Sariputta | Riang Tahu Diri, Berterima kasih (kutipan Buku Syukur Kepada Orang Tua) Sariputta

Riang Tahu Diri, Berterima kasih (kutipan Buku Syukur Kepada Orang Tua)

Ajahn Sumedho

👁 1 View
2023-03-11 17:01:57

Waktu itu saya baru menjadi seorang calon-bhikkhu dan dialah bhikkhu Thai pertama yang saya jumpai dapat berbahasa Inggris; maka saya senang sekali ada seseorang yang bisa saya ajak omong. Ia juga seorang bhikkhu yang strict (ketat), memegang teguh Vinaya. Ia makan dari mangkok-sedekahnya dan mengenakan jubah coklat-tua tradisi-bhikkhu-hutan, sementara di vihara tempat saya tinggal, para bhikkhu mengenakan jubah berwarna oranye. Dia benar-benar mengesankan layaknya seorang yang patut dicontoh. Dia menyarankan agar saya mesti pergi dan tinggal bersama Ajahn Chah. Maka setelah menerima penahbisan kebhikhuan, penahbis saya mengijinkan saya pergi bersama rahib itu buat tinggal di biara Ajahn Chah. Tetapi di jalan saya mulai kesal dan muak dengan bhikkhu ini - yang ternyata menjadi sebuah rasa ngilu di tengkuk. Ia begitu cerewet mengecam Berbagai hal dan mengutuki bhikkhu-bhikkhu lain, mengatakan bahwa kitalah yang paling hebat. Saya tidak tahan menghadapi arogansi dan kecongkakannya yang luar biasa, dan saya mulai khawatir: jangan-jangan Ajahn Chah itu juga jenis orang seperti rekan saya ini. Saya bertanya-tanya dalam hati apa yang bakal saya jumpai nanti...

Ketika kami tiba di Wat Pah Pong, saya sangat lega mendapati bahwa Ajahn Chah ternyata bukanlah jenis orang seperti itu. Tahun berikutnya, bhikkhu rekan saya tadi namanya adalah Sommai -- lepas-jubah [keluar dari kebhikhhuan] dan menjadi pecandu tuak.

Suatu petang saya membicarakan hal ini dengan Ajahn Chah, beliau berkata: “Kamu harus selalu mempunyai kataññu terhadap Sommai, karena dia telah membawamu ke sini. Tidak peduli seburuk apapun, betapa rusaknya ia kini, kamu musti selalu memperlakukan Sommai sebagai guru yang bijak dan memperlihatkan rasa syukurmu kepadanya. kamu mungkin adalah salah satu hal terbaik yang pernah ia alami dalam hidupnya, sesuatu yang dapat ia banggakan; jika kamu bisa terus mengingatkan dia akan hal ini - tentu saja dengan cara yang baik, bukan malah mengintimidasinya -- maka mungkin ia bersedia berubah suatu waktu nanti...” -- Luang Por Chah mendorong saya untuk menjumpai Sommai, berbicara lembut dan menunjukkan terima kasih kepadanya karena telah membawa saya pada Ajahn Chah...-- Itu sungguh sesuatu yang indah untuk dilakukan. -

Sebenarnya gampang saja saya bisa merendahkannya dengan berkata, “Kamu itu payah! Dulu kamu suka mengkritik bhikkhu lain dan menganggap bahwa kamu bhikkhu yang paling baik, tapi lihatlah keadaanmu sekarang.”Tapi apa yang dikatakan Luang Por Chah adalah: “Jangan begitu, itu tidak berguna dan merugikan, tapi lakukanlah sesuatu yang indah dari belas kasihmu.” Saya melihat Sommai pada awal tahun itu, brengsek seperti biasanya; saya tidak melihat ada perubahan pada dirinya. Namun, setiap kali Ia memandang saya, Nampaknya seperti ada efek yang baik dalam dirinya. Mungkin ingat bahwa dialah orang yang berjasa membuat diri saya datang tinggal bersama Luang Por Chah - dan itu adalah sumber bagi sedikit momen membahagiakan dalam hidupnya. Rasanya senang bisa mempersembahkan beberapa momen membahagiakan kepada seseorang yang hidupnya sangat tidak-berbahagia....

Mirip pula, saya teringat pada guru-guru yang tidak sempat saya kenal secara pribadi, misalnya seperti: Alan Watts, penulis buku ‘The Way of Zen’, salah satu buku yang saya baca di awal-awal perkenalanku dengan Buddhisme. Buku itu amat mempengaruhi saya. Mendapatkan buku tentang Buddha Dhamma untuk dibaca sungguh menyenangkan waktu itu, dan saya suka membacanya berulang-ulang. Namun belakangan, saya dengar pribadinya merosot mundur. Saya memang jadi berjumpa dengannya, ketika mengikuti kuliahnya di San Fransisco; tapi kendati ia memang seorang pembicara yang terampil waktu itu saya masih sedang dalam fase kritis [masa muda yang gemar mencela] jadi, bagi saya, dia tidaklah cukup bagus.

Sekarang saya mengenangnya kembali, dan merasa kataññu kepada orang-orang seperti Alan Watts, para penulis dan guru-guru yang telah berjasa menyemangati dan membantu saya di masa ketika saya sedang membutuhkannya. Segala apa yang mereka lakukan di kemudian harinya, atau apakah mereka ngelakoni hidup sesuai dengan standar harapan-harapan saya, adalah tidak begitu penting lagi. Memiliki kualitas metta dan kataññu adalah tentang bersikap: untuk tidak kritis tidak memendam kesumat, ataupun gemar mengunyah dan menimang-nimang keburukan orang lain; ini adalah kemampuan untuk memilih dan mengingat hal baik yang mereka perbuat.

Jadi...hari ini kita kembangkan kataññu. Janganlah berpikir bahwa ini adalah sekedar hari untuk bersikap sentimentil (cengeng). Kataññu adalah latihan yang perlu dikembangkan terus-menerus dalam hidup sehari-hari; praktik demikian bakal membuka mata hati serta membawa riang dan suka-cita dalam pengalaman manusiawi kita. Kita butuh keceriaan ini, sesuatu yang menyuburkan batin dan esensial bagi pertumbuhan spiritual kita. Riang (joy) adalah salah satu faktor pencerahan. Hidup tanpa keceriaan sungguhlah suram - kelabu, membosankan, dan menekan. Marilah mulai hari ini kita jadikan hidup penuh dengan ke-sukacita-an..

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com