkan makanan berupa daging (ikan)

maka makanan itu bukanlah untuk dimakan oleh burung-burung kecil.

Kemudian burung dara terbang pergi, sembari berkata, “Saya tidak bisa tinggal dengan makhluk seperti ini.” Dan burung gagak hanya terbaring sambil merintih, sampai akhirnya mati.

Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang serakah itu mencapai tingkat kesucian Anāgāmi:—“Pada masa itu, bhikkhu yang serakah itu adalah burung gagak, dan Aku sendiri adalah burung dara.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com