Sariputta | Jataka | GUNA-JATAKA Sariputta

GUNA-JATAKA


“Yang kuat akan selalu mempunyai jalan mereka sendiri,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana tentang bagaimana Thera Ānanda (Ananda) menerima pemberian seribu jubah. Thera ini telah memberikan Dhamma kepada wanita-wanita di istana Raja Kosala seperti yang telah dikemukakan di dalam Mahāsāra-Jātaka. Ketika beliau memberikan khotbah Dhamma di sana dengan cara yang telah dikemukakan, seribu jubah, masingmasing bernilai seribu keping uang, dibawa ke raja. Dari ini raja memberikan lima ratus kepada ratu-ratunya. Wanita-wanita ini menyisihkan dan menjadikannya sebagai bingkisan untuk sang thera, dan keesokan harinya dengan mengenakan pakaianpakaian lama, mereka kembali ke istana di tempat raja menyantap sarapan paginya. Raja bertanya, “Saya memberikan kalian semua pakaian-pakaian yang bernilai seribu keping uang masing-masingnya. Mengapa kalian semua tidak memakainya?” “Paduka”, mereka berkata, “kami telah memberikannya kepada Thera Ananda.” “Apakah Thera Ananda mengambil semuanya?” tanyanya. Mereka mengiyakannya, bahwa dia telah mengambilnya. “Yang Tercerahkan Sempurna ( Sammāsambuddha )”, dia berkata, “hanya memperbolehkan tiga jubah. Menurutku, Ananda pasti telah menjual pakaian-pakaiannya!” Dia sangat marah dengan thera ini; dan setelah sarapan pagi, dia mengunjunginya di kamarnya, dan setelah memberikan salam, dia duduk dan berkata:—“Jujurlah, Bhante, apakah wanita-wanitaku belajar dan mendengarkan apa yang Anda ajarkan?” “Iya, Paduka, mereka belajar apa yang seharusnya dipelajari, dan mendengar apa yang harus mereka dengarkan.” “Oh, sesungguhnya, apakah mereka mendengar atau mereka memberikan Anda bingkisan jubah luar atau jubah dalam?” “Sampai hari ini, Paduka, mereka telah memberikan kepadaku lima ratus jubah yang bernilai seribu keping uang masing-masingnya.” “Dan Bhante menerimanya?” “Ya, Paduka, saya menerimanya.” “Kenapa Bhante, bukankah Sang Guru telah membuat peraturan tentang tiga jubah?” “Benar, Paduka, untuk setiap bhikkhu tiga jubah adalah aturannya, kalau yang dimaksud adalah yang dipakainya sendiri. Tetapi tidak ada larangan untuk siapa saja menerima persembahan kepadanya; karena itulah saya menerimanya— untuk diberikan kepada bhikkhu-bhikkhu yang jubahnya telah usang.” “Tetapi setelah bhikkhu-bhikkhu ini menerimanya dari Anda, apakah yang mereka lakukan terhadap jubah lamanya?” “Menjadikannya sebagai mantel.” “Dan bagaimana pula dengan mantel tua?” “Mereka menjadikannya sebagai baju.” “Dan baju tua?” “Dijadikan sebagai alas ranjang.”

“Dan alas ranjang tua?”—“Menjadi tatakan.” “Dan tatakan tua?”—“Handuk.” “Dan bagaimana dengan handuk tua?” “Paduka, kami tidak diperbolehkan untuk menyia-nyiakan pemberian; jadi mereka mengoyak-ngonyak handuk tua menjadi bagian-bagian kecil, dan mencampurkannya dengan tanah liat, yang kemudian mereka jadikan campuran plester untuk membangun rumah-rumah.” “Sebuah pemberian, Bhante, tidak pantas dimusnahkan, bahkan sehelai handuk.” “Benar, Paduka, kami tidak memusnahkan pemberianpemberian, tapi semuanya dipergunakan.” Percakapan ini sangatlah memuaskan raja, oleh karenanya dia mengirimkan kelima ratus sisa pakaian dan memberikannya kepada sang thera. Kemudian, setelah menerima ucapan terima kasihnya, dia memberikan salam dengan hormat dan berjalan pergi. Thera tersebut memberikan lima ratus jubah pertama kepada bhikkhu-bhikkhu yang jubahnya telah usang. Tetapi jumlah semua bhikkhu hanyalah lima ratus orang. Salah satunya, bhikkhu muda, yang selalu melayani sang thera, membersihkan ruangannya, memberinya makan dan minum, memberinya sikat gigi dan air untuk mencuci mulutnya, membersihkan kakus, ruang-ruang tamu, kamar-kamar tidur, dan semua yang diperlukan oleh tangan, kaki atau punggung. Kepadanya, sebagai haknya telah memberikan semua pelayanan ini, sang thera memberikan lima ratus jubah yang terakhir diterimanya. Bhikkhu muda ini, sebagai gilirannya, membagi-bagikan kepada sesama murid. Mereka memotongnya, mencelupnya menjadi kuning bunga kaṇikāra, dan memakainya, kemudian di sana mereka menunggu Sang Guru, memberi salam dan duduk di samping-Nya. “Guru,” mereka bertanya, “apakah mungkin seorang siswa ariya yang telah mencapai Sotāpanna memuja orang yang dia berikan sesuatu.” “Tidak, Para Bhikkhu, tidaklah mungkin bagi seorang siswa ariya untuk memuja orang yang dia berikan sesuatu.” “Bhante, upajjhāya kami, sang Bendahara Dhamma, telah memberikan lima ratus jubah, yang masingmasing bernilai seribu keping uang kepada seorang bhikkhu muda, dan dia membagi-bagikannya kepada kami.” “Para Bhikkhu, dengan memberikan ini, Ananda tidak memuja siapasiapa. Bhikkhu muda ini adalah pelayan yang sangat membantunya, jadi Ananda memberikan kepadanya untuk pelayanannya, kebaikannya, dan sebenarnya, kalau dipikir sebuah kebaikan patut dibalas dengan kebaikan lain dan dengan niat melakukannya sebagai tanda terima kasih. Pada zaman dahulu, seperti sekarang ini, orang-orang bijaksana melakukan prinsip yang diceritakan dalam sebuah kisah, suatu kebaikan pantas dibalas dengan kebaikan lainnya.” Dan kemudian, atas permintaan mereka, Beliau menceritakan kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah seorang raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai singa yang tinggal di gua di suatu pegunungan. Suatu hari, dia keluar dari sarangnya dan melihat ke kaki gunung. Di kaki gunung itu membentang sebidang air yang luas. Di sebagian tanah di sekitarnya terdapat sejumlah rumput hijau yang tumbuh di lumpur yang tebal, dan di atasnya, kelinci-kelinci, rusa dan binatang-binatang kecil lainnya berlarian, dan menikmati rumput-rumput itu. Pada hari itu, seperti biasa, ada rusa yang sedang makan rumput di sana. “Saya akan memakannya!” pikir si singa; dan dengan lompatannya dari sisi bukit dia menerkam si rusa. Tetapi karena si rusa sangat takut, dia berlari tergesa-gesa. Si singa tidak bisa menghentikan sergapannya; dia masuk ke dalam lumpur tempat dia jatuh, dan tenggelam, jadinya dia tidak bisa keluar; dan di sana dia bertahan selama tujuh hari, kakinya terpaku seperti tonggak, dan tidak ada sesuatu pun yang bisa dimakan. Kemudian muncul serigala yang lagi mencari makanan, melihatnya, dan mencoba lari dengan ketakutan. Tetapi si singa memanggilnya keluar—“Serigala, jangan lari—saya di sini, terbenam di dalam rawa-rawa. Tolonglah saya!” Si serigala datang. “Saya bisa menarikmu keluar,” katanya, “tetapi saya sangat takut Anda akan memakanku.” “Tidak usah takut, saya tidak akan memakanmu,” kata si singa. “Malah sebaliknya, saya akan membalas kebaikanmu; bagaimanapun juga keluarkan saya dari sini.” Serigala menerima janjinya, menyingkirkan lumpur di sekitar keempat kakinya, dan di sekitar keempat kakinya yang terbenam dia menggali lebih jauh ke air; kemudian air masuk ke dalam dan membuat lumpurnya menjadi lebih lunak. Kemudian dia masuk ke bawah singa, dan berkata–“Sekarang, Saudara, satu usaha besar,” dengan suara keras dan mendorong perut si singa dengan kepalanya. Si singa mengencangkan semua ototnya dan dengan susah payah merangkak keluar dari lumpur; dia berdiri di tanah kering. Setelah beristirahat sejenak, dia menceburkan dirinya ke danau dan mencuci serta membersihkan lumpur di badannya. Kemudian dia memburu seekor kerbau, dan dengan taring-taringnya dia mengoyak daging si kerbau, dan menawarkannya kepada serigala, serta berkata, “Makanlah, Saudaraku!” dan setelah serigala habis makan, dia pun makan juga. Setelah itu, serigala menggigit sepotong daging di mulutnya. “Untuk apakah itu?” tanya si singa. “Untuk pelayan Anda yang rendah hati, pasanganku, yang menungguku di rumah.” “Baiklah,” kata si singa, juga menggigit sepotong untuk pasangannya. “Mari, Saudaraku,” katanya lagi, “kita tinggal sejenak di puncak gunung, dan kemudian pergi ke rumah betina.” Maka pergilah mereka ke sana, dan kemudian si singa menyuapi si serigala betina; setelah mereka semua puas, dia berkata, “Sekarang saya akan melindungi kalian.” Maka dia membawa mereka ke tempat dia tinggal, dan menempatkan mereka di sebuah gua dekat jalan masuk ke kediamannya sendiri. Mulai sejak itu, dia dan serigala selalu pergi berburu bersama, meninggalkan pasangan mereka di sarang; semua binatang mereka bunuh dan makan sampai isi hati mereka, dan kemudian membawa pulang sebagian untuk kedua pasangan mereka. Dan seiring dengan waktu, si serigala betina dan singa betina pun mempunyai dua anak, dan mereka pun hidup bahagia bersama. Suatu hari, timbul pikiran di benak singa betina, “Singa jantanku sangat menyayangi si serigala jantan, serigala betina dan anak-anaknya. Bagaimana kalau ada sesuatu yang tidak benar di antara mereka? Saya pikir pasti karena itulah sebabnya mengapa dia sangat menyayangi mereka. Baiklah, saya akan mengganggu dan menakuti si serigala betina, dan mengusirnya dari sini.” Maka ketika si singa jantan dan serigala jantan keluar berburu, dia mengganggu dan menakuti serigala betina, dan menanyakan mengapa dia tinggal di situ, mengapa dia tidak lari. Dan anak-anak singa pun menakuti anak-anak serigala dengan cara yang sama. Si serigala betina pun menceritakan kepada yang jantan apa yang dikatakan singa betina. “Telah jelas,” katanya, “singa telah memberikan petunjuk kepada kita. Kita tinggal di sini sudah terlalu lama; dan sekarang dia akan menjadi perenggut nyawa kita. Mari kita kembali ke tempat tinggal kita semula.” Setelah mendengar ini, serigala jantan mendekati singa jantan, dengan kata-kata sebagai berikut, “Tuan, kami telah lama tinggal disini, telah tinggal lebih dari waktu yang diperbolehkan. Ketika kita keluar, singa betinamu menegur dan menakuti pasanganku, dengan menanyakan mengapa dia tetap tinggal di sini, serta menyuruhnya pergi dari sini; anak-anakmu juga begitu terhadap anak-anakku. Kalau seseorang tidak menyukai tetangganya, dia seharusnya cuma perlu menyuruh pergi, dan mengurus dirinya sendiri; untuk apa perlu mengganggu begitu?” Sambil berkata, dia mengulangi bait pertama:—

Yang kuat selalu mempunyai caranya sendiri; adalah sifatnya untuk berbuat demikian; Pasanganmu mengaum keras; dan sekarang saya takut terhadap apa yang saya percayai dahulu.

Setelah mendengar ini, singa jantan berputar ke arah singa betina, “Istriku,” katanya, “Anda ingatkah bagaimana sewaktu saya pergi berburu selama satu minggu, dan kemudian membawa pulang serigala ini dan pasangannya bersamaku?” “Ya, saya ingat.” “Baik, tahukah Anda mengapa saya pergi selama seminggu?” “Tidak, Suamiku.” “Istriku, ketika sedang mencoba menangkap seekor rusa, saya melakukan kesalahan, dan terbenam di dalam rawa-rawa; di sanalah saya berdiam— tempat saya tidak bisa keluar—satu minggu penuh tanpa makanan. Nyawaku telah diselamatkan oleh serigala ini. Temanku inilah yang menyelamatkan nyawaku! Teman yang ada pada saat dibutuhkan adalah teman yang sesungguhnya, baik besar maupun kecil. Jangan mencoba lagi menghina sahabatku ini, atau istrinya ataupun anak-anaknya.” Kemudian si singa mengulangi bait kedua:—

Seorang teman yang melakukan sesuatu sebagai sahabat, walaupun dia kecil atau lemah, dia adalah kerabatku dan darah dagingku, dialah teman dan saudara. Jangan menghina dirinya, Pasanganku yang bertaring tajam! Serigala ini telah menyelamatkan nyawaku.

Si singa betina, setelah mendengarkan kisah ini, kemudian berdamai dengan serigala betina dan selamanya hidup bersahabat dengannya dan anak-anaknya. Dan anak-anak dari kedua pasangan ini pun selalu bermain bersama sewaktu kecil, dan setelah orang tua mereka mati, mereka pun tidak memutuskan persahabatan mereka, tetapi hidup bahagia bersama-sama seperti orang tua mereka sebelumnya. Tentu saja, persahabatan ini bertahan selama tujuh generasi.

Ketika Sang Guru telah menyampaikan uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—(Di akhir kebenaran-kebenaran, ada yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna , ada lagi yang mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi , ada yang mencapai Anāgāmi, dan ada yang mencapai Arahat.)—“Pada masa itu, Ananda ( Ānanda ) adalah serigala, dan singa adalah diri-Ku sendiri.”



Sumber: ITC, Jataka Vol 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com