Sariputta | Jataka | KHADIRANGARA-JATAKA Sariputta

KHADIRANGARA-JATAKA


“Lebih baik saya langsung terjun,” dan seterusnya . Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Anāthapiṇḍika. Anāthapiṇḍika yang menghabiskan lima ratus empat puluh juta, dalam keyakinannya kepada Sang Buddha, dengan membangun wihara yang dananya bersumber dari dia seorang diri, yang tidak menghargai hal lain selain Ti Ratana, setiap hari mengunjungi Sang Guru ketika Beliau sedang berada di Jetawana untuk memberikan pelayanan utama (besar), — satu kali di waktu fajar, satu kali setelah sarapan dan satu kali di sore hari; ada juga pelayanan kecil. Dan ia tidak pernah datang dengan tangan kosong, takut kalau-kalau para samanera dan anak-anak menantikan apa yang dibawanya. Ketika datang diwaktu fajar, ia membawa bubur beras. Setelah sarapan ia membawa gi, mentega segar (nawanita), madu, sari tebu dan sejenisnya. Di sore hari ia membawa wewangian, untaian bunga dan pakaian. Begitu banyak yang ia habiskan hari demi hari, jumlah pengeluarannya tidak terhitung banyaknya. Selain itu, banyak pedagang yang meminjam uang darinya dengan membuat surat hutang, hingga jumlahnya sebesar seratus delapan puluh juta dan saudagar besar itu tidak pernah meminta kembali uang tersebut. Di luar itu, terdapat harta keluarganya sebesar seratus delapan puluh juta yang dikubur di tepi sungai, yang hanyut ke laut ketika dihantam oleh badai; kendi yang tidak beraturan (bentuknya) itu kemudian terguling ke bawah, dengan semua pengikat dan tutupnya dalam keadaan tidak terbuka, tepat ke dasar laut. Di rumahnya juga, selalu tersedia nasi untuk lima ratus orang bhikkhu, — sehingga rumah saudagar tersebut bagi para bhikkhu seperti sebuah kolam yang digali di perempatan jalan, yah, ia sudah seperti ibu dan ayah bagi para bhikkhu. Karena itu, bahkan Yang Tercerahkan Sempurna juga biasa mengunjungi rumahnya, demikian juga dengan delapan puluh maha thera, serta jumlah bhikkhu yang masuk keluar rumahnya sudah tak terhitung jumlahnya.

Rumah Anāthapiṇḍika terdiri dari tujuh tingkat dan memiliki tujuh pintu gerbang; di atas pintu gerbang keempat, tinggal seorang makhluk dewata yang berpandangan salah. Ketika Yang Tercerahkan Sempurna mengunjungi rumah tersebut, ia tidak bisa tinggal di kediamannya di tempat yang tinggi, namun harus turun ke lantai dasar bersama anak-anaknya; demikian juga saat kedelapan puluh maha thera ataupun thera-thera lainnya mengunjungi rumah tersebut. Ia berpikir, “Selama Petapa Gotama dan para siswa-Nya mengunjungi tempat ini, saya tidak dapat hidup dengan tenang; Saya tidak bisa harus selalu turun ke lantai dasar. Saya harus membuat mereka berhenti mengunjungi tempat ini.” Maka suatu hari, saat pengelola usaha Anāthapiṇḍika sedang beristirahat, makhluk dewata ini menampakkan diri di hadapannya.

“Siapakah itu?” tanya lelaki tersebut.

“Saya,” jawabnya, “makhluk yang tinggal di gerbang keempat.”

“Apa yang membuat Anda muncul di sini?”

“Kamu tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh saudagar tersebut. Ia tidak memikirkan masa depannya sendiri, ia terus menggunakan uangnya, untuk memperkaya Petapa Gotama. Ia tidak berdagang, tidak menjalankan usahanya. Nasihatilah saudagar itu untuk mengurus usahanya dan atur agar Petapa Gotama dan para siswa-Nya tidak datang ke rumah ini lagi.”

Lelaki itu menjawab, “Makhluk yang bodoh, jika saudagar itu menghabiskan uangnya, ia melakukan itu atas keyakinannya terhadap ajaran Buddha, yang mengajarkan tentang pembebasan (nibbana). Bahkan jika ia menarik rambutku dan menjualku sebagai budak, saya tidak akan berkata apa-apa. Pergilah!”

Di hari yang lain, makhluk dewata tersebut menemui putra tertua saudagar itu dan memberinya nasihat yang sama. Ia mencemooh makhluk itu dengan cara yang sama. Namun, makhluk dewata itu tidak berani mengucapkan hal yang sama kepada saudagar itu sendiri. Karena kemurahan hatinya yang tanpa akhir dan karena ia tidak menjalankan usahanya, pendapatan saudagar itu berkurang, kekayaannya juga semakin berkurang dan berkurang; akhirnya ia turun derajat menjadi orang miskin; makanan, pakaian, tempat tinggal dan keadaannya tidak seperti apa yang mereka miliki di waktu jaya dulu. Walaupun keadaannya telah berubah, ia masih menjamu para bhikkhu, meskipun tidak mampu mengadakan perjamuan besar lagi. Suatu hari, setelah ia memberikan hormat dan mengambil tempat duduk, Sang Guru bertanya kepadanya, “Tuan (perumah tangga), apakah dana makanan masih dilakukan di rumahmu?”

“Masih, Bhante,” jawabnya, “namun hanya sedikit bubur sekam yang agak asam, sisa semalam.”

“Jangan bersedih, Tuan, dengan berpikir bahwa engkau hanya mampu menawarkan apa yang kurang enak. Jika hatimu tulus, makanan yang dipersembahkan kepada para Buddha, Pacceka Buddha, dan siswa-siswa-Nya pasti akan terasa enak. Mengapa demikian? — Karena besarnya buah perbuatan baik tersebut. Ia yang mampu membuat hatinya tulus memberi, tidak akan pernah memberikan persembahan dana yang tidak dapat diterima;— seperti yang dibuktikan oleh bait berikut ini : —

Jika hati penuh dengan keyakinan, tidak ada persembahan yang tidak berarti kepada para Buddha atau pengikut mereka yang sejati. Dikatakan tidak ada jasa (pelayanan) yang terhitung kecil yang diberikan kepada para Buddha, yang tercerahkan sempurna.

Baik sekali hasil yang diperoleh dari sedikit persembahan makanan — kering, asam ataupun kurang garam.”

Beliau menjelaskan lebih lanjut, “Tuan, walaupun memberikan persembahan yang tidak enak, tetapi engkau berikan itu kepada mereka yang telah berada di dalam Jalan Utama Beruas Delapan (para ariya puggala). Sedangkan Saya, ketika berada di masa Velāma, menggemparkan satu India dengan memberikan tujuh jenis benda persembahan, dan dalam persembahanku yang berlimpah itu seakan-akan saya membuat satu arus dalam lima sungai yang maha besar, — namun saya tidak dapat menemukan satu orang pun yang berlindung kepada Ti Ratana atau yang menjalankan lima latihan moralitas; karena orang-orang yang pantas menerima pemberian itu sangatlah langka untuk dapat ditemukan. Karena itu, jangan biarkan hatimu terganggu oleh pikiran bahwa persembahanmu tidak enak.”

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi Velāmaka Sutta.

Saat itu, peri yang tidak berani berbicara pada saudagar tersebut di masa jayanya itu berpikir bahwa kini saudagar tersebut telah jatuh miskin dan mungkin ia mau mendengar perkataannya, maka ia masuk ke kamar saudagar tersebut ditengah malam, menampakkan diri di hadapannya, dengan berdiri melayang di udara. “Siapakah itu?” tanya saudagar tersebut saat menyadari kehadirannya. “Saya adalah makhluk dewata, Saudagar yang baik, yang tinggal di gerbang keempat rumahmu.”

“Apa yang membuatmu muncul di sini?”

“Untuk menasihatimu.”

“Lanjutkan, kalau demikian.”

“Saudagar yang baik, kamu tidak memikirkan masa depanmu maupun masa depan anak-anakmu. Kamu menghabiskan kekayaanmu dalam jumlah besar untuk ajaran Petapa Gotama; Kenyataannya, pengeluaran yang terus menerus dalam jangka panjang dan tidak mengadakan usaha yang baru, membuatmu dibawa ke jurang kemiskinan oleh Petapa Gotama. Walaupun demikian, kemiskinan tidak membuatmu melepaskan keyakinan terhadap Petapa Gotama! Para petapa masuk keluar rumahmu saat ini sama seperti sebelumnya. Apa yang mereka dapatkan darimu tidak akan pernah kembali lagi. Hal ini harus mendapat perhatian khusus. Mulai sekarang janganlah mengunjungi Petapa Gotama dan jangan biarkan para siswa-Nya menginjakkan kakinya ke rumahmu lagi. Jangan pernah berpaling untuk melihat Petapa Gotama lagi; uruslah usaha dagang dan jual belimu untuk mendapatkan kembali kekayaan keluargamu.”

Saudagar itu bertanya kepada sang dewata, “Apakah ini nasihat yang ingin engkau sampaikan kepadaku?”

“Benar.”

Saudagar itu berkata, “Sang Dasabala yang sangat hebat telah membuat saya mampu menahan seratus, seribu, yah, menahan seratus ribu makhluk dewata sepertimu!

Keyakinan saya sekuat dan sekokoh Gunung Sineru! Pada dasarnya, saya mencurahkan diri pada keyakinan yang akan membawa saya pada nibbana. Kata-katamu sangat jahat; engkau memberikan sebuah pukulan pada ajaran Sang Buddha, engkau makhluk yang jahat dan lancang. Saya tidak percaya bahwa saya tinggal di bawah satu atap yang sama denganmu. Pergilah engkau dari rumahku sekarang juga dan cari perlindungan di tempat lain!” Mendengar perkataan orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotāpanna dan seorang siswa ariya Sang Buddha, ia tidak bertahan di sana lagi, melainkan kembali ke tempat tinggalnya dan membawa anak-anaknya pergi dari rumah tersebut. Pada saat meninggalkan tempat itu, ia memutuskan bahwa ia tidak dapat tinggal di rumah yang lain, ia akan menenangkan saudagar tersebut dan kembali tinggal di rumahnya lagi. Dengan pikiran tersebut, ia pergi ke tempat perwakilan para makhluk dewata di kota itu, memberikan hormat dan berdiri di hadapan para perwakilan itu. Ketika ditanya mengapa ia datang, ia berkata, “Tuanku, saya telah mengucapkan kata-kata yang dinilai lancang oleh Anāthapiṇḍika, ia marah dan mengusir saya dari rumahnya. Bawalah saya ke sana dan damaikanlah kami, sehingga ia akan mengizinkan saya tinggal di rumahnya lagi.”

“Apa yang kamu katakan pada saudagar itu?”

“Saya katakan padanya agar jangan memberikan dukungan kepada Buddha dan Sanggha di masa mendatang, dan jangan biarkan Petapa Gotama menginjakkan kaki di rumahnya lagi. Inilah perkataan saya padanya, Tuanku.”

“Kata-katamu sangat jahat, memberikan sebuah pukulan pada keyakinan tersebut. Saya tidak dapat membawamu ke rumah saudagar tersebut.” Tidak mendapatkan dukungan dari perwakilan tersebut, ia meminta bantuan dari Empat Raja Dewa. Dan menerima penolakan yang sama dari mereka, dewata itu kemudian menemui Sakka, raja para dewa, dan menceritakan kejadian itu kepadanya serta memohon padanya dengan penuh kesungguhan, seperti berikut ini, “Dewa, tanpa tempat tinggal, saya berkeluyuran seperti tunawisma dengan membawa anak-anak saya. Dengan kekuasaanmu, berikanlah tempat tinggal bagi saya.”

Sakka juga berkata padanya, “Engkau telah melakukan hal yang jahat; memberikan pukulan pada sebuah keyakinan yang tidak tergoyahkan. Saya tidak dapat berbicara pada saudagar itu untuk kepentinganmu. Namun saya dapat memberikan satu jalan yang dapat membuat saudagar itu memaafkanmu.”

“Tolong tunjukkan padaku, Dewa.”

“Ada orang yang mempunyai hutang sebesar seratus delapan puluh juta padanya. Menyamarlah menjadi wakilnya, dan tanpa memberitahu siapa pun, pergilah ke rumah mereka dengan membawa surat hutang mereka, dengan didampingi beberapa yaksa muda. Berdirilah di tengah-tengah rumah mereka dengan surat hutang di satu tangan dan bukti pembayaran di tangan yang lain, takutilah mereka dengan kekuatan yaksa yang engkau bawa, katakan, ‘Ini adalah tanda terima hutangmu. Saudagar kami tidak mempermasalahkan hal ini ketika ia masih kaya, namun sekarang ia telah jatuh miskin, kalian harus membayar hutang kalian.’ Dengan kekuatan yaksa tersebut, tagih seluruh seratus delapan puluh juta itu dan isikan ke dalam tempat penyimpanan hartanya yang telah kosong. Ia memiliki harta lain yang terkubur di tepi Sungai Aciravatī, namun saat pinggiransungai itu disapu oleh badai, harta itu ikut hanyut ke dalam laut. Dapatkan kembali harta itu dengan kekuatan gaib yang kamu miliki, dan simpanlah mereka ke dalam kotak hartanya. Lebih lanjut, ada uang sebesar seratus delapan puluh juta yang tidak ada pemiliknya di tempat anu, bawakan juga uang-uang itu dan isi ke dalam tempat penyimpanan hartanya yang kosong. Setelah engkau menebus kesalahanmu dengan memperoleh kembali lima ratus empat puluh juta ini, minta agar saudagar tersebut memaafkanmu.”

“Baik, Dewa,” jawabnya. Ia melakukan semua pekerjaan itu dengan patuh, sesuai dengan petunjuk yang diberikan kepadanya. Setelah memperoleh kembali semua uang itu, ia pergi ke kamar saudagar itu jauh di tengah malam, dan muncul di hadapannya dengan berdiri di udara. Saudagar itu menanyakan siapakah yang berdiri di sana, dan ia menjawab, “Saya, Saudagar yang baik, makhluk dewata yang buta dan bodoh, yang tinggal di atas gerbang keempat rumahmu. Dalam kebodohan yang membabi buta, saya tidak mengetahui tentang kebajikan dari seorang Buddha, sehingga saya mengucapkan kata-kata seperti itu di masa lalu. Maafkanlah kesalahan saya! Berdasarkan petunjuk dari Sakka, raja para dewa, saya telah menebus kesalahan saya dengan mengumpulkan kembali seratus delapan puluh juta dari piutangmu, seratus delapan puluh juta dari hartamu yang telah hanyut ke dalam laut dan seratus delapan puluh juta harta tanpa pemilik yang terkubur di tempat anu, — mengumpulkan lima ratus empat puluh juta secara keseluruhan, yang telah saya isikan ke dalam tempat penyimpanan hartamu. Jumlah yang kamu habiskan untuk wihara di Jetawana telah terkumpul kembali. Sementara saya tidak mempunyai tempat tinggal, saya sangat menderita. Jangan ingat lagi pada apa yang telah saya lakukan dalam kebodohan saya, Saudagar yang baik, maafkanlah saya.”

Mendengar ucapannya, Anāthapiṇḍika berpikir, “Ia adalah seorang makhluk dewata, mengatakan ia telah menebus kesalahannya, dan mengakui kesalahannya. Sang Guru seharusnya memikirkan hal ini dan menunjukkan kebaikan-Nya pada dewa ini. Saya akan membawanya menghadap Yang Tercerahkan Sempurna.” Maka Anāthapiṇḍika berkata, “Dewa yang baik, jika kamu mau saya memaafkanmu, tanyakanlah hal ini dihadapan Sang Guru.”

“Baik,” jawabnya, “akan saya lakukan. Bawalah saya bersamamu untuk menghadap Sang Guru.”

“Tentu,” jawabnya. Pagi-pagi sekali, saat malam baru saja berlalu, ia membawa dewa itu bersamanya untuk menghadap Sang Guru, dan menyampaikan semua perbuatan makhluk dewata itu kepada Sang Bhagawan. Mendengar hal tersebut, Sang Guru berkata, “Engkau lihat, Tuan perumah-tangga, bagaimana orang yang penuh kejahatan menganggap perbuatan jahatnya sebagai hal yang baik sebelum ia menerima akibat perbuatannya. Setelah akibat perbuatannya berbuah, ia akan melihat kejahatan sebagai kejahatan adanya. Sama halnya dengan orang baik yang melihat kebaikannya sebagai kejahatan sebelum hasil perbuatannya berbuah. Saat perbuatan baiknya telah masak, ia akan melihatnya sebagai kebaikan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi syair Dhammapada berikut ini :

Orang bodoh berpikir kejahatannya sebagai hal yang

baik selama akibat perbuatannya belum berbuah.

Saat buah kejahatannya telah masak,

orang bodoh pasti akan melihat ‘apa yang aku perbuat’ adalah jahat.

Orang baik berpikir kebaikannya sebagai suatu

kejahatan selama perbuatannya belum berbuah.

Saat buah kebaikannya telah masak,

orang baik akan melihat ‘apa yang aku perbuat’ adalah

baik.

Saat syair ini selesai disampaikan, makhluk dewata itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Ia bersujud di kaki Sang Guru yang mempunyai lambang roda, berseru, “Saya dinodai oleh nafsu keinginan, dirusak oleh kejahatan, disesatkan oleh khayalan dan dibutakan oleh ketidaktahuan. Saya mengucapkan hal-hal yang jahat karena tidak mengetahui tentang kebaikan-Mu. Maafkanlah saya.” Permohonan maafnya diterima oleh Sang Guru dan saudagar tersebut.

Saat itu, Anāthapiṇḍika sendiri yang mengucapkan pujian kepada Sang Guru dengan berkata, “Bhante, walaupun makhluk ini telah berusaha untuk menghentikan dukungan saya terhadap Buddha dan para siswa-Nya, tetapi ia tidak berhasil; meskipun ia mencoba menghentikan persembahan dana saya, saya tetap melakukannya! Bukankah ini merupakan salah satu kebaikan-Mu?” Sang Guru berkata, “Engkau, perumah-tangga, adalah seorang yang telah mencapai Sotāpanna dan merupakan siswa terpilih, keyakinanmu kokoh dan pandanganmu suci. Tidak heran kalau kamu tidak bisa dihentikan oleh makhluk yang tidak bertenaga ini. Adalah suatu keajaiban saat ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kelahiran yang lampau, sebelum seorang Buddha muncul setelah mencapai Penerangan Sempurna, memberikan persembahan dari jantung bunga teratai, walaupun Mara, raja dari alam setan penggoda, muncul di tengah langit, berseru, ‘Jika kamu memberikan persembahan itu, kamu akan dipanggang dalam neraka ini.’ — bersamaan itu, ia menunjukkan pada mereka sebuah lubang sedalam delapan puluh kubik, yang dipenuhi dengan bara api yang merah membara.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan Anāthapiṇḍika Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga saudagar besar di Benares, ia dibesarkan dalam kemewahan seperti seorang putra mahkota. Saat mencapai kedewasaan di usia enam belas tahun, ia sempurna dalam semua keahlian. Setelah ayahnya meninggal, ia mengisi posisi saudagar besar dan membangun enam balai distribusi dana, masing-masing satu di keempat gerbang kota, satu di pusat kota dan satu lagi di depan gerbang rumahnya yang megah. Ia hidup dengan harta yang berlimpah, ia juga menjaga sila dan menjalankan uposatha.

Suatu hari, saat sarapan, ketika berbagai makanan pilihan dengan rasa dan jenis yang sangat beraneka ragam dihidangkan untuk Bodhisatta, seorang Pacceka Buddha terbangun setelah tujuh hari berada dalam arus jhana, melihat saat itu adalah waktu baginya untuk melakukan pindapata, ia berpikir baik baginya untuk mengunjungi saudagar besar dari Benares di pagi itu. Ia membersihkan giginya dengan menggunakan sikat gigi yang terbuat dari daun sirih, berkumur dengan air dari Danau Anotatta, mengenakan jubah dalamnya saat berdiri di tanah merah, mengencangkan sabuk, mengenakan jubah luarnya; dan dilengkapi dengan sebuah patta sesuai dengan tujuannya untuk melakukan pindapata, ia pergi melalui udara dan tiba di gerbang rumah tersebut bersamaan dengan saat sarapan untuk Bodhisatta dihidangkan.

Begitu Bodhisatta melihat keberadaannya, ia segera bangkit dan menatap pengawalnya, menandakan sebuah pelayanan dibutuhkan. “Apa yang harus saya lakukan, Tuanku?”

“Bawakan patta dari bhikkhu yang agung itu,” kata Bodhisatta.

Saat itu juga, Māra yang jahat, bangkit sambil berseru dengan penuh kehebohan, berkata kepada dirinya, “Ini adalah hari ketujuh sejak Pacceka Buddha ini makan makanan terakhir yang didanakan padanya; jika ia tidak mendapatkan apa-apa hari ini, ia akan mati. Saya akan membinasakannya dan mencegah saudagar itu memberikan persembahannya.” Saat itu juga ia pergi dan muncul di rumah tersebut dengan sebuah lubang yang dipenuhi dengan bara api yang merah membara, sedalam delapan puluh kubik, yang diisi dengan Bara Acacia, yang semuanya menyala dan terbakar laksana Neraka Avici. Setelah menciptakan lubang itu, Māra sendiri berdiri di tengah-tengah udara. Ketika pengawal yang sedang berjalan untuk mengambil patta itu menyadari kehadirannya, ia terkejut dan melangkah mundur. “Apa yang membuatmu kembali lagi, Pelayanku?” Tanya Bodhisatta. “Tuanku,” jawab pelayan itu, “ada sebuah lubang besar dengan bara merah membara, yang sedang menyala dan terbakar di tengah-tengah rumah.” Satu demi satu pelayan pergi ke tempat itu, namun semuanya dipenuhi rasa panik, dan melarikan diri secepat mungkin. Bodhisatta berpikir, “Māra si setan penggoda, pasti memaksakan dirinya menghentikan pemberian dana saya hari ini. Saya telah belajar bagaimanapun juga, saya dapat melepaskan diri dari seratus, bahkan seribu Māra. Hari ini kita akan melihat siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih berkuasa, saya atau Māra.” Ia sendiri yang membawa mangkuk itu keluar dari rumah, dan berdiri di tepi lubang yang berapi tersebut, melihat ke langit. Saat itu ia melihat Māra, ia bertanya, “Siapa kamu?”

“Saya adalah Māra,” jawabnya.

“Apakah kamu yang memunculkan lubang dari bara api yang merah membara ini?”

“Benar, saya yang melakukannya.”

“Mengapa?”

“Untuk menghentikan kamu memberikan persembahan dana dan untuk membinasakan Pacceka Buddha itu.”

“Saya tidak akan mengizinkan engkau menghentikan saya memberikan persembahan ini maupun membiarkanmu membinasakan Pacceka Buddha. Hari ini saya ingin melihat apakah engkau atau saya yang lebih kuat.”

Masih berdiri di tepi lubang yang menyala itu, ia berseru, “Pacceka Buddha yang agung, biarpun tindakan ini akan membuat saya langsung jatuh ke dalam lubang dari bara api yang merah membara ini, saya tidakakan mundur. Mohon kesediaan Bhante untuk menerima makanan yang saya bawakan ini.”

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi syair berikut ini : —

Lebih baik saya langsung terjun ke lubang sedalam jurang pemisah dari neraka, daripada melakukan hal yang demikian memalukan!

Mohon Bhante bersedia, menerima uluran tangan yang membawakan persembahan ini!

Dengan kata-kata ini, Bodhisatta memegang mangkuk yang berisikan makanan, melangkah maju dengan berani dan penuh ketetapan hati tepat ke permukaan lubang berapi itu. Namun saat ia melakukan hal tersebut, dari lubang sedalam delapan puluh kubik itu muncul bunga teratai yang besar dan tiada bandingannya, menyangga kaki Bodhisatta! Dari sana, timbul sejumlah serbuk yang jatuh ke kepala makhluk yang agung tersebut, hingga seluruh tubuhnya ditaburi oleh serbuk emas mulai dari kepala hingga ke ujung jari kakinya! Berdiri tepat di jantung teratai itu, ia melimpahkan semua makanan pilihan itu ke dalam mangkuk Pacceka Buddha tersebut. Setelah Pacceka Buddha menerima persembahan makanan itu dan menyampaikan terima kasihnya pada Bodhisatta, ia melemparkan mangkuknya ke langit, dan tepat dibawah tatapan semua orang, ia melayang ke udara, dan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pegunungan Himalaya, ia terlihat menelusuri jalanan yang dibentuk oleh awan-awan yang tercipta secara ajaib.

Dan Māra, yang telah kalah dan dipenuhi oleh kekesalan, kembali ke kediamannya. Bodhisatta yang masih berdiri di jantung bunga teratai, membabarkan Dhamma kepada semua orang, memuji tentang praktik pemberian dana dan sila; setelah itu, ia berputar kembali dengan dikawal oleh sejumlah orang, masuk ke dalam rumahnya. Sepanjang hidupnya diisi dengan berdana dan kebaikan lainnya, hingga akhirnya ia meninggal dunia dan terlahir kembali ke alam bahagia, sesuai dengan perbuatannya.
___________________

Sang Guru berkata, “Tidak perlu heran, Tuan perumah tangga, bahwa engkau, dengan pengetahuan Dhamma-mu, tidak bisa dikuasai oleh makhluk dewata itu. Kekuatan yang sesungguhnya adalah apa yang dilakukan oleh ia yang bijaksana dan penuh dengan kebaikan di kehidupan yang lampau.” Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Pacceka Buddha di masa itu telah meninggal dunia dan tidak pernah dilahirkan kembali lagi. Saya sendiri adalah saudagar besar dari Benares, yang mengalahkan Māra, dengan berdiri di jantung bunga teratai, mempersembahkan dana makanan ke dalam patta Pacceka Buddha tersebut.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com