Sariputta | Jataka | AMBACORA-JATAKA Sariputta

AMBACORA-JATAKA


“Wanita yang memakan buah manggamu,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang petapa tua yang menjaga pohon mangga. Di masa tuanya, ia menjadi seorang petapa dan membuat sebuah gubuk daun di dalam hutan mangga di daerah pinggiran Jetavana, dan ia tidak memakan buah mangga masak yang jatuh dari pohonnya itu sendirian, tetapi ia juga memberikan sebagian kepada sanak keluarganya. Ketika ia pergi untuk mendapatkan derma makanan, beberapa pencuri mengambil mangganya, memakan sebagian dan membawa pergi yang sebagian lagi. Pada waktu itu, empat putri seorang saudagar kaya, setelah selesai mandi di Sungai Aciravatī (Aciravati), berkeliling ke sana ke sini sampai akhirnya tiba di hutan manga tersebut. Ketika petapa tua itu kembali dan melihat mereka di sana, ia pun menuduh mereka telah memakan manggamangganya.

“Bhante,” kata mereka, “Kami baru saja datang. Kami tidak memakan buah manggamu.”

“Kalau begitu, bersumpahlah,” katanya.

“Kami akan melakukannya, Tuan,” kata mereka, dan kemudian mereka bersumpah. Orang tua tersebut memperbolehkan mereka pergi setelah mempermalukan mereka dengan menyuruh mereka bersumpah.

Para bhikkhu yang mendengar kejadian ini memulai pembicaraan di dalam balai kebenaran, tentang bagaimana seorang petapa tua memaksa empat orang putri saudagar kaya yang memasuki hutan mangga tempat ia tinggal untuk bersumpah, dan baru memperbolehkan mereka pergi setelah mempermalukan mereka dengan menyuruh mereka bersumpah.

Ketika Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan, dan setelah mendengar jawabannya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para Bhikkhu, tetapi di masa lampau juga orang tua ini, ketika menjaga pohon mangga, memaksa putri-putri dari saudagar kaya untuk bersumpah dan baru memperbolehkan mereka pergi setelah mereka melakukannya.” Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka. Pada waktu itu, seorang petapa gadungan membuat sebuah gubuk daun di dalam kebun mangga di tepi sungai dekat Benares, dan sambil menjaga mangga, ia memakan buah mangga masak yang jatuh dari pohonnya dan memberikan beberapa kepada sanak keluarganya. Ia tinggal di sana dan hidup dengan menjalankan berbagai praktik pertapaan yang salah.

Kala itu, Sakka, raja dewa, berpikir, “Siapakah, di alam manusia, yang menghidupi orang tuanya, menghormati orang-orang yang tua di dalam keluarganya, berdana (memberikan derma), menjaga sila, dan menjalankan laku Uposatha? Siapakah di antara mereka yang setelah bertahbis menjadi seorang petapa hidup dengan menjalankan praktik pertapaan yang benar dan siapakah yang hidup dengan menjalankan praktik pertapaan yang salah?” Dengan kekuatannya memindai, ia melihat petapa gadungan itu yang selalu menjaga buah-buah mangganya, dan berkata, “Petapa gadungan ini terus-menerus mengawasi hutan mangga dan mengabaikan kewajibannya sebagai seorang petapa, di antaranya bagaimana keadaan jhana dapat dicapai melalui meditasi pendahuluan kasiṇa, dan lain sebagainya. Saya akan membuatnya menjadi takut.” Maka ketika ia pergi ke desa untuk meminta derma, dengan kesaktiannya, Sakka menjatuhkan buah-buah mangganya seolah-olah seperti telah dicolong oleh para pencuri. Pada waktu itu, empat orang putri dari seorang saudagar masuk ke dalam hutan mangga itu.

Ketika kembali dan melihat mereka, petapa gadungan itu menghentkkan mereka dan berkata, “Kalian telah memakan buah-buah manggaku.”

Mereka berkata, “Bhante, kami baru saja datang. Kami tidak memakan buah manggamu.”

“Kalau begitu, bersumpahlah,” katanya.

“Tetapi setelahnya apakah kami boleh pergi?” tanya mereka. “Tentu saja boleh,” jawabnya.

“Baiklah, Bhante,” kata mereka, dan yang tertua dari mereka mengucapkan sumpah dalam bait pertama berikut:

Wanita yang memakan buah manggamu akan

mendapatkan seorang suami yang kasar,

ia akan tertipu dengan ubannya yang diwarnai dan

semua barang miliknya (suaminya) tersimpan rapi.

Petapa itu kemudian berkata kepadanya, “Berdirilah di sisi sebelah sana,” dan meminta putri yang kedua untuk bersumpah. Putri kedua itu mengucapkan bait kedua berikut:

Wanita yang memakan buah manggamu

tidak akan bisa mendapatkan seorang suami,

melewati masa remaja sampai hari tuanya (sendirian).

Setelah ia demikian bersumpah dan berdiri di satu sisi,

putri yang ketiga mengucapkan bait ketiga berikut:

Wanita yang memakan buah manggamu akan melewati

jalan yang melelahkan sendirian,

dan selalu terlambat datang ke tempat yang dijanjikan

(kencan), bersedih karena ditinggal kekasihnya.

Setelah ia demikian bersumpah dan berdiri di satu sisi, putri yang keempat mengucapkan bait keempat berikut:

Wanita yang memakan buah manggamu,

meskipun berpakaian indah, dengan untaian bunga di

kepalanya, dan diselimuti oleh aroma wewangian kayu

cendana, akan harus tidur sendirian di ranjangnya.

Petapa itu berkata, “Kalian telah (berani) mengucapkan sumpah. Pasti orang lain yang telah memakan buah-buah manggaku. Kalian boleh pergi sekarang.” Setelah berkata demikian, ia memperbolehkan mereka pergi. Kemudian Sakka memunculkan dirinya dalam bentuk yang mengerikan dan mengusir petapa gadungan itu dari tempat tersebut.

Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyampaikan uraian ini: “Pada masa itu, petapa gadungan adalah petapa tua yang menjaga pohon mangga. Keempat putri saudagar itu adalah orang yang sama dalam kisah ini, sedangkan Dewa Sakka adalah saya sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com