Sariputta | Menjadi Bukan Siapa Pun Sariputta

Menjadi Bukan Siapa Pun

Ajahn Sumedho

👁 1 View
2017-09-22 05:40:40

Cobalah untuk memperhatikan berhentinya atau berakhirnya segala sesuatu dalam hal-hal yang kecil dengan memberikan perhatian khusus pada berakhirnya hembusan napas. Hal ini ada dalam kehidupan sehari-hari Anda, Anda memperhatikan keberakhiran yang tak seorang pun pernah memberikan perhatian kepadanya. Saya telah mengetahui praktik ini sangat berguna karena merupakan sebuah cara untuk menyadari sifat perubahan dari alam yang berkondisi seperti salah satu kehidupan sehari-hari yang dijalani seseorang. Seperti yang saya pahami, hal ini merupakan kondisi pikiran yang Sang Buddha maksudkan, bukan kondisi konsentrasi yang dikembangkan secara tinggi yang khusus.

Pada tahun pertama saya berlatih, saya berada sendiri dan saya dapat masuk ke dalam kondisi pikiran yang terkonsentrasi yang dikembangkan secara tinggi yang benar-benar saya nikmati. Kemudian saya pergi ke Wat Pah Pong (Vihara Pah Pong, Thailand), yang menekankan pada cara hidup sesuai dengan disiplin Vinaya dan sebuah rutinitas. Di sana seseorang selalu harus pergi ke luar berkeliling menerima dana setiap pagi, dan melakukan pelantunan paritta pagi dan malam. Jika Anda masih muda, dan sehat, Anda diharapkan pergi sangat jauh berkeliling menerima dana – mereka memiliki rute yang lebih pendek yang dapat diikuti oleh para bhikkhu tua yang lemah. Pada hari-hari tersebut, saya sangat bertenaga sehingga saya selalu pergi berkeliling menerima dana pada rute yang jauh, dan kemudian saya kembali dengan lelah, kemudian akan ada santapan dan selanjutnya di sore hari kami mempunyai tugas yang harus dilakukan. Tidaklah mungkin berdiam dalam sebuah kondisi konsentrasi di bawah kondisi seperti itu. Sebagian besar hari tersebut diambil oleh rutinitas kehidupan sehari-hari.

Jadi saya merasa jemu dengan semuanya ini dan pergi untuk menemui Luang Por Chah (Ajahn Chah) dan mengatakan, “Saya tidak bisa bermeditasi di sini,” dan beliau mulai menertawakan saya dan mengatakan kepada semua orang bahwa, “Sumedho tidak bisa bermeditasi di sini!” Dulu saya melihat meditasi sebagai pengalaman yang sangat istimewa yang telah saya miliki dan cukup menikmatinya dan kemudian Luang Por Chah telah menunjukkan secara jelas pada hal-hal yang sangat biasa dari kehidupan sehari-hari, bangun, berkeliling menerima dana, pekerjaan yang rutin, tugas-tugas: yang kesemuanya itu adalah untuk berkesadaran penuh (berperhatian penuh). Dan beliau tidak tampak sama sekali bersemangat untuk mendukung saya dalam hasrat saya untuk memiliki pengalaman pencabutan indrawi yang kuat dengan tidak melakukan semua tugas-tugas harian yang kecil ini. Beliau tampaknya tidak sejalan dengan hal itu; jadi saya akhirnya harus menyesuaikan diri dan belajar untuk bermeditasi dalam hal-hal yang sangat biasa dari kehidupan sehari-hari. Dan dalam jangka panjang hal itu telah menjadi hal yang sangat membantu.

Sesuatu tidaklah selalu menjadi apa yang saya inginkan karena seseorang itu ingin keistimewaan; seseorang akan merasa senang untuk memiliki wawasan mendalam yang bercahaya cermelang dan menakjubkan dalam beragam teknik serta memiliki kenikmatan, ekstase[1], dan luapan keriangan yang luar biasa – bukan hanya menjadi bahagia dan tenang saja – tapi melampaui bulan!

Tapi bercerminlah pada kehidupan dalam wujud manusia ini, hanya seperti ini: yaitu dapat duduk dan bangun secara damai serta merasa puas dengan apa yang Anda miliki; sesuatu yang membuat hidup kita seperti pengalaman sehari-hari, sesuatu yang menyenangkan dan bukan menderita. Dan inilah bagaimana sebagian besar kehidupan kita dapat dijalani – bukankah Anda tidak dapat hidup dalam kondisi ekatase dari luapan keriangan dan kenikmatan saat makan? Saya pernah membaca mengenai kehidupan para santo[2] yang begitu terjebak dalam ekstase, mereka tidak bisa melakukan apa-apa dalam setiap tingkat praktis apa pun. Meskipun darah akan mengalir dari telapak tangan mereka dan mereka bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang keimanannya dapat dengan cepat melihatnya, namun ketika berhadapan dengan sesuatu yang praktis atau realistis mereka tidak cukup mampu melakukannya.

Namun ketika Anda merenungkan disiplin Vinaya itu sendiri, Vinaya merupakan latihan untuk menjadi sadar. Vinaya adalah mengenai berkesadaran penuh berhubungan dengan membuat jubah, mengumpulkan dana makanan, memakan makanan, merawat kuti[3] Anda; apa yang harus dilakukan dalam situasi ini atau situasi itu. Semuanya merupakan nasihat yang sangat praktis mengenai kehidupan sehari-hari para bhikkhu. Hari yang biasa dalam kehidupan Bhikkhu Sumedho bukanlah soal meledak ke dalam luapan keriangan yang luar biasa tetapi bangun dan pergi ke toilet dan mengenakan sebuah jubah dan mandi dan melakukan ini atau itu; ini hanyalah soal menjadi penuh perhatian (berkesadaran) saat seseorang hidup dalam wujud ini dan belajar untuk menyadari segala sesuatu yang ada, menyadari Dhamma.

Itulah mengapa setiap kali kita merenungkan mengenai keberhentian, kita tidak mencari berakhirnya alam semesta tetapi cukup hanya hembusan nafas atau akhir dari hari atau akhir dari pemikiran atau akhir dari perasaan. Untuk menyadari bahwa kita perlu memberikan perhatian kepada arus kehidupan – kita harus benar-benar menyadari jalannya kehidupan daripada menunggu sejenis pengalaman fantastis dari cahaya yang menakjubkan yang turun kepada kita, terpancar kepada kita atau apa pun itu.

Sekarang hanya merenungkan pernafasan biasa tubuh Anda. Anda perhatikan, jika Anda menarik nafas, akan mudah untuk berkonsentrasi. Saat Anda mengisi paru-paru Anda, Anda merasakan sebuah rasa tumbuh dan berkembang dan kuat. Saat Anda mengatakan bahwa seseorang ‘membusung dada’, maka mereka mungkin sedang menarik nafas. Adalah sulit untuk merasakan membusung saat Anda mengeluarkan nafas. Kembangkan dada Anda dan Anda merasakan menjadi seseorang yang besar dan penuh kekuatan. Namun, saat pertama kali saya memberikan perhatian kepada penghembusan nafas, pikiran saya akan mengembara. Menghembuskan nafas nampaknya tidak sepenting menarik nafas – Anda hanya melakukannya agar Anda bisa melanjutkan menarik nafas berikutnya.

Sekarang renungkan: seseorang dapat mengamati pernafasan, lalu apanya yang dapat melakukan pengamatan? Apa yang melakukan pengamatan dan mengetahui tentang menarik dan menghembuskan nafas tersebut – tentu bukanlah pernafasan itu sendiri, iya kan? Anda juga dapat mengamati rasa panik yang datang jika Anda ingin mengambil nafas dan Anda tidak bisa mengambilnya; tetapi sang pengamat, yang mengetahui, bukanlah sebuah emosi, bukan serangan panik, bukanlah hembusan atau tarikan nafas. Jadi keberlindungan kita dalam Buddha adalah untuk menjadi mengetahui seperti itu; menjadi saksi daripada menjadi emosinya atau nafasnya atau tubuhnya.

Dengan suara keheningan, beberapa orang mendengar fluktuasi suara atau sebuah suara latar yang berkesinambungan. Jadi Anda dapat merenungkannya, Anda perhatikan itu – dapatkah Anda memperhatikannya jika Anda menaruh jari-jari Anda di telinga Anda? Dapatkah Anda mendengarnya di sebuah tempat di mana orang menggunakan gergaji mesin? Atau saat Anda melakukan olahraga? Atau saat Anda dalam kondisi penuh emosi? Anda gunakan suara keheningan ini sebagai sesuatu untuk diingat, untuk mengalihkan dan perhatikan – karena suara keheningan tersebut selalu ada di sini dan sekarang. Dan di sanalah ada yang memperhatikannya.

Ada hasrat pikiran untuk menyebutnya sebagai sesuatu, untuk memberikannya nama, mencantumkannya sebagai suatu pencapaian, atau merencanakan sesuatu padanya. Perhatikan hal itu, kecenderungan ingin membuatnya menjadi sesuatu. Seseorang mengatakan bahwa hal ini mungkin saja hanya suara peredaran darah Anda di telinga Anda, seseorang yang lain menyebutnya “suara kosmik”, “jembatan ke Ketuhanan”. Suara-suara tersebut lebih baik dari “darah di telinga Anda”. Suara tersebut mungkin suara Kosmos atau mungkin Anda terjangkit penyakit telinga. Tapi suara tersebut tidak harus menjadi sesuatu; suara itu apa adanya, ia “seperti itu”. Apa pun itu, ia dapat digunakan sebagai perenungan karena saat Anda melakukannya, tidak ada rasa keakuan, yang ada adalah kesadaran penuh, adanya kemampuan untuk merenungkan.

Jadi ini lebih seperti sebuah tepi lurus yang dapat Anda lalui, untuk menjaga Anda dari semua kegoyahan. Merupakan sesuatu yang dapat Anda gunakan untuk menempatkan diri Anda dalam kehidupan sehari-hari, saat Anda mengenaikan jubah Anda, saat Anda menggosok gigi Anda, saat Anda menutup pintu, saat Anda datang ke aula meditasi, saat Anda duduk. Begitu banyak kehidupan sehari-hari yang hanya menjadi kebiasaan karena kita bertujuan pada apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang penting dalam hidup – seperti meditasi. Jadi, berjalan dari tempat Anda tinggal ke Aula Meditasi dapat menjadi pengalaman yang benar-benar diacuhkan – hanya sebuah kebiasaan – klap, klap, klap, sret beng! Lalu Anda duduk di sini untuk satu jam mencoba menjadi sadar.

Inilah cara Anda memulai untuk melihat sebuah jalan menjadi sadar, membawa kesadaran penuh pada rutininas dan pengalaman-pengalaman biasa dari kehidupan. Saya memiliki sebuah gambar kecil yang bagus di ruangan saya yang saya sukai – gambar orang tua dengan secangkir kopi di tangannya, memandang ke luar jendela ke sebuah taman Inggris dengan hujan yang turun.

Judul gambar tersebut adalah “Menunggu”. Demikianlah bagaimana saya berpikir mengenai diri saya, seorang pria tua dengan cangkir kopi saya, duduk di sana di jendela itu, menunggu, menunggu, mengamati hujan atau matahari atau apa pun. Saya tidak melihat gambar itu adalah sebuah gambar depresi tetapi justru sebuaah gambar yang damai. Kehidupan ini hanyalah mengenai menunggu, bukankah demikian? Kita menunggu sepanjang waktu – jadi kita memperhatikannya. Kita tidak menunggu untuk apa pun, tetapi kita dapat hanya sekedar menunggu. Dan kemudian kita merespons berbagai hal dalam hidup, merespons waktu dalam hari, tugas-tugas, merespons cara segala sesuatu bergerak atau berubah, merespons masyarakat di mana kita berada. Respons tersebut bukanlah berasal dari kekuatan kebiasaan dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin tapi merupakan sebuah respons dari kebijaksanaan dan kesadaran penuh.

Sekarang berapa banyak dari Anda merasakan bahwa Anda memiliki sebuah misi dalam hidup untuk dilaksanakan? Sesuatu yang harus Anda lakukan dan sejenis tugas penting yang telah diberikan kepada Anda oleh Tuhan atau takdir atau sesuatu. Orang-orang sering kali terjebak dalam pandangan menjadi seseorang yang memiliki sebuah misi tersebut. Siapa yang bisa hanya menjadi apa adanya mereka, sehingga hanyalah tubuh yang tumbuh, menjadi tua dan mati, bernafas dan sadar? Kita bisa mempraktikkan, kehidupan dalam prinsip-prinsip moral, melakukan kebaikan, merespons kebutuhan-kebutuhan dan pengalaman hidup dengan kesadaran penuh dan kebijaksanaan – tapi tidak ada siapa pun yang harus melakukan apa pun. Tidak ada siapa pun dengan sebuah misi, tidak ada siapa pun yang istimewa, kita tidak membuat seseorang atau orang suci atau seorang titisan atau seorang tulku atau seorang mesias atau Maitreya. Bahkan jika Anda berpikir: “Saya hanyalah bukan siapa-siapa”, bahkan menjadi bukan siapa pun itu adalah juga seseorang di hidup ini, bukankah demikian? Anda juga bisa merasa bangga menjadi bukan siapa pun sama seperti menjadi seseorang, dan sebagaimana kebodohan batin melekat pada menjadi bukan siapa pun. Tetapi apa pun yang Anda percaya, apakah Anda bukan siapa-siapa atau adalah seseorang atau Anda memiliki sebuah misi atau Anda seorang pengganggu dan sebuah beban bagi dunia ini atau bagaimana pun Anda mungkin memandang diri Anda sendiri, maka si pengetahu ada di sana untuk melihat berhentinya pandangan seperti itu.

Pandangan-pandangan muncul dan lenyap, bukankah demikian? “Saya adalah seseorang, seseorang yang penting yang memiliki misi dalam hidup” – pandangan tersebut muncul dan lenyap dalam pikiran. Perhatikan akhir dari menjadi seseorang yang penting atau akhir dari menjadi bukan siapa pun atau apa pun – semuanya lenyap, bukankah demikian? Segala sesuatu itu muncul, lenyap, jadi terdapat ketidaktergenggaman terhadap pandangan menjadi seseorang dengan sebuah misi atau menjadi bukan siapa-siapa. Terdapat akhir dari seluruh penderitaan massal tersebut – akhir dari keharusan untuk mengembangkan sesuatu, akhir dari menjadi seseorang, mengubah sesuatu, mengatur segalanya dengan benar, akhir dari menyingkirkan semua kekotoran barin Anda, atau menyelamatkan dunia. Bahkan cita-cita yang terbaik, pemikiran-pemikiran yang terbaik dapat dilihat sebagai dhamma yang muncul dan lenyap di dalam pikiran.

Sekarang, Anda mungkin berpikir bahwa hal ini merupakan sebuah filosofi hidup yang gersang karena ada lebih banyak perasaan untuk menjadi seseorang yang akan menyelamatkan semua makhluk hidup. Orang-orang dengan pengorbanan diri yang memiliki misi dan membantu orang lain dan memiliki sesuatu yang penting untuk dilakukan adalah sebuah inspirasi. Tapi ketika Anda menyadarinya sebagai Dhamma, Anda melihat keterbatasan dari inspirasi-inspirasi dan kelenyapannya. Maka terdapat Dhamma dari aspirasi-aspirasi dan tindakan tersebut ketimbang terdapat seseorang yang harus menjadi sesuatu atau harus melakukan sesuatu. Seluruh ilusi telah terlepas dan yang tersisa adalah kemurnian pikiran. Kemudian tanggapan terhadap pengalaman berasal dari kebijaksanaan dan kemurnian ketimbang dari keyakinan dan misi pribadi dengan pengertiannya akan diri dan orang lain, dan semua komplikasi yang berasal dari yang seluruh pola kebodohan batin.

Dapatkah Anda percaya hal itu? Dapatkah Anda percaya pada: dengan hanya membiarkan semuanya lepas dan lenyap dan tidak menjadi siapa pun dan tidak memiliki misi apa pun, tidak harus menjadi sesuatu? Dapatkah Anda benar-benar mmpercayai hal itu atau apakah Anda merasa takut, gersang atau tertekan? Mungkin Anda benar-benar ingin inspirasi (seperti): “Katakan kepada saya semuanya baik-baik saja; katakan kau benar-benar menyayangiku; apa yang saya lakukan adalah benar dan Buddhisme bukanlah sekedar agama egois di mana Anda mendapatkan pencerahan untuk kepentingan Anda sendiri; katakan bahwa Buddhisme ada di sini untuk menyelamatkan semua makhluk. Itulah yang Anda lakukan, Bhante Sumedho? Apakah Anda benar-benar Mahayana atau Hinayana?

Apa yang saya maksud adalah inspirasi apa yang menjadi sebuah pengalaman. Idealismenya: tidak mencoba untuk mengabaikan atau untuk menghakiminya dengan cara apapun, tetapi untuk merenungkannya, untuk mengetahui apa yang ada di dalam pikiran dan bagaimana dengan mudah kita dapat diperdaya oleh ide-ide dan pandangan-pandangan tinggi kita sendiri. Dan untuk melihat bagaimana kita bisa menjadi sensitif, kejam dan tidak baik, dengan kemelekatan kita memiliki pandangan mengenai menjadi baik dan sensitif. Di sinilah sebuah penyelidikan sebenarnya terhadap Dhamma.

Saya ingat dengan pengalaman saya, saya selalu memiliki pandangan bahwa saya adalah seseorang yang istimewa dalam beberapa hal; Saya penah berpikir, “Yah saya pastilah seseorang yang istimewa.” Kembali ketika saya masih seorang anak kecil, saya telah terpesona dengan Asia dan sesegera saya bisa, saya belajar bahasa Mandarin di universitas, jadi pastilah saya adalah kelahiran dari seseorang yang berhubungan dengan Oriental.

Namun pertimbangkan hal ini sebagai sebuah perenungan: tidak peduli berapa banyak tanda-tanda dari menjadi istimewa atau tanda-tanda kehidupan sebelumnya atau suara dari Tuhan atau pesan-pesan dari Kosmos, apa pun itu – jangan menyangkalnya atau mengatakan bahwa hal-hal tersebut tidak nyata – tetapi hal-hal tersebut tidak kekal. Hal-hal tersebut anicca, dukkha, anatta. Kita merenungkan hal-hal tersebut sebagaimana apa adanya – apa yang muncul akan lenyap: sebuah pesan dari Tuhan adalah sesuatu yang datang dan lenyap di dalam pikiran Anda, bukankah demikian? Tuhan tidaklah selalu berbicara kepada Anda secara terus-menerus kecuali Anda mengangggap keheningan sebagai suara Tuhan. Maka keheningan benar-benar tidak mengatakan apa pun, bukankah demikian? Kita dapat menyebutnya apa pun – kita dapat menyebutnya suara Tuhan atau ilahi atau suara dering kosmos atau suara darah di dalam gendang telinga Anda. Tapi apa pun itu, dapat digunakan untuk perenungan dan berkesadaran penuh – itulah apa yang saya maksud, bagaimana menggunakan hal-hal ini tanpa membuatnya menjadi sesuatu.

Kemudian misi-misi yang kita miliki merupakan respons-respons (tanggapan-tanggapan), bukan pengalaman-pengalaman yang kita miliki dalam hidup kita – misi-misi tersebut tidak bersifat pribadi lagi, itu bukan saya lagi, Bhikkhu Sumedho, dengan sebuah misi seolah-olah saya adalah pilihan istimewa dari atas, melebihi dari kalian semua. Hal ini bukan itu lagi. Seluruh cara berpikir dan memahami tersebut dilepaskan. Dan apakah saya iya atau tidak menyelamatkan dunia dan ribuan makhluk atau membantu orang miskin di daerah kumuh Kolkata atau membantu menyembuhkan semua penderita kusta dan melakukan segala macam perbuatan baik – ini bukanlah dari khayalan menjadi seseorang, ini adalah respons alami dari kebijaksanaan.

Ini yang saya percayai, inilah apa saddha itu – adalah sebuah keyakinan dalam perkataan Buddha. Saddha: adalah sebuah kepercayaan dan keyakinan yang sebenarnya dalam Dhamma; hanya dalam menunggu saja dan menjadi bukan siapa pun dan tidak menjadi apa pun, tetapi menjadi mampu untuk hanya menunggu dan merespons. Dan jika tidak banyak hal untuk direspons, tinggal menunggu saja – secangkir kopi, mengamati hujan, matahari terbenam, menjadi tua,menyaksikan proses penuaan, kedatangan dan kepergian di vihara – penahbisan dan pelepasan jubah, inspirasi dan depresi, yang tinggi dan yang rendah, di dalam pikiran, di luar dunia. Dan keberadaan respons karena saat kita memiliki semangat dan kecerdasan dan bakat, maka kehidupan selalu datang kepada kita meminta kita untuk menanggapi dalam beberapa cara terampil dan penuh welas asih, yang sangat rela dan mampu kita lakukan. Kita ingin membantu orang. Saya tidak keberatan pergi ke sebuah daerah penempatan penduduk Buddhis berpenyakit kusta – saya akan senang akan hal itu – atau bekerja di kota-kota kumuh Kolkata atau di mana pun, saya tidak akan keberatan; hal-hal semacam itu lebih menarik bagi rasa kewajiban saya!

Tapi hal ini bukanlah sebuah misi, bukan saya yang harus melakukan apa pun; ini adalah mempercayai dalam Dhamma. Maka respons terhadap kehidupan menjadi jernih dan bermanfaat karena respons ini bukan datang dari saya sebagai seseorang dan dari khayalan dari bentukan-bentukan batin pengkondisi kebodohan batin. Dan seseorang mengamati keresahan, kekompulsifan (dorongan keras yang memaksa), keobsesian pikiran dan membiarkannya berakhir. Kita membiarkannya lepas dan berhenti.

– Selesai –

Catatan:
[1] ekstase: keadaan di luar kesadaran diri (seperti keadaan orang yang sedang khusyuk bersemadi).
[2] santo: sebutan untuk orang laki-laki kudus dalam ajaran Katolik.
[3] kuti: bangunan kecil tempat tinggal para bhikkhu; pondok; bilik.

Judul Asli: Being Nobody
Sumber: The Way It Is, 7 Februari 1989, Amaravati.org
Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com