Sariputta | Jataka | KAYA-VICCHINDA-JATAKA Sariputta

KAYA-VICCHINDA-JATAKA


“Jatuh diserang oleh penyakit,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seseorang. Diceritakan bahwasanya di Sāvatthi hiduplah seorang laki-laki yang tersiksa karena sakit kuning, yang tidak dapat disembuhkan oleh para tabib, suatu penyakit yang tiada harapan.

Istri dan anaknya mengembara untuk mencari orang yang mampu menyembuhkannya. Laki-laki itu berpikir, “Jika saya bisa menyingkirkan penyakit ini, maka saya akan menjalankan kehidupan suci sebagai pabbajita.” Kemudian beberapa hari setelah dia memakan sesuatu yang membuat dirinya merasa baikan, dia pun sembuh (dengan sendirinya). Dia pun pergi ke Jetavana dan meminta penahbisan dirinya sebagai anggota Saṅgha, tak beberapa lama kemudian, dia pun mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pada suatu hari, para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, laki-laki anu tadinya mengidap penyakit kuning dan bertekad jika dia bisa sembuh maka dia akan menjalankan kehidupan suci sebagai pabbajita; dia pun melakukan demikian, dan sekarang dia telah menjadi seorang Arahat.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk bersama di sana.

Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya orang ini melakukan perbuatan demikian, tetapi dahulu kala, orang bijak di masa lampau, setelah sembuh dari suatu penyakit, menjalankan kehidupan suci sebagai pabbajita, dan mendapatkan berkah sendiri.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Dia tumbuh dewasa dan mulai mengumpulkan kekayaan, tetapi kemudian dia mengidap sakit kuning. Bahkan tabib-tabib tidak mampu melakukan apa pun, istri dan keluarganya pun putus asa. Dia bertekad bahwa jika dia sembuh nanti, dia akan menjalankan kehidupan suci sebagai pabbajita. Dan setelah memakan sesuatu yang membuat dirinya merasa baikan, dia pun sembuh (dengan sendirinya). Dia pun pergi ke Himalaya dan menjalankan kehidupan petapa. Dia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, dan hidup berhibur diri di dalam jhana.

“Selama ini,” pikirnya, “saya menjalani hidup tanpa kebahagiaan yang besar ini!” dan mengucapkan aspirasi berikut:

Jatuh diserang oleh penyakit yang mematikan,

saya terbaring dalam penyiksaan dan penderitaan,

badanku melemah dengan cepat, seperti bunga yang

diletakkan di bawah sinar matahari pada debu dan mengering.

Yang mulia terlihat tak mulia, yang suci terlihat tak suci,

oleh dia yang buta, keburukan terlihat sebagai kebaikan.

Janganlah memuja badan yang penuh penyakit ini,

yang menyedihkan, tidak suci, dan penuh dengan kebusukan!

Ketika orang dungu tidak waspada, mereka tidak akan

mendapatkan kelahiran kembali di surga, dan berjalan jauh dari jalurnya.

Demikianlah Sang Mahasatwa memaparkan sifat

alamiah dari keadaan yang tidak suci dan penyakit. Setelah

demikian merasa jijik dengan badan jasmani beserta organ-organnya,

dia pun mengembangkan empat kediaman luhur,

sampai akhirnya terlahir kembali di alam brahma.

Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—banyak yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Pada masa itu, diri-Ku sendiri adalah sang petapa.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com