Sariputta | Ungkapan Dewa (alam manusia merupakan tujuan baik) II Sariputta

Ungkapan Dewa (alam manusia merupakan tujuan baik) II

Bhikkhu Revata

👁 1 View
2017-09-17 17:15:14

Dewa di lahirkan sebagai penerima. Karena karma mereka setiap obyek indera yang dibayangkan dan di inginkan selalu tersedia dan menunggu mereka. Ini adalah buah dari perbuatan baik sebelumnya yang telah matang dan sekarang hadir untuk melayani mereka di alam dewa.

Mereka tidak perlu khawatir tentang makanan, pakaian atau tempat tinggal, tidak perlu bekerja, tidak perlu menghasilkan uang, tidak perlu memasak, tidak perlu mencuci pakaian. Mereka tidak perlu ke dokter. Sakit dan penuaan tidak tampak di alam dewa. Bayangkan betapa luar biasanya alam tersebut!

Dewi tidak terbayangkan cantiknya dan terlihat seperti umur enam belas tahun sepanjang hidup mereka. Dewa terlihat seolah-olah mereka hanya berumur dua puluh tahun. Seluruh hidup mereka menikmati kesenangan nafsu indera yang paling agung. Dunia mereka benar-benar menyenangkan. Penuh dengan keindahan melampaui kata-kata, demikian juga dengan suara, rasa, bebauan dan sensasi sentuhan, demikian banyaknya kesenangan sehingga mereka mudah lupa melakukan perbuatan yang baik. Mereka tinggal di sana karena karma mereka sendiri. Mereka tidak membutuhkan siapa pun untuk menawarkan sesuatu. Sulit menemukan kesempatan untuk memberikan dana di alam dewa.

Tetapi, meskipun sulit bukan berarti dewa tidak dapat melakukan dana. Mereka bisa melakukan dana. Sebagai contoh: Ketika Sang Buddha muncul di dunia, para dewa mampu mempersembahkan dana dengan menyuntikkan gizi baik ke dalam dana makanan yang ditawarkan kepada Sang Buddha sehari-hari oleh manusia. Ada cara lain yang mana mereka juga berhasil memberikan dana.

Adapun dengan sila, ada 227 síla untuk bhikkhu, serta sepuluh sila, sembilan sila, delapan sila dan lima sila yang mana manusia didorong untuk menjalankannya.

Sang Buddha hanya mengijinkan manusia untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu, tapi tidak dengan dewa. Maka dari itu, 227 sila untuk bhikkhu adalah demi kebahagiaan, kesejahteraan dan manfaat bhikkhu. Mereka ditujukan bagi yang ditahbiskan, yang mentaati dan menghormati aturan serta senang melaksanakannya. Mereka bukan diperuntukkan bagi yang tidak. Hanya bila seorang Buddha muncul di dunia ke 227 sila untuk bhikkhu ditawarkan kepada manusia. Ini adalah kesempatan langka yang bisa didapatkan manusia.

Manusia dapat dengan cukup mudah mengatur keadaan untuk melaksanakan sila lainnya. Tapi, karena kesenangan nafsu indera yang agung di temukan di alam dewa, umumnya lebih sulit bagi dewa untuk melaksanakannya.

Namun, ada sesuatu yang banyak orang tidak tahu: Setelah Pencerahan Sang Buddha, Ia memberikan ceramah pertama kepada lima pertapa, tetapi hanya satu di antara mereka menembus Dhamma sejati, sedangkan para dewa dan brahma yang menembus Dhamma sejati cukup banyak. Jadi ada banyak dewa yang tercerahkan dengan moral yang sempurna dan sekarang hidup di alam dewa.

Lebih mudah bagi manusia daripada bagi dewa untuk meninggalkan keterikatan pada obyek yang bisa dilihat, obyek suara, obyek bebauan, obyek rasa dan obyek sentuhan di mana kita semua selalu berhubungan dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Jika mau, kita akan menemukan banyak kesempatan berlatih dan melaksanakan sila.

Tapi bagi dewa, yang tinggal di keagungan surga dengan obyek indera luar biasa dapat melengahkan mereka, jauh lebih sulit bagi mereka untuk menahan diri, apalagi meninggalkan kemelekatan terhadap intensitas dan kenikmatan indera surgawi.

Manusia, di sisi lain, umumnya banyak mengalami kesulitan dan penderitaan dalam hidup mereka. Karena ini, mereka diingatkan pada pentingnya melakukan perbuatan baik. Tapi, dewa yang hidup penuh kesenangan nafsu indera menjadi lalai untuk mengembangkan perbuatan baik.

Dewi benar-benar luar biasa cantik. Keadaan fisik mereka sangat halus, sehingga dewa tertarik pada mereka dan sulit menjauhi mereka. Untuk memberikan gambaran betapa cantiknya mereka, saya akan mengutip salah satu cerita dari
Dhammapàdà, Buku 1, Cerita 9.
Anda mungkin tahu Pangeran Nanda? Dia adalah adik Sang Buddha. Pangeran Nanda menikahi seorang wanita bernama Janapada-Kalyana yang sangat cantik. Pada hari pernikahan mereka Sang Buddha masuk ke rumah mereka untuk dana makanan. Setelah upacara pernikahan berakhir, Sang Buddha menaruh mangkukNya di tangan Pangeran Nanda. Lalu, bangkit dari tempat dudukNya, Dia berangkat pergi tanpa mengambil kembali mangkuk dari tangan pangeran. Karena menghormati Sang Buddha, Pangeran Nanda tidak berani menarik perhatian bahwa ia masih memegangi mangkuk Sang Buddha. Dia berpikir, “Dia akan mengambil mangkukNya di ujung tangga.” Tetapi ketika Sang Buddha mencapai ujung tangga, Dia tidak mengambil mangkukNya. Nanda berpikir,
“Dia akan mengambilNya di kaki tangga.” Tapi di sana Sang Buddha juga tidak mengambil mangkukNya. Nanda berpikir, “Dia akan mengambil mangkukNya di dalam lapangan istana.” Tapi Sang Buddha tidak juga mengambil mangkukNya di sana.

Meskipun Pangeran Nanda sangat ingin kembali pada istrinya, tetapi ia begitu besar menghormati Sang Buddha, sehingga ia tidak berani berkata kepada Sang Buddha untuk mengambil kembali mangkukNya. Sebaliknya, tanpa disadarinya, ia mengikuti Sang Buddha sambil berpikir “Sang Buddha akan mengambil mangkukNya di sini! Sang Buddha akan mengambil mangkukNya di sana! Ia akan mengambil mangkukNya di seberang sana!”

Pada saat itu, istrinya, Janapada-Kalyana, menerima kabar: “Putri, Yang Tercerahkan telah membawa pergi Pangeran Nanda.” Mendengar berita ini, Janapada-Kalyana, dengan air mata mengalir di wajahnya dan rambut setengah terurai, berlari secepatnya agar bisa menyusul Pangeran Nanda dan berkata kepadanya:

“Tuan, tolong segera kembali.”

Kata-katanya menyebabkan hati Nanda gemetar. Meskipun demikian, Sang Buddha, masih belum mengambil mangkukNya, tetap memimpin Nanda ke vihara di mana Dia berkata kepadanya;

“Nanda, kamu ingin menjadi seorang bhikkhu?” Begitu besar hormat Pangeran Nanda terhadap Sang Buddha sehingga ia tidak berani berkata; “Saya tidak ingin menjadi seorang bhikkhu.” Sebaliknya, dia berkata;

“Saya ingin menjadi seorang bhikkhu.”

Kemudian Sang Buddha mentahbiskannya sebagai seorang bhikkhu.

Nanda merasa tidak puas sehingga dia menceritakan masalahnya kepada sekelompok bhikkhu, “Yang Mulia Sangha, saya tidak puas. Saya sekarang menjalani kehidupan religius, tetapi saya tidak dapat meneruskan kehidupan religius lebih lanjut. Saya bermaksud meninggalkan ajaran yang lebih tinggi ini dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah, kehidupan seorang umat awam.”

Sang Buddha, mendengar kejadian ini, berkata kepadanya; “Nanda, apakah benar laporan bahwa kamu mengatakan kepada sekelompok bhikkhu,

“Yang Mulia Sangha, saya tidak puas. Saya sekarang menjalani hidup religius, tetapi saya tidak dapat meneruskan kehidupan religius lebih lanjut lagi. Saya bermaksud meninggalkan ajaran yang lebih tinggi ini dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah, kehidupan seorang umat awam.”

“Benar, Yang Mulia.”

Sang Buddha lalu berkata pada Nanda;

“Mengapa kamu tidak puas dengan kehidupan religius yang kamu jalani sekarang? Mengapa kamu tidak bisa melanjutkan kehidupan religius lagi?

Mengapa kamu bermaksud meninggalkan ajaran yang lebih tinggi ini dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah, kehidupan seorang umat awam?”

“Yang Mulia, ketika saya meninggalkan istana, istri saya, Janapada-Kalyana, dengan rambut setengah terurai, menyusul saya, berkata, “Tuan, tolong kembali secepatnya. ‘Yang Mulia, karena saya terus teringat padanya membuat saya tidak puas.
Saya sekarang menjalani kehidupan religius, tapi saya tidak bisa terus menjalani kehidupan religius lagi. Saya bermaksud meninggalkan ajaran yang lebih tinggi ini dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah, kehidupan seorang umat awam.”

Kemudian Sang Buddha memegang lengan Bhikkhu Nanda, dan dengan kesaktianNya membimbingnya ke alam para dewa. Dalam perjalanan, Sang Buddha menunjukkan kepada Nanda monyet betina yang serakah dan buruk rupa yang telah kehilangan telinga, hidung dan ekor dalam api. Monyet itu duduk di sebuah tungku yang terbakar. Ketika mereka sampai ke alam para dewa, Sang Buddha menunjukkan lima ratus dewi yang luar biasa cantiknya yang datang menunggu Sakka, raja para dewa.

Setelah Sang Buddha menunjukkan Bhikkhu Nanda dua pemandangan ini, Ia menanyakan pertanyaan ini;

“Nanda, siapakah yang kamu anggap lebih cantik, istrimu Janapada-Kalyana atau lima ratus dewi ini?”

“Yang Mulia, dibandingkan dengan lima ratus dewi yang luar biasa cantik ini, istri saya JanapadaKalyana tampak seperti monyet betina jelek serakah yang telah kehilangan telinga, hidung dan ekornya dalam api. Dibandingkan dengan dewi ini, istri saya bahkan tidak ada sepersekiannya. Lima ratus dewi ini jauh lebih cantik.

Betapa mengejutkan! Dibandingkan dengan para dewi, bahkan Janapada-Kalyana, sang primadona kerajaan, tampak seperti seekor monyet jelek. Sekarang mari kita beralih ke praktik meditasi samatha dan meditasi vipassanà.

Konsentrasi dapat dikembangkan hanya ketika kita bebas dari kesenangan nafsu indera dan rintangan. Seperti yang telah anda dengar, ada lima ratus dewi yang sangat cantik di sisi kanan dan kiri setiap dewa. Kesenangan nafsu indera alam dewa sangat halus sehingga sulit bagi dewa biasa untuk menumbuhkan perbuatan baik. Itulah sebabnya para dewa mengatakan bahwa alam manusia adalah tujuan yang baik.

Alasan mengapa Bodhisatta kita memilih untuk tidak menghabiskan seluruh rentang hidupNya di alam dewa setiap kali Dia terlahir di sana adalah karena Dia tidak bisa memenuhi kesempurnaan. Sebaliknya, sebagai Bodhisatta, Dia mampu membuat tekad (adhithàna) untuk kembali ke alam manusia di mana pemenuhan kesempurnaan lebih mudah dilakukan.

Jadi ketika kita hidup sebagai manusia, kita benar benar perlu berlatih meditasi untuk menembus Dhamma sebagaimana adanya. Saya sekarang telah menjelaskan mengapa para dewa mengatakan ‘alam manusia merupakan tujuan baik ‘.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com