Sariputta | Tentang Y.M. Bhikkhu Sri Pannavaro Dayaka Mahathera Sariputta

Tentang Y.M. Bhikkhu Sri Pannavaro Dayaka Mahathera

Bhikkhu Sri Pannavaro Dayaka Mahathera

👁 1 View
2017-09-19 15:24:25

Beliau merupakan tokoh yang terkemuka dalam lingkungan Buddhis. Disamping memegang Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia, beberapa jabatan masih berada dipundaknya. Antara lain: Ketua Vihara Mendut, Magelang dan anggota eksekutif World Buddhist Sangha Council. Bahkan masih punya waktu untuk aktif sebagai pembicara, baik di lingkungan Buddhis maupun non Buddhis.

Bhikkhu berperawakan tenang dan lembut ini lahir di Blora 22 Juni 1954. Pernah kuliah di Fakultas Psikologi UGM pada tahun 1972-1974. Kemudian di Fakultas Filsafat satu tahun, 1975. Pada tahun 1987, 1990 dan dua kali pada tahun 1991 mendapat upadhi (penganugerahan gelar kehormatan) dari Sangha di Sri Langka atas jasanya membina umat Buddha Indonesia dan menjalin hubungan erat dengan Sangha di Sri Lanka.

Gelar kehormatannya yakni: “Sanghanayaka Dhammakitti Sri Saddhammacariya, Sasanavamsalankara Sasanasobhana Pacavana Visarada, Saddhammakitti Siri Nanasamvara, Siri Sugatasasanalankara Kittidhara Gana Pamokkhacariya, Silarupa Sobhita Vissa Kittidhara”.

 Berikut ini petikan wawancara denga Y.M Bhikkhu Sri Pannavaro Sanghanayaka, di ruang perpustakaan Narada di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, dalam kesibukannya dalam perayaan Kathina 2537/1993.

(T) Latar belakang pendidikan tinggi Bhante dari Psikologi, bagaimana ceritanya memilih Fakultas Psikologi?
(J) Saya pernah kuliah di Fakultas Psikologi tahun 1972-1974, kemudian pernah di fakultas filsafat satu tahun yaitu 1975. Waktu di Fakultas Psikologi dekannya Prof. Dr. Masrun di UGM, Yogyakarta. Saya mulai tertarik dan timbul keinginan untuk melepaskan keduniawian menjadi samanera pada umur 16 tahun. Waktu itu orang tua saya agak sulit mengizinkan karena pengetahuan agama Buddha mereka minim sekali. Mereka mengatakan mengapa harus menjadi Bhikkhu? Mungkin dianggap sekedar menjaga Vihara, melayani orang sembahyang, makan diberi orang lain. Tetapi alasan itu belum kuat. Maka orang tua mengatakan selesaikan dulu pendidikan SMAnya. Sayapun menurut nasehat dan setelah lulus SMA, saya ajukan kembali permohonan menjadi Bhikkhu, orang tua mengatakan masih belum cukup. Kemudian saya memikirkan apa pendidikan lanjut yang saya pilih. Ada yang mengusulkan kuliah di psikologi saja. Ini akan banyak membantu dalam menghadapi masyarakat. Kebetulan waktu itu psikologi di UGM belum favorit seperti sekarang. Kuliah satu tahun saya ajukan keinginan saja, orang tua mengatakan belum cukup, kuliah satu tahun dapat apa. Dua tahun kuliah, orang tua mengatakan masih belum cukup. Nah, pada tahun ketiga saya ajukan lagi dengan mengatakan keinginan orang tua sudah saya ikuti. Lulus SMA harus kuliah sudah saya jalankan, sekarang gantian. Akhirnya orang tua mengizinkan tapi, ada tapinya.. kuliah harus dilanjutkan terus. Lalu saya mendaftar di Fakultas Filsafat, kuliah dengan memakai jubah samanera. Namun saya tidak bisa ikut aktif karena harus memberi ceramah Dharma. Dulu saya berpikir mengapa orang tua menghalangi, sebab tujuan saya kan baik. Pandangan tentang kebahagiaan tidak sama, kalau seorang anak bahagia dalam kehidupan masyarakat, orang tua ikut bahagia. Tapi kalau kebahagiaan spiritual, apakah orang tua tidak ikut bahagia! Mengapa orang tua menunda-nunda? Tetapi sekarang saya justru berterima kasih kepada orang tua terutama kepada ibu bahwa dengan dorongan beliau dapat memberikan manfaat besar. Bukan hanya manfaat pengetahuan bertambah tetapi manfaat di dalam kegiatan pengabdian saya. Pengetahuan itu sangat membantu sekali dalam menghadapi masyarakat. Bagaimana bergaul dengan mereka dan membawakan Dharma. Minimal kita harus memiliki modal yakni pengetahuan umum untuk mengerti kehidupan.

(T) Apa dan siapa yang menggerakkan Bhante untuk menjadi anggota Sangha?
(J) Sejak di SD, saya sudah menyukai hal-hal yang bersifat keagamaan, saya mengenal agama Buddha bukan dari Bhikkhu atau pandita tapi justru dari guru sejarah di SMP. Guru sejarah dunia menjelaskan tentang agama Buddha, dan tentang kehidupan Pangeran Siddharta. Saya pertama kali mendengar penjelasan tersebut, timbul kesan yang sangat mendalam. Sistematis sekali ajaran agama Buddha, jelas sekali persoalan ini, munculnya persoalan dan menunjukkan jalan berunsur delapan, sebagai jalan pemecahan persoalan. Jelas sekali…. Ini persoalannya, ini sebabnya dan ini jalan pemecahannya, mudah menangkap. Saya mula tertarik. Suatu Minggu sore saya diajak adik saya untuk ikut kebaktian. Saat itulah saya mengenal agama Buddha secara formal. Membaca paritta, mendengar ceramah. Pada waktu saya di SMA, untuk pertama kali saya mengenal Bhikkhu Narada Mahathera. Bhikkhu Narada Mahathera mempunyai metode ceramah yang baik terutama terhadap anak-anak. Beliau biasanya bercerita lalu mengajukan pertanyaan dan siapa yang dapat menjawab dapat hadiah. Suatu ketika beliau bertanya “Sang Buddha sudah tidak ada di dunia ini, bagaimana cara untuk melihat Buddha?” Saya bisa menjawabnya karena pernah mendengar sabda Sang Buddha sendiri bahwa siapa yang melihat Dharma, dia akan melihat Buddha. Lalu saya mendapatkan hadiah dan beliau mengatakan, “:Semoga kamu menjadi Bhikkhu yang baik untuk bangsamu”. Kejadian tersebut ketika saya berumur 17 tahun. Saya berpikir mendengar ucapan: Jadi Bhikkhu?”. Ah tidak ada keinginan sama sekali! Tapi satu tahun kemudian timbul keinginan menjadi Bhikkhu.
Pertama kali timbul dalam pikiran saya adalah menjadi Bhikkhu itu hidupnya sederhana, kehidupan Bhikkhu tidak sulit seperti apa yang dipikirkan orang. Makan diberikan, pakaian hanya beberapa potong, tetapi bermanfaat bagi orang banyak seperti Bhante Narada itu. Suatu ciri-ciri yang luhur, sejak itu saya banyak bertemu dengan Bhikkhu. Saya menyadari bahwa kebahagiaan dunia tidak ada yang kekal, contoh: lulus sarjana, diwisuda, senang. Tapi senang itu bisa bertahan hanya beberapa lama? Kita harus memikirkan kerja! Setelah dapat kerja eh…nggak puas dan sebagainya. Kejenuhan, kejengkelan, kemarahan, kesenangan, tidak ada yang kekal.
Kondisi tersebut memperkuat keinginan saya. Dengan menyadari ini bathin kita akan tenang. Mengenai siapa yang menggerakan saya menjadi anggota Sangha itu, sulit…. sebagai seorang Buddhis apalagi kita mengerti Dharma, suatu peristiwa terjadi karena banyak faktor. Tidak bisa kita mengatakan menjadi Bhikkhu itu kan panggilan! Siapa yang memanggil? Kalau tak mau pikir panjang memang itulah jawabannya.
Ada cerita begini: Ada seorang Bhikkhu yang sebelumnya dikenal dengan panggilan OM, Liem, kerja di bank, tidak punya anak, ada angkat anak. Suka membantu vihara, mengantar para Bhikkhu, pengertian Dharma cukup. Kita selalu menggoda, ayo om jadi Bhikkhu saja, jawabnya, “ah… tunggu pensiun dulu”. Setelah pensiun kita tanya lagi, “Sudah pensiun tunggu apa lagi”. Jawabannya, “Tunggu anak angkat saya lulus”. Anak angkat sudah lulus kita goda lagi. Eh… katanya mau urus istri dulu, Istri meninggal dunia, anak lulus sekolah, nah alasan apa lagi. Suatu hari om ikut rombongan ke Thailand. Eh kopernya ketinggalan dan hilang di airport. Sampai di vihara baru ketahuan kopernya tidak dibawa! Untung paspor dan uang sedikit ada, pakaian tinggal yang dikenakannya. Nah, kami mengatakan kepada dia: “Om sekarang waktunya jadi Bhikkhu” Dari peristiwa ini tidak bisa dikatakan om tersebut jadi Bhikkhu karena kopernya hilang. Koper hilang hanya salah satu faktor karena banyak orang yang kopernya hilang tapi tidak ingin jadi Bhikkhu. Kemudian isterinya meninggal; salah satu faktor juga; sudah pensiun; salah satu faktor; mempunyai pengertian Dharma; salah satu faktor; kita sering menggoda juga salah satu faktor. Dari cerita sederhana ini ada enam faktor, semuanya mempengaruhi dan saling mendukung. Jadi bukan satu faktor menghasilkan kejadian, namun banyak sekali faktor. Contoh lain pisang goreng, terbentuknya pisang goreng karena ada pisang, ada tepung, ada gula, ada minyaknya, ada penggorengan, dan ada orang dan kehendak orang lain untuk menggorengnya. Jadi menurut Dharma, yang memanggil itu adalah kondisi-kondisi. Logika ini sulit untuk menjelaskan kepada mereka yang tidak mempunyai dasar intelektual.

(T) Bhante, kita ingin mengetahui apa arti nama Bhante yakni Pannavaro? Siapa yang memberi nama tersebut?
(J) Ah… pemberian nama itu kan supaya tidak membinggungkan satu dengan yang lain. Kalau semua namanya sama tentu membingungkan (kami tertawa mendengar jawaban Bhante). Saya pernah omong-omong dengan Bhiksu Prajnavira (pimpinan Majalah Buddhis Indonesia). Panna adalah bahasa Pali kalau Sansekertanya adalah Prajna. Varo menjadi Vara, jadi dengan Bhiksu Prajnavira bedanya hanya huruf i. Panna atau Prajna adalah Bijaksana, Varo berarti mulia. Sedangkan yang memberi nama dalam tradisi kebhikkhuan adalah upajjhaya saya yaitu Y.M Somdet Nanasamvara di Bangkok.

(T) Lalu siapakah guru pembimbing Dharma Bhante?
(J) Bhante Vin, tetapi saya tidak selalu tinggal bersamanya. Saya juga belajar dari banyak Bhikkhu.

(T) Sabda Sang Buddha yang paling berkesan bagi Bhante?
(J) Tergantung konteksnya. Ajaran Sang Buddha pertama kali adalah tentang jangan berbuat jahat, kemudian tambahkah kebajikan dengan berbuat hal-hal yang membantu, meringankan penderitaan orang lain. Yang membuat saya kagum sekali adalah Sang Buddha tidak berhenti disitu saja. Lebih lanjut Sang Buddha mengatakan sesungguhnya “aku” yang berbuat baik itu tidak ada, yang ada hanya kebaikan. Contohnya: aku menulis, tidak logis karena tanpa adanya alat tulis atau tempat menulis, apa yang ditulis? Aku berbuat baik dengan berkhotbah, tidak logis, karena tanpa adanya orang yang mendengarkan, bagaimana saya bisa disebut berbuat baik? Jadi sesungguhnya semua yang ada merupakan perpaduan dari unsur-unsur, tidak ada yang inti yang berdiri sendiri. Untuk bahasa pergaulan dalam masyarakat boleh memakai kata “aku”, namun untuk kepentingan spiritual kita harus sadar bahwa tiak ada “aku”. Itulah yang membuat saya kagumkan Dharma. Apabila kita menyadari maka akan menurunkan kecongkakan, kesombongan, ketinggian hati dan meningkatkan pikiran suci.

(T) Bhante dikenal sebagai salah seorang openceramah Dharma yang bisa berceramah memukau perhatian pendengarnya. Dari mana ketrampilan berceramah itu?
(J) Ah, itukan kata umat Buddha agar saya tidak bosen memberikan ceramah Dharma, itukan taktik umat saja. (kami kembali ketawa) Begini, saya tidak pernah belajar khusus tentang teknik ceramah. Saya senang memperhatikan para Bhikkhu berkhotbah. Dengan demikian saya berusaha untuk membuat nilai sendiri. Kemudian sebelum kotbah saya harus sudah membuat persiapan tentang sistematika. Itu penting sekali. Mulai dari pendahuluan misalnya memnyampaikan pujian, terima kasih atas perhatian pendengar, lalu masuk materi yang disampaikan, apa Dharma yang akan diberikan dan terakhir membuat kesimpulan. Sistematika itu sangat penting, tanpa sistematika apa yang harus kita bicarakan kehilangan arah, ruwet. Hal penting lainnya: seorang pembicara harus yakin apa yang dia bicarakan. Mau tidak mau harus banyak membaca Saya selalu menngatakan hal tersebut kepada para Bhikkhu.

(T) Filisofi hidup Bhante?
(J) Semakin banyak kita melakukan sesuatu bagi orang banyak, kita akan semakin merasa hidup ini berarti. Kalau kehadiran saya bisa bermanfaat untuk bukan hanya puluhan tapi banyak orang, misalnya: saya diundang khotbah Dharma di TV maka saya merasa saya muncul didunia ini tidak sia-sia. Jadi berbuatlah semakin lebar lagi, berbuatlah yang bermanfaat untuk semua makhluk. Tiada yang lebih indah pada kesadaran bahwa hidup kita harus berguna bagi orang banyak.

(T) Bhante, kami ingin mengetahui pandangan Bhante mengenai perkembangan agama Buddha untuk masa datang di Indonesia?
(J) Agama Buddha akan berkembang pesat di Indonesia. Namun, hendaknya jangan melihat agama Buddha itu di dalam bentuk yang formal artinya diukur dari banyaknya umat yang datang ke vihara. Agama Buddha akan berkembang dalam nilai-nilai Dharma artinya Dharma dapat dijumpai dimana-mana. Yang membuat dia menjadi Buddhis bukan upacaranya, ritualnya. Jika ada orang yang bukan Buddhis tapi berpikiran Buddhis, itulah sikap orang Buddhis.

(T) Mengenai sekte Mahayana?
(J) Saya melihat setiap sekte dalam agama Buddha itu mempunyai basic yang sama, tidak ada perbedaan yang mendasar. Adanya berbagai sekte ini justru membuat agama Buddha kaya. Kalau tidak berkesesuaian pandangan itu wajar, jangan ditanggapi dengan permusuhan, kita harus menghadapi dengan sabar. Siapa yang mengajari kita sabar? Tidak lain adalah mereka yang menentang, memusuhi dan tidak menyenangi kita. Dan kalau pikiran kita sempit (ego besar) maka akan beranggapan hanya agamaku yang benar. Kalau lebih sempit lagi (ego lebih besar) hanya sekteku yang benar, diluar sekteku semuanya salah. Kalau lebih sempit lagi (ego lebih besar lagi) maka viharaku yang benar, diluar viharaku adalah tidak benar. Lebih besar lagi ego, hanya diriku yang benar, diluar diriku tidak benar.

(T) Ide yang pernah dihasilkan Bhante dan diterapkan sampai sekarang?
(J) Ah, saya hanya membantu saja semua kegiatan. Keinginan saya adalah meneruskan, meningkatkan, dan mengembangkan ajaran Buddha untuk banyak orang.

(T) Dalam kesibukan Bhante, apakah menyediakan waktu khusus konsultasi dengan umat? Dan hobby Bhante?
(J) Tidak, saya tidak pernah menyediakan waktu khusus untuk konsultasi. Kalau kebetulan saya ada di tempat ya silakan. Kalau hobby, sekarang ini hal-hal yang berhubungan dengan arkeologi (misalnya ukiran di candi-candi) yang menarik perhatian saya.

(T) Ada kalanya orang berpikir negatif terhadap sesuatu hal walaupun belum tentu kejadiannya sesuai dengan apa yang dipikirkan.Contoh: seorang ibu memikirkan yang bukan-bukan ketika anak atau suaminya sampai jam 11 malam belum pulang padahal biasanya jam 6 sore sudah ada dirumah. Mohon penjelasan Bhante mengenai proses kejadiannya bentuk pikiran negatif tersebut!
(J) Kalau seorang ibu mengkhawatirkan anaknya pulang malam itu wajar, karena tanggung jawab dan kasih sayang. Tapi itu tidak bijaksana bila ia tidak memberikan pengertian pada anak. Bukan zamannya lagi seorang anak itu tidak boleh ini, tidak boleh itu. Oleh karenanya anak harus diberi bekal kuat yakni agama itulah yang menjadi filter bagi anak tersebut. Orang tua jarang ada yang berpikir, apakah anak saya sudah diberi pendidikan agama? Inilah pokok masalahnya.

(T) Dan proses bentuk pikiran yang menyebabkan orang menjadi rendah diri? Misalnya karena merasa tidak punya uang atau teman, lalu tidak berani ke vihara?
(J) Mengenai rendah diri harus dilihat unsur apa yang menyebabkannya. Mungkin ada yang minder ke vihara karena viharanya kurang bagus atau dari dirinya sendiri. Jadi kita mesti meneliti apa penyebabnya. Kita tidak dapat mengatakan kalau kejadian ini penyebabnya pasti ini. Banyak faktor yang mempengaruhinya.

(T) Pertanyaa terakhir, kesan Bhante terhadap Majalah Buddhis Indonesia?
(J) Menarik, tidak kering akan ilustrasi gambarnya.Umat Buddha perlu memiliki majalah seperti ini.

(T) Pesan Bhante untuk mereka yang menamakan dirinya pengurus vihara?
(J) Harus ulet, punyailah ketekunan, jadikan kesempatan pengabdian ini untuk menambah kebajikan. Kebajikan dan kedewasaan.

Sumber : bbcid.org

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com