Sariputta | Nafsu Keinginan Sariputta

Nafsu Keinginan

Ajahn Chah

👁 1 View
2017-09-21 22:12:38

Mengapa praktek Dhamma begitu sulit dan sukar? Karena nafsu-keinginan. Begitu kita duduk untuk bermeditasi kita ingin tenang. Jika kita tidak ingin mencari ketenangan kita tidak akan duduk, kita tidak akan berlatih. Begitu kita duduk kita ingin ketenangan langsung ada di sana, tetapi menginginkan batin menjadi tenang malah membuat kita bingung dan kita merasa resah. Begitulah prosesnya. Jadi Sang Buddha bersabda, "Janganlah berbicara dikarenakan oleh nafsu, janganlah duduk karena nafsu, janganlah berjalan karena nafsu... Apapun yang kalian kerjakan; janganlah melakukannya dengan nafsu. Nafsu berarti menginginkan. Jika kalian tidak ingin melakukan sesuatu kalian tidak akan mengerjakannya. Jadi praktek kita sampai pada titik ini kita bisa agak patah semangat. Bagaimana kita bisa berlatih? Begitu kita duduk ada nafsu di batin.

Karena hal inilah jasmani dan batin sulit untuk diamati. Jika mereka bukan pribadi ataupun milik pribadi lalu milik siapakah mereka itu? Sangat sulit untuk memutuskan hal ini, kita harus bersandar pada kebijaksanaan. Sang Buddha bersabda kita harus berlatih dengan "melepaskan". Sungguhlah sulit untuk benar-benar mengerti "berlatih dengan melepaskan" ini, bukan? Jika kita melepaskan maka kita tidak berlatih, bukan? ...Karena kita sudah melepaskan.

Seandainya kita pergi membeli beberapa butir kelapa di pasar, dan ketika kita membawanya pulang seseorang bertanya:

"Untuk apa Anda membeli kelapa itu?"

"Saya membeli mereka untuk dimakan".

"Apakah Anda akan memakan sabutnya juga?"

"Tidak".

"Saya tidak percaya. Jika Anda tidak akan memakan sabutnya mengapa Anda membelinya juga?"

Nah, sekarang apa yang akan kalian katakan? Bagaimana kalian akan menjawab pertanyaan mereka? Kita berlatih dengan nafsu. Jika kita tidak mempunyai nafsu kita tak akan berlatih. Praktek dengan nafsu adalah tanha. Merenungkan dengan cara ini, kalian tahu, bisa menimbulkan kebijaksanaan. Misalnya, kelapa tadi: apakah kalian akan memakan sabutnya juga? Tentu tidak. Lalu mengapa kalian membawa mereka juga? Karena waktunya belum tiba bagi kalian untuk membuang mereka. Mereka berguna untuk membungkus kelapa. Jika, setelah memakan kelapanya, kalian buang sabutnya, maka tidak ada persoalan.

Begitulah praktek kita. Sang Buddha bersabda, "Jangan bertindak berdasarkan nafsu, jangan berbicara berlandaskan nafsu, jangan makan berlandaskan nafsu". Berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring... apapun... jangan melakukannya dengan nafsu. Ini berarti mengerjakan dengan melepaskan. Seperti membeli kelapa di pasar. Kita tak akan memakan sabutnya tetapi belum waktunya untuk membuang mereka. Pertama kita simpan mereka. Begitulah dengan praktek. Konsep dan Yang melampaui Konsep (Konsep (sammutti) menunjuk pada kenyataan semu atau sementara, sedangkan yang melampaui/transenden (vimutti) menunjuk pada kebebasan dari kemelekatan atau khayalan yan ada di dalamnya.) saling berdampingan, seperti kelapa. Daging, kulit dan sabut semua menjadi satu. Ketika kita membelinya kita membeli semuanya. Jika seseorang ingin menuduh kita memakan sabut kelapa, itu urusan mereka, kita tahu apa yang kita lakukan.

Kebijaksanaan adalah sesuatu yang harus kita temukan untuk diri kita sendiri. Untuk melihatnya kita harus berjalan tidak terlalu cepat maupun lambat. Apa yang harus kita lakukan? Pergilah ke mana tidak ada cepat maupun lambat. Berjalan dengan cepat atau berjalan dengan lambat bukanlah sang jalan.

Tetapi kita semua tidak sabar, kita tergesa-gesa. Begitu kita mulai, kita ingin bergegas mencapai akhir, kita tidak ingin tertinggal. Kita ingin berhasil. Ketika saatnya untuk mengatur batin untuk bermeditasi, beberapa orang berjalan terlalu jauh... Mereka menyalakan dupa, bersujud dan bertekad, "Selama dupa ini belum habis terbakar saya tak akan bangkit dari duduk saya, sampai pun saya pingsan atau mati, tidak jadi persoalan apapun... aku akan mati duduk?" Setelah mengucapkan tekadnya mereka mulai duduk. Begitu mereka duduk gerombolan Mara (Mara: personifikasi Buddhis untuk kejahatan, si Penggoda, yang kekuatannya menentang setiap usaha untuk mengembangkan kebajikan dan sila.) datang menyerang mereka dari semua sisi. Mereka baru duduk sejenak lalu sudah berpikir bahwa dupanya telah habis terbakar. Mereka membuka mata mengintip... "Oh, masih tersisa begitu banyak!"

Mereka menggertakkan gigi dan duduk lebih lama, merasa panas, bingung, gelisah, dan kacau... Sampai akhir batas mereka berpikir, "Pasti sudah habis sekarang" ...Mengintip lagi... "Oh, tidak! Bahkan belum separuh jalan!"

Dua atau tiga kali ia begitu dan dupa itu tetap belum habis, jadi mereka menyerah, memasukkannya dan duduk di sana membenci diri sendiri. "Aku begitu bodoh, aku begitu tak ada harapan!" Mereka duduk dan membenci diri sendiri, merasa tidak ada harapan. Ini hanya menimbulkan frustasi dan rintangan. Ini disebut rintangan dari itikad-jahat (vyapada). Mereka tidak bisa menyalahkan orang lain jadi mereka menyalahkan diri sendiri. Mengapa begini? Semuanya karena keinginan.

Sesungguhnya tidaklah perlu seperti itu. Memusatkan perhatian berarti konsentrasi dengan melepaskan, bukan mengkonsentrasikan diri kalian sendiri ke dalam ikatan-ikatan.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com