Sariputta | Jataka | BAVERU-JATAKA Sariputta

BAVERU-JATAKA


“Sebelum burung merak muncul,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang para penganut pandangan salah (titthiya) yang kehilangan pencapaian dan kejayaan mereka. Para titthiya itu mendapatkan pencapaian dan kejayaan mereka sebelum kelahiran Sang Buddha, dan kehilangan pencapaian dan kejayaan setelah kelahiran Sang Buddha, seperti kunang-kunang di saat matahari terbit. Pembicaraan tentang para titthiya ini dilakukan di dalam balai kebenaran oleh para bhikkhu. Ketika Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan, setelah diberitahukan jawabannya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, bukan hanya kali ini tetapi di masa lampau juga, sebelum kehadiran seseorang yang memiliki sifat kebajikan, orang-orang yang tidak bajik itu mendapatkan pencapaian dan kejayaan yang tertinggi, tetapi ketika orang yang memiliki sifat kebajikan muncul, orang-orang itu pun kehilangan pencapaian dan kejayaan mereka.” Dan setelah mengatakan ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung merak. Dan ketika dewasa, ia menjadi amat cantik dan tinggal di dalam hutan. Pada waktu itu, beberapa saudagar datang ke Kerajaan Bāveru (Baveru), dengan membawa seekor burung gagak. Kala itu, dikatakan bahwasanya tidak ada burung di Bāveru (Baveru). Penduduk setempat yang dari waktu ke waktu datang dan melihat burung ini bertengger di atas tiang kapal, berkata, “Lihatlah warna kulit burung ini. Lihatlah paruhnya di ujung tenggorokannya, dan matanya yang seperti bola permata.”

Dengan mengucapkan puji-pujian itu tentang burung gagak, mereka berkata kepada para saudagar, “Tuan, berikanlah burung ini kepada kami. Kami memerlukannya, dan Anda masih bisa mendapatkan penggantinya (burung yang lain) di negerimu.”

“Kalau begitu kalian harus membelinya,” kata mereka.

“Berikanlah kepada kami dengan harga satu keping,” jawab mereka.

“Kami tidak akan menjualnya dengan harga demikian,” kata para saudagar itu.

Lambat laun para penduduk pun menaikkan tawaran mereka sampai akhirnya mereka berkata, “Berikanlah kepada kami dengan harga seratus keping.”

“Burung ini sangat berguna bagi kami, tetapi biarlah terjalin persahabatan antara kalian dan kami,” jawab mereka, dan mereka menjualnya dengan harga demikian.

Para penduduk membawa burung gagak dan meletakkannya di dalam sarang emas, memberinya makan dengan berbagai jenis ikan, daging, dan buah-buahan. Di tempat yang tidak ada burung lain yang hidup, burung gagak yang memiliki sepuluh sifat jahat itu mendapatkan pencapaian dan kejayaan. Kunjungan berikutnya ke Kerajaan Baveru, para saudagar itu membawa seekor burung merak besar yang telah dilatih untuk berkicau pada saat jari tangan orang dijentikkan, dan menari pada saat orang bertepuk tangan. Ketika kerumunan orang terkumpul, burung merak berdiri di bagian depan kapal, mengepakkan sayapnya, mengeluarkan kicauan yang merdu, dan menari.

Orang-orang yang melihatnya benar-benar kagum dan berkata, “Raja burung ini amat cantik dan terlatih dengan amat baik. Berikanlah kepada kami.”

Para saudagar itu berkata, “Pertama kami membawa seekor burung gagak, kalian mengambilnya. Sekarang kami membawa burung merak besar dan kalian memintanya juga. Adalah hal yang tidak mungkin untuk datang ke tempat kalian dan menyebutkan nama seekor burung (yang baru).”

“Tenanglah, Tuan,” kata mereka, “berikan burung ini kepada kami dan kalian bisa mendapatkan burung yang lain lagi di negeri kalian.”

Dan dengan terus menaikkan tawaran harga, akhirnya mereka mendapatkannya dengan harga seribu keping. Kemudian mereka meletakkannya di dalam sebuah sangkar yang dihiasi dengan tujuh permata dan memberinya makan dengan ikan, daging, buah-buahan, juga madu, jagung, air gula dan sebagainya. Demikianlah burung merak mendapatkan pencapaian dan kejayaan tertinggi. Sejak kedatangan burung merak, pencapaian dan kejayaan yang semula diberikan kepada burung gagak tidak lagi diberikan kepadanya, bahkan tidak ada seorang pun yang mau melihatnya. Burung gagak yang tidak mendapatkan makanan, baik makanan utama maupun makanan pendamping, dengan mengeluarkan suara burung gagak, akhirnya terbang pergi dan menetap di tempat lain untuk mendapatkan makanan.

Sang Guru mempertautkan kedua kisah tersebut, dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

Sebelum burung merak cantik muncul,

burung gagak diberikan buah dan daging:

Ketika merak bersuara merdu itu tiba di Baveru,

segera gagak kehilangan pencapaian dan kejayaannya.

Dahulu orang-orang memberi penghormatan kepada

para petapa, sampai Buddha menunjukkan cahaya

penuh dari kebenaran:

Ketika Buddha yang bernada suara manis muncul membabarkan Dhamma, orang-orang menarik kembali segala yang telah diberikan dan dipujikan kepada para titthiya.

Setelah mengucapkan bait-bait kalimat di atas, Beliau pun mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Jain Nāthaputta adalah burung gagak dan saya adalah burung merak.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com