Sariputta | Perenungan Memberi / Berdana secara Meditatif Sariputta

Perenungan Memberi / Berdana secara Meditatif

Bhikkhu Sri Pannavaro Dayaka Mahathera

👁 1 View
2017-09-16 16:14:56

MEMBERI sesuatu adalah bentuk kebaikan yang paling awal, paling mudah dilakukan. Memberi bahkan bisa dilakukan oleh orang yang kejam dan sadis. Seorang pembunuh sekalipun masih bisa memberi suatu kebaikan. Minimal kepada keluarganya sendiri dan kepada teman-temannya. Oleh karena itu, tentu sangat-sangat disayangkan, kalau kita menjadi agak jauh atau tidak senang memberi kebaikan. Karena kalau kita tidak suka memberi, sesungguhnya kita membuang kesempatan terakhir untuk menambah kebaikan dalam hidup ini. Kalau memberi itu dijauhi, ini sama seperti kebaikan yang terakhir pun tidak kita punyai, karena memberi adalah bentuk kebaikan yang paling mudah dilakukan.

Memberi kebaikan berupa materi atau jasa adalah pintu munculnya kebajikan yang lain. Ibarat pintu terbuka, maka semua yang berada di dalam ruangan akan tampak dengan jelas dan yang berada di dalam itu akan mempunyai kesempatan untuk muncul keluar. Tetapi sebaliknya, kalau pintu itu tertutup, kita pun sulit melihat yang di dalam, apalagi yang di dalam bisa keluar ke depan. Orang yang congkak atau arogan, yang sombong, akan sulit memberi bantuan. Orang yang egois, yang mempunyai keserakahan besar, iri hatinya besar, akan sulit memberi pertolongan. Tetapi, orang yang suka memberikan kebaikan-materi ataupun jasa-akan menjadi rendah hati, tidak sombong, dan siap melakukan hal-hal baik lainnya. Oleh karena itu, sering dikatakan oleh para bijak bahwa memberi itu laksana membuka pintu kebajikan yang akan memberi jalan bagi munculnya sifat-sifat bajik yang lain.

Sementara tidak semua orang bisa melakukan kebaikan yang disebut MEMBERI, ada sebagian orang yang mungkin merasa sangat berat untuk memberikan sesuatu. Seseorang berpandangan bahwa memberi itu berarti berkurangnya kekayaan. Apa yang kita miliki akan menjadi berkurang karena diberikan kepada orang lain. Tetapi, suatu ketika rasa berat untuk memberi ini akan bisa diatasi dan disingkirkan kalau dia mau berjuang.

Seseorang kemudian mulai memberi. MEMBERI membawa KEBAHAGIAAN. Dan kebahagiaan yang diperoleh dengan memberi akan maju sesuai dengan pengertian yang menyertainya pada saat dia memberi. Seseorang yang baru mulai memberi akan merasa bahwa melakukan pemberian itu merupakan perjuangan yang hebat antara ingin memberi dan tidak ingin memberi. Sementara orang akan berpikir, "Kalau saya memberikan barang atau uang ini, lalu bagaimana kalau saya sendiri membutuhkannya nanti?"

Kalau latihan atau niat memberinya meningkat, yang semula mereka berhitung di dalam memberikan suatu pertolongan, sekarang dia memberi dengan satu langkah yang lebih baik. Tetapi, dia masih berhitung dengan tujuan yang lebih halus. "Ya, dengan memberikan bantuan ini, mudah-mudahan citra saya naik di tengah-tengah masyarakat. "

Tetapi, akan naik setingkat lagi, bila dia tidak lagi memberi pertolongan dengan tujuan supaya dikenal orang, tidak lagi memberi supaya menjadi terpandang di masyarakat. Tetapi, dia memberi dengan tujuan yang lebih jauh. Dia memberi kebaikan agar hidupnya tidak kekurangan, supaya ekonominya tidak hancur, dan semoga sesudah kematian nanti, dia bisa masuk surga. Semua ini menunjukkan pengertian yang maju, pengertian yang meningkat dari masing-masing orang yang ingin memberi.

Akhirnya orang akan sampai pada suatu pemikiran puncak. Seseorang memberi kebaikan kepada orang lain dengan pikiran, "Saya memberi agar saya bisa membebaskan diri saya dari keterikatan." Dia memberi dengan tidak lagi menghitung-hitung untung-rugi. Dia memberi dengan tidak mempersoalkan apa yang akan dia capai.

Memberi kebaikan kepada siapa pun, dengan tujuan untuk mengurangi keterikatannya terhadap banyak hal, akan memberikan dampak kejiwaan: kerelaan. Kalau nanti alam sudah menuntut kita untuk melepaskan sernuanya, yaitu pada saat kematian tiba, kita sudah siap melepaskan segalanya. Karena kita sudah berlatih melepas dengan perilaku memberikan kebajikan kepada siapa pun yang memerlukan bantuan. Kita berlatih untuk tidak mempunyai nafsu kemilikan yang sangat besar.

Kalau seseorang tidak mau berlatih melepas, hanya ingin mengumpulkan dan mengumpulkan terus, nanti kalau punya masalah, dia pun akan sulit melepaskan masalah itu. Bangun tidur, mau tidur, berhari-hari teringat terus masalah yang mungkin saja hanya sepele. Dia tersiksa, Mengapa demikian? Karena tidak pernah melatih diri untuk melepaskan sesuatu dengan memberi bantuan kepada mereka yang menderita. Oleh karenanya, kalau nanti dipaksa oleh alam untuk : melepaskan semuanya pada saat kematian menjemput, dia sulit sekali mempunyai pemikiran untuk melepaskan semuanya, sulit menerima kematian.

Secara akal kita mengerti bahwa semuanya akan berubah, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Nafsu kemelekatan terhadap milik kita tidak bisa hancur hanya dilawan oleh akal. Nafsu kemelekatan harus dilawan dengan latihan meditasi untuk memperkuat kesadaran, dengan berbuat berbagai kebaikan dan memberikan bantuan kepada mereka yang perlu dibantu. Barulah, hawa nafsu kemelekatan itu bisa dikalahkan.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com