Sariputta | Tiga Macam Ke-Aku-an Sariputta

Tiga Macam Ke-Aku-an

Bhikkhu Sri Pannavaro Dayaka Mahathera

👁 1 View
2022-02-27 20:40:32

Post power syndrome secara bebas bisa diartikan gejala mental setelah masa kekuatan atau jabatan selesai.

Banyak orang timbul gejala mental negatifnya setelah tidak mempunyai kedudukan lagi di suatu lembaga. Gejala mental negatif itu tampak pada perilakunya. Akan tetapi, orang itu sendiri tidak menyadari bahwa perilaku-perilaku tertentu itu berakar dari post power syndrome.

Gejala-gejala yang tampak pada perilaku itu antara lain:
- menyendiri karena merasa sudah diabaikan;
- tidak lagi aktif pada kegiatan tertentu karena merasa serba salah;
- menceritakan kekecewaannya kepada orang-orang lain agar mereka empati kepadanya;
- bersikap selalu sinis atau nyinyir, atau bahkan menunjukkan kemarahan terhadap banyak orang;
- sangat mudah tersinggung terhadap pembicaraan tertentu meskipun pembicaraan itu tidak ditujukan kepada dirinya.

Semua itu adalah ke-aku-an yang timbul karena merasa –atau tepatnya berpikir– bahwa dirinya sekarang lebih rendah dari yang lain.

Ke-aku-an jenis lain adalah merasa lebih tinggi pada satu atau banyak hal dibandingkan dengan yang lain-lain. Meskipun mungkin malu untuk mengungkapkannya secara verbal terang-terangan, ia berlagak dan menyatakannya  dengan kalimat tersamar bahwa dirinya adalah lebih tinggi dari yang lain. Ke-aku-an jenis ini memang tidak perlu lagi dijelaskan lebih lanjut.

Akan tetapi, merasa dirinya sama dengan yang lain adalah ke-aku-an juga. Ia merasa bahwa ada 'aku' yang sama dengan orang lain.

Ketiga macam ke-aku-an itu bisa memacu timbulnya dua hal:

1. Ia yang minder itu sebenarnya ke-aku-annya sangat kuat. Rasa rendah dirinya menutup seseorang untuk belajar dan maju. Adapun orang yang merasa dirinya lebih tinggi, juga tidak ingin belajar lagi, bahkan sibuk bertahan jangan sampai kelebihannya menurun. Bagi orang yang merasa sama dengan yang lain, juga tidak ingin belajar banyak karena sudah merasa sama dengan yang lain-lain.
2. Akan tetapi juga, bisa saja yang minder ingin belajar terus untuk lebih maju. Yang sudah merasa dirinya lebih tinggi juga masih ingin menjadi lebih lagi. Sedangkan yang merasa sama dengan yang lain, ingin menjadi lebih dari yang lainnya itu.

Sebaiknya, belajarlah dan terus melakukan hal-hal baik tanpa membandingkan diri dengan yang lain. Oleh karena, sang 'aku' itu hanyalah buatan pikiran semata-mata. Sang 'aku' yang hanya buatan pikiran itu sudah sangat-sangat lama mengakui dan menolak banyak hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan (habit)-nya. Itulah pula yang disebut kelekatan (Pāli: upadana) yang memabukkan atau membutakan.

Ke-aku-an buatan pikiran akan tampak jelas bila pikiran sedang hening dalam meditasi. Kesadaran (Pāli: sati) akan melihat bahwa ke-aku-an itu muncul persis pada pikiran.

Apabila sedang tidak ada kesadaran (sati, awarenes), pikiran tidak tenang –sibuk dengan berbagai hal– sangatlah sulit melihat munculnya sang 'aku' pada pikiran. Oleh karena kemunculannya tidak diketahui, lalu sang 'aku' menguasai semua perilaku; akibatnya timbullah pikiran minder atau merasa lebih tinggi dari yang lain, atau pun sama dengan yang lain dengan segala bentuknya yang mendasari sikap, ucapan, dan tindakan.

Sering kali dalam keheningan, pada saat itulah kesadaran melihat munculnya 'aku' pada pikiran, lalu timbul komentar: "Aha ... kesadaran-KU sudah melihat bahwa 'aku' itu hanyalah buatan pikiran!" Komentar itu semata-mata adalah pikiran juga. Saat pikiran berkomentar, maka saat itu kesadaran absen. Tidak usah dikomentari! Kalau sampai timbul komentar: disadari saja! Kesadaran adalah kesadaran, b-u-k-a-n-nya kesadaran-ku atau kesadaran milikku.

Apabila kesadaran sering hadir pada keseharian, maka seseorang akan terus berbuat baik tanpa membanding-bandingkan dengan yang lain. Berbuat baik dengan kerendah-hatian akan terjadi karena hadirnya kesadaran, bukan karena konsep-konsep pemikiran tertentu –apalagi pencitraan.

Vihara Mendut, 28 Februari 2022.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com