Sariputta | Siapa Diri Kita Sebenarnya Sariputta

Siapa Diri Kita Sebenarnya

Ajahn Sumedho

👁 1 View
2017-09-19 02:01:52

Dalam pembicaraan berikut Ajahn Sumedho menjelaskan bagaimana, dengan sebuah pemahaman terhadap proses pengkondisian, melalui praktik meditasi dan penerapan keterampilan disiplin spiritual kita mampu untuk menemukan sifat sebenarnya dari pikiran tercerahkan untuk diri kita sendiri.
_____

Saat kita merenungkan Dhamma, ajaran Sang Buddha, adalah sangat baik untuk mempertanyakan apakah sebenarnya sebuah personalitas (kepribadian) itu, yaitu rasa keterpisahan diri kita, individualitas, persepsi diri kita sebagai seseorang yang terpisah dari yang lainnya.

Sekarang ini orang-orang mulai lebih dan lebih memahami mengenai sifat dari kesadaran, namun meskipun hal tersebut merupakan sebuah pengalaman yang kita semua miliki, namun hal tersebut mungkin yang paling kurang dipahami.

Para ilmuwan sedang mempelajari kesadaran, mencoba untuk menemukan sebuah landasan secara fisik untuknya. Apakah kesadaran ada di dalam otak? Apakah kesadaran itu?… tapi hal ini seperti mencoba untuk menemukan diri kita yang sebenarnya. Semakin kita mencoba untuk menemukan siapa diri kita sebenarnya, semakin tampaknya kita berjalan dalam lingkaran atau mengejar bayang-bayang; kita tidak bisa benar-benar menggenggam apa pun untuk waktu yang sangat lama dan ia lenyap.

Namun, personalitas bukanlah diri – siapa atau apakah kita ini – itulah permasalahannya. Sebaliknya, personalitas merupakan delusi kita seputar persepsi atas apakah diri kita ini, suatu pengondisian pikiran yang kita peroleh setelah lahir.

Saat kita dilahirkan, anak bayi baru tersebut sadar namun ia tidak memiliki rasa (pemikiran – ed) menjadi seseorang, sebuah personalitas; hal ini merupakan sesuatu yang di tanamkan ke dalam diri kita saat kita tumbuh besar.

Semua jenis kesan dan asumsi diberikan kepada kita melalui kedua orang tua kita, rekan-rekan kita, dan masyarakat di mana kita tinggal. Kita senantiasa diberi makan dengan informasi tentang apakah kita ini dan menjadi apa kita seharusnya. Jadi tujuan dari meditasi adalah untuk memulai menyadari sifat sejati dari pikiran yang tidak dikondisikan oleh persepsi, pengondisian budaya, pemikiran atau ingatan.

Jika kita mencoba untuk berpikir mengenai praktik meditasi seperti ini atau itu, kita sedang menciptakan sebuah kesan bahwa kita sedang mencoba untuk menyadari, bukannya sedang tenteram di dalam perhatian terhadap pikiran, dalam kesadaran penuh[1]; lepaskan keinginan untuk menemukan atau memahami sesuatu.

Segera setelah kita berpikir mengenai diri kita sendiri, kita menjadi pribadi – seseorang – tapi ketika kita tidak berpikir (memikirkannya – ed), pikiran menjadi cukup hampa dan tidak ada rasa perseorangan. Di sana masih ada kesadaran, kepekaan, tapi hal tersebut tidak terlihat dalam pengertian menjadi seseorang, menjadi seorang pria atau wanita; di sana hanya ada kesadaran tentang apa yang terjadi – perasaan apa yang ada, suasana batin yang ada, suasana yang dialami oleh seseorang saat momen ini. Kita dapat menyebutnya kesadaran intuitif. Kesadaran ini tidaklah dirancang dan dikondisikan oleh pemikiran atau ingatan atau persepsi.

Sekarang salah satu dari permasalahan besar dalam meditasi adalah kita dapat membuat diri kita sendiri terlalu serius. Kita dapat melihat diri kita sendiri sebagai orang beragama yang berdedikasi terhadap hal-hal yang serius, seperti merealisasikan kebenaran. Kita merasa penting; kita merasa bukan sekedar orang awam atau orang peremeh yang menjalani kehidupan kita, yang hanya berbelanja di pasar swalayan dan menonton televisi. Tentu saja sifat serius ini memiliki kelebihan, yang mungkin mendorong kita untuk melepaskan kegiatan yang bodoh untuk kegiatan yang lebih serius.

Namun prosesnya dapat menyebabkan arogansi dan kesombongan: sebuah perasaan menjadi seseorang yang memiliki prinsip-prinsip moral khusus atau memiliki beberapa tujuan altruistis (bersifat mendahulukan kepentingan orang lain – ed), atau menjadi sesuatu yang luar biasa dengan cara tertentu, yang datang ke planet ini sebagai semacam mesias… kami bertemu orang-orang seperti itu yang kadang mengunjungi kami di Amaravati; karakter-karakter yang aneh yang datang dan mengumumkan diri mereka sendiri sebagai Buddha Maitreya! Kesombongan ini, arogansi kondisi kemanusiaan kita ini merupakan sebuah masalah yang telah berlangsung sejak Adam dan Hawa, atau sejak Lucifer diusir dari surga[2]. Hal ini semacam kebanggaan yang bisa membuat manusia kehilangan semua sudut pandang; sehingga kita memerlukan humor untuk menunjukkan kekonyolan obsesi diri kita sendiri.

Dalam kehidupan keviharaan kita bisa menjadi sangat serius mengenai kesucian moral kita, disiplin kita, dedikasi kita dan sebagainya. Bagi seseorang duniawi, dapat terlihat bahwa para viharawan dan viharawati membuat kesulitan atau kerumitan hidup yang tidak perlu untuk diri mereka sendiri atau untuk yang lain. Namun, satu cara melihat terhadap kaidah keagamaan, seperti Tradisi Theravada, yang menekankan pada dispilin Vinaya, mempraktikkan meditasi, kemurnian tradisi adalah melihatnya sebagai konsep yang benar tapi tidak tepat, tepat tapi tidak benar.

Suatu saat saya pergi untuk melihat seorang guru yang mengatakan bahwa kita tidak memerlukan peraturan disiplin atau Vinaya: “Yang hanya harus Anda lakukan adalah menjadi sadar. Kesadaran penuh sudah cukup.” Maka saya kembali dan mengatakan kepada Ajahn Chah, dan beliau mengatakan: “Benar tapi tidak tepat, tepat tapi tidak benar!” Karena, pada dasarnya, kita tidak membutuhkan peraturan, hanya menjadi sadar adalah Jalan-nya. Tapi kebanyakan dari kita tidak mulainya dari pengalaman pencerahan, kita lebih kurang harus mengunakan cara yang bijaksana untuk merenungkan dan mengembangkan kesadaran penuh (perhatian penuh – ed). Jadi teknik-teknik meditasi, peraturan kedisiplinan, dan sebagainya merupakan alat-alat untuk berefleksi dan berkesadaran penuh.

Kehidupan keagamaan merupakan sebuah kehidupan meninggalkan keduniawian. Kita meninggalkan, mengabaikan, melepaskan banyak hal . Bagi pikiran duniawi, hal ini mungkin terdengar seperti seolah-olah kita menyingkirkan sesuatu, atau mengutuk dunia indera, kesenangan dan keindahan yang dapat semua kita alami sebagai manusia; menolaknya, karena kita melihatnya sebagai kejahatan atau kesalahan. Tapi meninggalkan keduniawian bukanlah sebuah penilaian moral terhadap apapun.

Sebaliknya, meninggalkan keduniawian merupakan sebuah gerakan menjauh dari apa yang merumitkan dan yang membuat hidup menjadi sulit, menuju ke kesederhanaan mendasar dari kesadaran penuh yang murni pada momen sekarang; karena pencerahan adalah di sini dan saat ini, Kebenaran adalah saat ini. Bukan siapa pun yang menjadi apa pun, bukan siapa pun yang lahir atau mati – hanya ada kekinian abadi ini. Kesadaran ini merupakan sesuatu yang dapat kita atur keselarasannya, saat kita melepaskan penampilan lahiriah dan kecenderungan dari kebiasaan, serta saat mengarah kepada refleksi sederhana terhadap kekinian.

Sekarang kita mengatakan hal ini dan kita dapat memahaminya dan terdengar cukup sederhana. Tapi kecenderungan dari pikiran inilah yang membuatnya menjadi sebuah masalah. Kita tidak memiliki keyakinan atau kepercayaan atau keinginan untuk sekedar melepaskan secara total dalam momen kekinian. Sehingga pernyataan: “Pencerahan adalah saat ini” dapat membawa sebuah perasaan ketidakpastian atau kebingungan.

Terdapat gagasan yang berbeda mengenai pencerahan: langsung atau bertahap. Beberapa orang mungkin berkata: “Pencerahan adalah saat ini”, sementara yang lain mengatakan bahwa pencerahan terjadi secara bertahap, setahap demi setahap, kehidupan demi kehidupan. Kedua hal ini adalah benar tapi tidak tepat, tepat tapi tidak benar. Keduanya hanyalah cara perenungan dan refleksi yang berbeda terhadap pengalaman momen kekinian. Gagasan atas pencerahan langsung sangatlah menarik bagi pikiran modern: seperti satu tablet LSD[3] dan kita ada di sana – tanpa harus melalui sebuah pelatihan keviharaan atau tanpa menyerahkan segalanya; pencerahan instan!

Tetapi kita harus mengenali keterbatasan pikiran yang berpikir tersebut. Konsep-konsep ini – langsung dan bertahap – hanya merupakan cara berefleksi, keduanya bukanlah pada posisi yang kita ambil. Mengambil kata ’pencerahan’ itu sendiri: mungkin kita melihatnya seperti semacam pengalaman yang benar-benar sangat luar biasa di mana kita sepenuhnya diambil alih oleh cahaya dan berubah secara total dari seseorang yang egois, makhluk yang teperdaya menjadi seseorang yang sepenuhnya bijaksana – melihatnya seperti sesuatu yang sangat besar dan megah. Kebanyakan dari kita merasa bahwa kita tidak dapat mencapai sebuah kondisi yang tinggi seperti itu, karena pandangan pribadi yang sangat negatif. Kita cenderung untuk menekankan pada apa yang salah, kesalahan kita, kelemahan, kebiasaan buruk kita; hal ini merupakan sebagai halangan bagi pengalaman pencerahan. Oleh karenanya pikiran-pikiran seperti itu tidak dapat dipercaya. Jadi saya sering mengatakan kepada orang-orang: ”Apa pun yang Anda pikiran mengenai diri Anda, itu bukanlah diri Anda!

Tujuan dari meditasi Buddhis adalah untuk melepas kondisi-kondisi pikiran ini, ini bukan berarti menyangkal, atau menyingkirkan, atau menghakimi mereka. Ini berarti tidak mempercayai mereka atau mengikuti mereka; sebaliknya kita mendengarkan mereka sebagai Dhamma, sebagai kondisi-kondisi pikiran yang muncul dan berakhir. Dengan sebuah sikap terjaga, kesadaran penuh perhatian, kita belajar untuk percaya hanya menjadi pendengar, pengamat, daripada menjadi seseorang yang mencoba bermeditasi untuk mendapatkan hasil tertentu.

Saat kita menekankan kepribadian kita maka kita menciptakan masalah-masalah, karena kualitas pribadi masing-masing dari kita berbeda. Kita memiliki permasalahan manusia yang umum: usia tua, sakit dan mati, semua laki-laki memiliki hal-hal tertentu yang sama, semua perempuan memiliki kondisi-kondisi tertentu yang sama. Namun kemudian ada sikap, harapan dan asumsi budaya tertentu, yang terkondisi di dalam pikiran, tertanam di dalam diri kita setelah kita lahir. Melalui kesadaran penuh, kita dapat melampaui pengkondisian pikiran ini menuju ke kesadaran murni yang tidak terkondisikan, namun seperti latar belakang, kekosongan, lembar kosong di mana kata-kata tertuliskan. Persepsi kita muncul dan berakhir pada lembar kosong tersebut, kekosongan tersebut.

Jadi renungkan hal ini. Saat kita mulai lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan, daripada hanya mencoba untuk mendapatkan beberapa kondisi samadhi atau konsentrasi yang kita baca di buku-buku; saat kita santai, dan memperhatikan serta mendengarkan maka kita memiliki lebih banyak kemungkinan untuk mengalami kekosongan tersebut. Kita menggunakan kata-kata seperti: pelepasan dan mengabaikan yang dapat terdengar sangat berat bagi pikiran duniawi, tapi hal tersebut bukanlah sebuah tindakan berat pemusnahan atau perusakan. Sebaliknya hal itu merupakan sebuah kerelaan untuk membiarkan segala sesuatu pergi, untuk memperbolehkan segala sesuatu menjadi apa adanya mereka, untuk membiarkan mereka berakhir – tidak menggenggam atau menyamakan diri dengan segala sesuatu, tetapi hanya mempercayai keadaan murni perhatian kesadaran dalam kekinian tersebut.

Salah satu khayalan besar yang kita miliki berkaitan dengan meditasi yaitu ‘bahwa meditasi adalah sesuatu yang saya lakukan’, ‘sesuatu yang harus saya lakukan’ Kita mengikuti pedoman dengan gagasan untuk meraih dan mencapai berbagai tingkat realisasi, seperti mendapatkan sebuah gelar sarjana. Sangat menarik untuk melihat bagaimana beberapa orang Barat yang menjadi bhikkhu atau bhikkhuni dalam tradisi Theravada dapat menjadi sangat cerdas dan berpendidikan baik, tetapi karena jalan pikiran mereka telah terkondisikan, mereka cenderung menafsirkan kehidupan Suci dari sisi pencapaian pribadi – menjadi seseorang yang istimewa.

Ada sebuah peraturan dalam tradisi kebiaraan kami yang melarang kami untuk berkeliling mengumumkan pencapaian kami. Tapi di Thailand, semua orang mengatakan bahwa Ajahn Chah adalah seorang arahant – meskipun ia tidak pernah mengatakannya. Kemudian orang-orang melihat ia mengisap sebatang rokok, dan mereka berpikir, ”Para arahant tidak akan mengisap rokok, ia tidak mungkin seorang arahant!” Pikiran berkondisi tersebut cenderung untuk menggenggam pada sebuah gagasan tetap dari seorang arahant sebagai seseorang yang mutlak benar-benar halus, sangat baik yang tidak pernah akan melakukan apa saja yang kasar, sebaliknya selalu sempurna dalam apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka hidup. Kita menginginkan mereka menjadi sempurna, menurut gagasan kita, sehingga saat kita melihat kecacatan apapun kita menjadi kritis, kecewa, getun, dan ragu mengenai mereka.

Tapi inilah sebuah fungsi dari pikiran kita. Kita menciptakan para arahant kita sendiri, dan oleh karena itu apapun yang kita ciptakan dalam pikiran kita sendiri dapat dengan mudah menjadi kebalikannya. Apa yang dapat kita lakukan adalah mengamati seluruh proses proyeksi ini; proses kita menciptakan seorang yang ideal, guru yang ideal. Kita mulai melihat bagaimana hal ini hanyalah sebuah imajinasi harapan. Ideal yang sempurna selalu sama, seperti sebuah patung pualam. Jika, katakanlah, seorang guru melakukan sesuatu yang benar-benar berlawanan dengan apa yang kita pikir seharusnya dilakukan, dengan apa yang kita bayangkan sempurna, kita bisa merasa cukup marah atau kecewa.

Begitu juga kita mungkin akan merasa bahwa entah bagaimana kita perlu untuk menghadapinya, untuk membenarkannya: “Ia dapat berperilaku seperti itu karena ia makhluk yang telah tercerahkan.” Kita bersedia mengabaikan sikap-sikap kasar dan buruk, atau lebih buruk dari itu; kita tidak membiarkan keraguan untuk muncul di dalam pikiran kita terhadap orang tersebut. Atau, pada hal yang ekstrem lainnya, kita berpikir: ”Orang itu adalah orang jahat, mereka tidak mungkin tercerahkan.” Kita mengabaikan mereka.

Tapi jika kita tetap pada praktik kesadaran penuh ini, kita melihat bahwa hal ini bukan benar-benar terserah kepada kita untuk membuat sebuah kategori penilaian moral mengenai orang lain atau mengenai guru-guru kita. Ini bukan urusan kita untuk menghakimi mereka sebagai orang yang baik atau buruk. Dan itu adalah sebuah kelegaan. Selain itu apa yang dapat kita selalu lakukan adalah mendengarkan dan menyadari reaksi-reaksi berkondisi kita sendiri terhadap apapun yang kita alami.

Sekarang lima sila memberikan sebuah standar moral bagi pembentukan kesadaran penuh. Kita dapat menggunakan mereka sebagai ukuran moral atau pedoman bagi perbuatan dan ucapan. Mereka akan membantu kita menjadi sadar.

Sedangkan, gagasan menjadi bebas dan melakukan apapun yang kita inginkan selama kita sadar juga merupakan hanya sebuah suatu imajinasi harapan, bukankah begitu? Sebuah persoalan yang ”tepat tapi tidak benar”: Tepat, tapi belum tentu benar sepanjang waktu. Jika kita berpegang pada gagasan seperti itu, kita dapat menerima (perbuatan buruk –ed) apa pun.

Sebagai contoh, kita mungkin berpikir bahwa seseorang dapat sangat sadar saat merampok sebuah bank atau melakukan pembunuhan yang sempurna! Tapi tanpa sebuah standar moral untuk cermin perenungannya, tindakan itu hanyalah merupakan perhatian seekor hewan yang terancam ditangkap. Situasinya sendiri menuntut kesadaran penuh, kesiagaan dan kewaspadaan.

Ini juga berlaku dalam situasi di mana kita berada tepat di ujung kematian – seperti mendaki gunung. Kita lupa mengenai diri kita sendiri dan permasalahan kita, kita secara otomatis tepat dengan momen tersebut. Ada semacam kegembiraan dalam kondisi pikiran yang demikian karena kita jauh dari kesuraman dan kekusaman kehidupan sehari-hari. Persepsi kita menjadi sangat terkonsentrasikan dan terpusat. Tapi kita tidak dapat selalu menjalani hidup di ujung tanduk. Sebagian besar kehidupan kita tidak terlau menarik. Hanya apa adanya. Kita melakukan hal-hal yang biasa. Kita makan makanan, kita mandi, kita berpakaian, melepaskan pakaian, kita memasak, mencuci piring, membersihkan karpet, mencuci mobil, memberi makan kucing, pergi bekerja, dan bersama pasangan kita, anak-anak kita, rekan-rekan kerja kita. Kemudian, pada hari spesial seperti hari libur, kita mungkin melakukan sesuatu yang seru seperti memanjat tebing.

Meditasi bukanlah sebuah pengalaman yang ekstrem, bukanlah sesuatu yang sangat berbahaya, yang memaksa kita untuk sadar. Kita biasanya bermeditasi di tempat yang aman. Kita duduk, berdiri, berjalan, atau berbaring, dan kita merenungkan napas tubuh. Tujuannya adalah hanya untuk mengamati kecenderungan kebiasaan kita sebagai kondisi yang muncul dan lenyap. Dalam kondisi ini, ketakutan yang tertekan dan kondisi emosional dapat bangkit, mencapai ke permukaan; namun daripada pergi meninggalkan dan melakukan beberapa hal yang mengalihkan perhatian untuk menghindari mereka, kita mulai untuk membiarkan mereka masuk ke kesadaran. Kita semakin bersedia membiarkan apa yang tidak kita sukai atau kita inginkan ke dalam kesadaran dan, melalui kemauan untuk melihatnya, kita melepaskannya. Kita mengabaikannya, melepaskan kondisi tersebut – bukan menekannya, tapi meninggalkannya sendiri.

Personalitas, kesadaran diri, rasa takut dan hasrat pikiran demikian apa adanya mereka; kita tidak mencoba untuk menghilangkan mereka atau menambahkan mereka, atau membuat permasalah atau kesulitan apapun di sekitar mereka. Kita mau membiarkan mereka menjadi apa adanya. Mereka terasa seperti ini, mereka memiliki kualitas ini; mereka muncul dan lenyap. Dalam kelenyapan tersebut terdapat realisasi (perwujudan) kedamaian, kebahagiaan atau menjadi tenang, dan tidak ada diri di dalamnya. Semua orang memiliki potensi tersebut, kemampuan tersebut untuk merealisasikan hal ini. Kita menggambarkannya sebagai melihat Dhamma, demikian caranya – ini sama sekali bukan masalah menjadi apapun.

Kadangkala dalam meditasi kita mengalami satu saat, atau beberapa saat ketenangan lengkap dan kedamaian dalam pikiran, dan kita berpikir, ”Saya menginginkan ini” namun tentu saja ia pergi! Kemudian di hari berikutnya saat kita pergi bermeditasi, kita mencoba untuk mendapatkannya kembali – namun kita tidak bisa, karena kita mencoba untuk mendapatkan sesuatu yang kita ingat bukannya mempercayai dan membiarkan hal-hal tersebut lenyap menjauh sesuai dengan sifat alami mereka. Hal tersebut bukanlah berarti kita harus melakukan sesuatu, atau menjadi apa pun. Jadi, tanpa tekanan, tanpa pemaksaan pikiran tersebut, kita dapat belajar dari kehidupan itu sendiri; Kebenaran terungkap bagi kita.

– Selesai –

Catatan:

[1] Penuh kesadaran, perhatian penuh, perhatian murni (Pali: sati, Sanskerta: smṛti).
[2] Mitos awal penciptaan manusia dalam agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) sebagai perumpamaan masa waktu yang lama semenjak keberadaan manusia itu sendiri.
[3] Lysergic acid diethylamide atau Asam lisergat dietilamida, suatu narkotik yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat mengubah perasaan, pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu.

Judul Asli: Who We Really Are
Sumber: Forest Sangha Newsletter, No. 38, Oktober 1996, Amaravati.org
Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com