Sariputta | Kemelekatan Dalam Meditasi Sariputta

Kemelekatan Dalam Meditasi

Ajahn Chah

👁 1 View
2019-05-11 17:21:36

Walaupun banyak cendekiawan papan-atas telah menulis penjelasan-rinci tentang jhana pertama, kedua, ketiga dan keempat, apa yang tertulis hanyalah informasi eksternal. 
Apabila pikiran benar-benar memasuki kedamaian mendalam seperti itu, pikiran tidak tahu menahu mengenai apa yang tertulis. 
Pikiran memang mengetahui, tetapi apa yang diketahuinya tidaklah sama dengan teori yang kita pelajari. 
Jika para akademisi mencoba untuk menggenggam teorinya dan memeriksanya ke dalam meditasi, mereka duduk dan berpikir, “Hmmm…Apa ya ini? Apakah ini sudah jhana pertama?” 
Nah! 
Kedamaiannyapun buyar, dan mereka tidak mengalami apapun yang sungguh bermanfaat. 
Dan apa sebabnya? Karena terdapat nafsu, dan begitu ada nafsu kemelekatan maka apa yang terjadi? 
Pikiran segera keluar dari meditasi. 
Jadi penting bagi kita semua untuk menyingkirkan segala pemikiran dan spekulasi. 
Tinggalkanlah mereka seluruhnya. 
Cukup gunakan tubuh, ucapan dan pikiran dan ceburkan diri seluruhnya ke dalam praktik. 
Amati langsung cara kerja pikiran ini, tetapi janganlah menyeret serta buku-buku Dhamma saat anda mengamati pikiran. 
Kalau tidak, maka segalanya bakal berantakan, karena tidak ada isi buku yang cocok persis dengan kenyataan yang sebenarnya.

Orang yang belajar terlalu banyak, yang penuh dengan pengetahuan teoritis, biasanya kesulitan dalam praktik meditatif. 
Mereka cuma berhenti pada tingkat informasi. 
Kenyataannya adalah, pikiran dan bathin ini tidak bisa diukur dengan standar eksternal. 
Jika pikiran ini damai, sekedar biarkanlah ia menjadi damai. 
Pelbagai level kedamaian yang amat mendalam memang sungguh ada. 
– 
Secara pribadi, saya tidak tahu banyak teori tentang latihan. 
Waktu itu saya telah menjadi bhikkhu selama tiga tahun dan masih banyak pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya samadhi itu. 
Saya terus memikirkannya dan membayangkannya saat bermeditasi, tetapi pikiran saya malah menjadi kian gelisah dan bingung. 
Jumlah pemikiran-pemikiran kian bertambah. 
Dan ketika saya tidak bermeditasi kok malah lebih tenang. 
Aduh, sulit amat, sangat menjengkelkan! 
Tapi sekalipun saya menjumpai banyak hambatan, saya tak pernah menyerah. 
Saya teruskan saja. 
Kala saya tidak berusaha berbuat sesuatu yang khusus, pikiran saya relatif tenteram. Tapi manakala saya bertekad membuat pikiran menyatu dalam samadhi, ia malah kehilangan kontrol.

“Apa yang sesungguhnya terjadi di sini,” pikir saya. “Mengapa ini terjadi?”

Belakangan saya mulai menyadari bahwa meditasi itu sama halnya dengan bernapas. 
Bila kita memaksa napas untuk menjadi dangkal, dalam atau membetulkannya — itu sangatlah sulit. 
Namun demikian, kalau kita berjalan-jalan, dan tidak menyadari napas masuk, napas keluar, itu sangatlah santai. 
Jadi saya berpikir, 
“Aha? Mungkin begitulah caranya.” 
Ketika seseorang berjalan biasa di sepanjang hari, tanpa memfokuskan perhatian pada napasnya, apakah napas tersebut membuatnya menderita? 
Tidak, mereka hanya merasa relax. 
Tetapi ketika saya duduk dan bertekad-bulat hendak membuat pikiran tenang, maka kemelekatan pun timbul. 
Ketika saya berusaha mengendalikan napas menjadi dangkal atau dalam, hal itu justru membuat saya lebih tertekan. 
Mengapa? 
Karena tekad saya ternoda oleh kemelekatan. 
Saya justru jadi tidak tahu apa yang terjadi. 
Semua frustasi dan penderitaan muncul karena saya membawa kemelekatan ke dalam meditasi.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com