Sariputta | Serpihan Dhamma Dari India Sariputta

Serpihan Dhamma Dari India

Luangpho Inthawai Santussako

👁 1 View
2019-04-26 15:55:39

- Luangpho ingin menceritakan mengenai perjalanan Luangpho di India selama lebih kurang 10 hari. Kebudayaan terdahulu disana masih terasa kental, khususnya mengenai pengaturan Kasta. Secara umum pengaturan Kasta terbagi menjadi 4 golongan yaitu Brahmana, Ksatria, Petra, dan Sudra. Kasta Ksatria merupakan Kasta dari keturunan kerajaan, sampai saat inipun masih terdapat orang-orang yang memiliki garis keturunan dari kerajaan-kerajaan terdahulu, karena dahulu di wilayah Jambudvipa terdapat lebih kurang 16 kerajaan seperti Rajagaha, Vesali, dan lain-lain sebelum akhirnya menyatu menjadi Negara India. Kasta Brahmana merupakan Kasta tingkat tinggi, biasanya orang-orang dari Kasta Brahmana memiliki kepemilikan tanah yang luas. Kasta Petra merupakan Kasta menengah, biasanya orang-orang dari Kasta ini bermata pencaharian sebagai pedagang, pegawai negeri, dan sebagainya. Sementara Kasta Sudra adalah Kasta yang rendah, orang-orang dari Kasta ini hidup dengan penuh kesengsaraan.

- Seorang Bhikkhu Thailand yang tinggal di India mengatakan kepada Luangpho bahwa kebudayaan disana sangat jauh berbeda dengan Thailand. Sistem kerja orang disana juga berbeda, dalam pekerjaan pembangunan misalnya, masing-masing orang yang bekerja akan memiliki tugasnya sendiri-sendiri, bagi yang mengangkat semen hanya akan mengangkat semen, yang bertugas mengangkat pasir hanya akan bekerja mengangkat pasir, yang bertugas mengaduk semen hanya akan mengaduk semen, yang bertugas membuat tembok hanya akan membuat tembok. Jadi, apabila salah satu orang tidak datang maka hari itu tidak ada pekerjaan yang dikerjakan. Karena masing-masing berpikir bukan tugasnya. Sehingga jalannya pekerjaan tidaklah berlangsung dengan mudah. Seharusnya dapat untuk mengerjakan setiap hal. Di Vihara Luangpho juga seharusnya demikian, jika orang ini tidak datang sudah ada yang dapat menggantikannya, bukannya hanya mengandalkan pada satu orang saja. Saat Luangpho tinggal di Wat Pa Ban Taad, Luangpho juga dapat diandalkan dalam berbagai hal, baik sebagai kepala keluarga dalam Vihara, memimpin pekerjaan-pekerjaan di dalam Vihara, mencari orang untuk mengerjakan sesuatu di Vihara, dan lain-lain.

- Luangpho juga pergi ke wilayah yang dahulunya merupakan wilayah dari kerajaan Rajagaha. Luangpho naik ke Gunung Gijhakuta dengan berjalan kaki, tidak ingin dikatakan sebagai Bhikkhu tua. Diatas sana terdapat tempat tinggal Sang Buddha, Gua dimana Sang Buddha membuat Dighanaka Paribajaka yang adalah keponakan dari Bhikkhu Sariputta dapat melihat Dhamma, ada juga tempat dimana Bhikkhu Maha Moggallana melaksanakan praktek Dhamma, serta letak dimana Sang Buddha berjalan Caṅkamana saat Devadatta menggelindingkan batu besar untuk mencelakaiNya.

- Ada juga tempat di Vihara Veluvana yang diyakini sebagai titik dimana Sang Buddha menyampaikan Ovada Patimokkha kepada Bhikkhu Saṅgha yang berjumlah 1.250. Terdapat selisih pendapat antara aliran Theravada dengan aliran Mahayana mengenai tempat ini, aliran Theravada mengatakan bahwa tempat dimana Sang Buddha duduk saat membabarkan Ovada Patimokkha berada pada sisi utara dari kolam yang ada disana, sementara aliran Mahayana berpendapat bahwa posisinya berada di sisi Timur dari kolam. Menurut Luangpho, mengapa sampai berselisih pandangan seperti ini, dimana letak tepatnya tidaklah perlu dipersoalkan, sudah tahu berada di dalam wilayah itupun sudah cukup, ditambah lagi orang yang mengatakannya juga tidak terlahir pada zaman itu, kita pun tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Sesungguhnya yang terpenting adalah ajaran Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha untuk dipelajari, bukan pada letak atau tempatnya.

- Luangpho juga sempat melihat-lihat Veluvana Kalandaputta. Veluvana Kalandaputta adalah taman milik Raja Bimbisara yang merupakan tempat untuk memberikan makanan kepada tupai. Asal mulanya Raja Bimbisara beristirahat pada siang hari di dalam sebuah taman. Para pengawal Raja juga memberikan penjagaan di setiap sisi yang cukup berada jauh dari tempat dimana Raja beristirahat. Kini terdapat tupai yang merasa lapar sehingga menimbulkan suara yang keras, bersamaan dengan itu seekor ular sedang naik ke tempat dimana Raja beristirahat. Suara gaduh yang berasal dari tupai membuat Raja terbangun, seketika juga langsung melihat seekor ular yang sudah berada di dekatnya, dengan segera Raja melompat menghindari ular tersebut. Terpikir dalam pikiran Raja Bimbisara bahwa seandainya tidak mendengar suara gaduh dari tupai pastinya sudah celaka karena digigit ular, tupai ini sungguh memiliki jasa. Karena peristiwa ini, sejak saat itu tempat tersebut dijadikan sebagai tempat untuk memberikan makanan kepada tupai. Walaupun merupakan hal yang tergolong kecil, Raja Sudhodana masih dapat untuk mengingat akan jasa dari tupai. Sering kali banyak dari kita yang tidak dapat melihat betapa besarnya jasa dari orang tua.

- Setelah Sang Buddha mencapai keBuddhaan, hingga kemudian mengajarkan Dhamma kepada 3 bersaudara pertapa pemuja api yaitu Uruvela Kassapa, Gaya Kassapa, dan Nadi Kassapa. Selanjutnya Sang Buddha bersama rombongan para Bhikkhu yang diantaranya terdapat 3 Kassapa bersaudara berkumpul di sebuah Hutan Bambu, Raja Bimbisara beserta pengawal hingga masyarakat hadir disana. Muncul pertanyaan di dalam pikiran Raja Bimbisara beserta seluruh masyarakat yang berkumpul disana mengenai siapakah yang merupakan guru diantara Samana Gotama dengan Uruvela Kassapa, Uruvela Kassapa adalah seorang pertapa besar di wilayah tersebut dan telah berusia cukup tua, sementara Sang Buddha saat itu baru berusia 35-36 tahun. Mengetahui apa yang ada dalam pikiran Raja Bimbisara, Sang Buddha mengatakan kepada Bhikkhu Uruvela Kassapa untuk menunjukan bahwa di antara keduanya siapakah yang merupakan guru. Lalu Bhikkhu Uruvela Kassapa bangkit dari duduknya dan bernamaskara kepada Sang Buddha, kemudian melayang di udara sambil mengatakan bahwa Sang Buddha adalah gurunya, lalu turun kembali ke tempat duduknya dan menyatakan lagi bahwa Sang Buddha adalah guru junjungannya, menyatakan seperti ini sebanyak 3 kali. Orang-orang yang berada disana merasa takjub akan hal ini, bayangkan saja jika murid memiliki kemampuan batin yang demikian apalagi gurunya. Selanjutnya Sang Buddha juga membabarkan Dhamma kepada semua orang yang berkumpul disana. Banyak dari mereka yang berada disana mengambil Buddha, Dhamma, dan Saṅgha sebagai perlindungan, ada juga yang mencapai tingkat kesucian Sotapana serta berbagai tingkat kesucian lainnya. Malam itu juga Raja Bimbisara mendanakan taman Veluvana Kalandaputta untuk dijadikan sebagai Vihara dalam Buddha Sasana, Raja Bimbisara menuangkan air ke tanah sebagai simbol kemurnian hatinya dalam mendanakan tempat tersebut demi Buddha Puja, Dhamma Puja, dan Saṅgha Puja. Vihara Veluvana merupakan Vihara pertama dalam Buddha Sasana.

- Setelah Raja Bimbisara mendanakan Vihara Veluvana, malam itu beliau diganggu semalaman oleh makhluk Peta. Keesokan paginya Raja Bimbisara segera menemui Sang Buddha untuk menceritakan kejadian yang dialaminya semalam. Sang Buddha mengatakan bahwa makhluk-makhluk tersebut sesungguhnya adalah kerabat dari Sang Raja sendiri yang terlahir menjadi makhluk Peta, makhluk-makhluk tersebut sudah menunggu cukup lama untuk mendapatkan pelimpahan jasa, namun pada saat Raja Bimbisara mendanakan Vihara Veluvana tidak melimpahkan jasa kebajikan kepada siapapun, hingga makhluk-makhluk inipun menunjukan dirinya kepada Raja. Oleh karena itu, setiap setelah melakukan kebajikan jangan lupa untuk melumpahkan jasa kebajikannya. Lalu Raja mengundang Sang Buddha untuk menerima persembahan makanan di istana pada keesokan harinya. Sang Buddha menerimanya dengan hening, tanpa mengucapkan apapun. Pada keesokan harinya Raja Bimbisara mendanakan makanan kepada Sang Buddha serta Bhikkhu Saṅgha, pada malam harinya Raja Bimbisara kembali didatangi oleh makhluk-makhluk peta, namun kali ini tampak lebih bugar dari sebelumnya hanya saja tampak seperti tidak mengenakan pakaian. Pagi harinya pergi menemui Sang Buddha kembali dan menceritakan apa yang dialamiNya semalam. Sang Buddha mengatakan bahwa itu semua dikarenakan Raja Bimbisara hanya mendanakan makanan, namun tidak mendanakan sesuatu yang berhubungan dengan pakaian. Raja Bimbisara pun kembali mengundang Sang Buddha beserta Bhikkhu Saṅgha untuk menerima persembahan makanan dan jubah di istana pada esok harinya. Sang Buddha menerimanya dengan bersikap hening, tanpa mengucapkan apapun, ini merupakan kebiasaan dari Sang Buddha. Pada esok harinya Sang Buddha beserta Bhikkhu Saṅgha menerima persembahan makanan dan jubah di istana, setelah mempersembahkannya Raja Bimbisara kemudian melimpahkan jasa kebajikan tersebut kepada sanak keluarganya yang terlahir sebagai makhluk Peta. Setelah itu, makhluk-makhluk Peta tersebut terbebas dari buah Kamma buruknya, beberapa ada yang terlahir di alam Deva, serta ada juga yang terlahir sebagai manusia. Ini karena mereka juga memiliki jasa kebajikan, setiap orang tentunya memiliki sisi buruk dan sisi baik juga. Orang yang baik ada juga keburukannya, orang yang jahat pun memiliki kebaikan juga. Hanya saja disaat Kamma buruk berbuah terlebih dulu, menutup Kamma baik untuk berbuah. Umpamanya seperti masuk dalam penjara, harta sebanyak apapun yang dimiliki belum dapat untuk digunakan. Namun saat tiba waktunya bebas dari penjara, harta itupun dapat digunakan.

- Perbuatan yang menyebabkan sanak keluarga dari Raja Bimbisara menjadi makhluk Peta berasal pada kehidupan lampau saat zaman Buddha terdahulu. Pada kehidupan itu Raja Bimbisara hidup sebagai seorang hartawan. Beliau memiliki keyakinan terhadap Tiratana, serta memiliki 3 orang putra yang ditahbiskan menjadi Bhikkhu dalam Buddha Sasana. Pada zaman Buddha Gotama ketiga anaknya hidup sebagai Uruvela Kassapa, Gaya Kassapa, dan Nadi Kassapa. Pada kehidupan lampaunya Raja Bimbisara, memberikan tugas kepada sanak keluarganya untuk menyokong Bhikkhu Saṅgha dengan biaya yang dikeluarkannya. Pada awalnya semua berjalan lancar, namun belakangan mulai banyak penyalahgunaan atas dana yang seharusnya dipersembahkan untuk Bhikkhu Saṅgha. Atas Kamma buruk ini, menyebabkan sanak keluarga dari Raja Bimbisara pada kehidupan itu terlahir kembali di alam Peta. Oleh karena itu, Kamma sebaiknya janganlah dilakukan karena saat Kamma buruk berbuah diri sendirilah yang akan menderita. Cerita yang Luangpho sampaikan berasal dari Kitab Tipitaka yang telah Luangpho baca dan pelajari, bukan atas pemikiran sendiri.


Anumodana.
Bhante Piter Gunadhammo

 

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com