Sariputta | Dhammapada | Kisah Tiga Pertapa Sariputta

Kisah Tiga Pertapa

lay
Suatu ketika terjadi di Savatthi, satu-satunya putra dari sebuah keluarga, pertama kali menjadi seorang bhikkhu, kemudian sang ayah mengikuti menjadi bhikkhu, dan akhirnya sang ibu menjadi seorang bhikkhuni. Mereka sangat dekat satu sama lainnya sehingga mereka jarang tinggal terpisah.

Keluarga itu tinggal di vihara seperti tinggal di rumah sendiri, berbicara dan makan bersama, membuat bhikkhu-bhikkhu lain merasa terganggu. Bhikkhu lain melaporkan kelakuan mereka kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha memanggil mereka.

Sang Buddha berkata, “Sekali kamu telah bergabung dalam pasamuan Sangha, kamu seharusnya tidak lagi tinggal bersama seperti sebuah keluarga. Jangan melihat mereka yang kau cintai dan melihat mereka yang tidak kau cintai, kedua hal itu merupakan penderitaan, maka kamu seharusnya tidak tergantung kepada seseorang atau sesuatu yang kamu cintai.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut :

Orang yang memperjuangkan
apa yang seharusnya dihindari,
dan tidak memperjuangkan
apa yang seharusnya diperjuangkan;
melepaskan apa yang baik
dan melekat pada apa yang tidak menyenangkan,
akan merasa iri terhadap mereka
yang tekun dalam latihan.

Janganlah melekat pada apa yang dicintai
atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai
dan bertemu dengan mereka yang tidak dicintai,
keduanya merupakan penderitaan.

Oleh sebab itu, janganlah mencintai apapun,
karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan.
Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas
dari mencintai dan tidak mencintai.

-------------

Notes :

Syair diatas bukanlah berarti kita menjadi orang yang dingin dan kejam tanpa cinta kasih.
Tetapi yang harus dilepas adalah cinta/sayang yang didasari oleh kemelekatan. Kita mencintai orangtua/anak kita karena kita berpikir, ini orangtuaKU, ini anakKU, ini darah dagingKU.

Syair diatas dalam bahasa pali banyak sekali kata ‘piya’, dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai affection, dear one, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai cinta/sayang/suka.
Tetapi dalam hal ini, cinta/sayang/suka hanya tertuju kepada hal-hal/benda-benda/orang-orang tertentu.

Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan Metta dan Karuna. Dalam bahasa Inggris, metta diterjemahkan menjadi loving-kindness, Karuna = compassion. Dalam bahasa Indonesia, metta diterjemahkan menjadi cinta-kasih dan karuna = belas kasih / welas asih.

Dua kata yang berbeda, piya dan metta, tetapi sayangnya dalam bahasa Indonesia, sama-sama diterjemahkan menjadi cinta karena keterbatasan kosakata. Akibatnya orang sering bingung dan mengira, kalau menjadi buddhist, kita harus cuek, menjadi dingin dan tidak perduli, tidak cinta. Padahal, sebenarnya yang harus kita lepas adalah piya, dan yang harus kita kembangkan adalah metta. Metta adalah rasa cinta kasih kepada semua makhluk dan ingin membuat semua berbahagia.

Melepaskan ‘piya’ bukan berarti kita menjadi dingin dan kosong, tetapi justru memperluas lingkupan metta.
Hasilnya adalah manusia yang bukan hanya sayang kepada orang tua/anaknya, tetapi manusia yang mencintai semua makhluk, yang memperlakukan semua orang dan semua makhluk dengan ramah, hangat dan penuh kasih. Dan sayang kepada keluarganya pun bukanlah sayang yang didasari kemelekatan.



Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com