Kamma: Bukan Fatalisme atau Takdir
Bhikkhu Kheminda
👁 1 View2018-06-20 14:57:37
Fatalisme adalah paham yang menganggap segala sesuatu yang terjadi sudah ditentukan terlebih dahulu oleh satu kekuatan yang tidak diketahui. Ajaran ini menekankan pada satu sikap untuk menyerahkan kehidupan ini kepada nasib. Menurut ajaran ini, manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan sesuatu untuk mengubah nasib. Ajaran seperti ini di tolak oleh Buddhisme. Sebaliknya, Buddhisme mengajarkan bahwa kehidupan ada ditangan kita masing-masing. Kita sendiri adalah arsitek yang merancang bagunan kehidupan kita. Indah atau buruknya bangunan tersebut semuanya disebabkan oleh terampil atau tidaknya kita mengelola kehidupan ini!
Pada zaman dulu, seperti halnya di Indonesia, animisme sangat berkembang di beberapa bagian dunia. Hingga kemudian, pada tahun 1750 hingga 500 sebelum masehi (periode Vedic), di India mulai berkembang satu ajaran spritual baru yakni yang disebut sebagai kamma. Ajaran tentang kamma kemudian menjadi ciri dari agama-agama yang lahir di India----bukan yang di luar India. Hanya saja istilah kamma pada masa itu berbeda dengan yang diajarkan oleh Buddha.
Teori tentang kamma muncul karena banyak petapa-petapa di India pada waktu itu mulai bisa merealisasi bahwa kehidupan ini telah terjadi berkali-kali, berulang-ulang. Apabila kita amati, ajaran spritual yang menganut pemahaman tentang kehidupan yang berulang-ulang menjadi ciri yang khas dari agama-agama dari India.
Realisasi para petapa tentang adanya kehidupan yang berulang-ulang sangatlah penting sehingga membawa dampak perubahan yang sangat signifikan untuk peradaban di dunia hingga hari ini. Hanya para petapa yang mampu mengingat kehidupan lampaunya. Hanya dengan cara bertapa---bermeditasi----kita akan mampu mengingat kehidupan lampau. Tidak dengan cara berdoa, atau membaca mantra berkali-kali, tetapi hanya dengan teknik meditasi tertentu seseorang akan mampu mengenali kehidupannya di masa lalu.
Pandangan kalangan non-Buddhis tentang kamma pada zaman Vedic (Zaman orang-orang Hindu di masa-masa, yang menganut kitab suci Veda) adalah bahwa kamma atau karma adalah "perbuatan yang telah dilakukan" atau "kurban dalam tradisi Veda" atau upacara-upacara ritual yang menggunakan kurban tertentu. Inilah realisasi yang dilihat oleh para petapa pada waktu itu. Ketika bermeditasi, mereka melihat kehidupan lampau. Hanya itulah yang mereka bisa lihat. Penglihatan mereka masih sangat terbatas karena batin mereka belum dimurnikan oleh Panna (kebijaksanaan) seperti yang diajarkan oleh Buddha. Mereka juga belum menyempurnakan parami, seperti yang dilakukan oleh Buddha, sehingga penglihatan mereka tentang kehidupan masa lampau dalam konteks hubungan sebab dan akibat tidak lengkap dan sempurna. Mereja hanya mampu melihat bahwa ternyata di dalam banyak kehidupan, pada saat mereka terlahir di alam yang baik, kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah merupakan efek dari satu sebab. Apa yang menjadi sebab dari kebahagiaan mereka? Sebabnya adalah upacara-upacara , ritual-ritual yang mengurbankan binatang ini dan itu. Demikianlah pemahaman yang muncul dari kebijaksanaan yang belum berkembang secara sempurna. Penglihatan mereka belum terbuka lebar. Mereka belum melihat fenomena sesuai dengan realitas (yathabhuta). Mereka belum melihat segala sesuatu apa adanya dan masih dipengaruhi oleh persepsi-persepsi yang kotor dan terdistorsi.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang praktisi ilmu modern yang sangat piawai di dalam membantu seseorang untuk melihat kehidupan masa lampau. Pada saat berdiskusi dengan dia sampailah kepada satu pertanyaan "Anda sudah pernah mengalami hal seperti itu?" Dia bilang ,"Iya". "Boleh ceritakan kepada saya pengalaman Anda pada saat itu?" Dia kemudian bercerita bahwa keadaan kepalanya berat, pikirannya tidak jernih dan dan badan terasa tidak enak. Pada saat selesai pun kepala masih terasa berat, tubuhnya tidak nyaman dan pikirannya juga tidak jernih. Pada waktu itu saya katakan bahwa kondisi ini sangat berbeda dengan seseorang yang bermeditasi. Pada saat seseorang keluar dari meditasi, pikiran kita sangat terang benderang, tubuh jasmani sangat ringan, sangat sehat dan bahkan keadaan yang seperti ini bisa bertahan selama dua atau tiga hari----bahkan lebih. Kalau Anda pernah masuk ke samadhi yang kuat, samadhi yang benar, di mana lima rintangan batin berhasil di tekan maka pada saat itu Anda akan merasakan betapa pikiran ini sangat jernih, semua kekotoran batin, lima rintangan batin tertekan----tidak ada di dalam batin Anda. Batin sangat penuh dengan cinta kasih dan penuh dengan kebijaksanaan. Keadaan batin yang seperti ini sangat murni.
Batin yang murni mampu melakukan pengamatan terhadap objek yang keliru, karena sudah bebas dari persepsi, bebas dari like and dislike, suka dan tidak suka, sudah bebas dari konsep, sudah bebas dari impian-impian, keinginan-keinginan, atau apa pun yang ada di dalam alam bawah sadar seseorang, baik kehidupan-kehidupan masa yang lampau maupun kehidupan saat ini. Pada saat Anda masuk ke samadhi yang benar maka Anda bebas dari semuanya itu. Semua persepsi menjadi murni dan bersih sehingga pengamatan yang dilakukan oleh batin yang sangat bersih seperti itu adalah pengamatan yang objektif. Sudah tidak berdasarkan apa yang Anda inginkan. Anda tidak mengarahkan batin Anda sesuai dengan keinginan Anda. Batin menjadi sangat terang benderang, mampu melihat segala sesuatunya dengan lebih nyata, lebih jelas lagi. Selama batin tidak keadaan seperti itu, maka pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan yang sangat subjektif. Pengamatan yang seperti itu bisa keliru.
Inilah mengapa petapa di zaman sebelum Buddha menyakini, melalui penglihatan mereka melalui meditasi, bahwa mereka terlahir di surga karena buah dari ritual atau upacara tertentu. Mereka harus melakukan upacara dan ritual-ritual tertentu kalau ingin terlahir di surga atau hidup bahagia. Pengamatan mereka tentang hubungan sebab dan akibat tidak jernih karena masih dipengaruhi oleh persepsi yang terdistorsi.
Di dalam aliran spritual tertentu, ajaran tentang kamma adalah ajaran rahasia---tidak semua orang boleh tahu. Hanya para pemuka alirannya saja yang boleh tahu. Ketika melakukan upacara atau ritual, ada mantra-mantra tertentu yang tidak semua orang boleh tahu. Mantra-mantra ini hanya dimonopoli oleh pemuka aliran tersebut. Inilah ajaran kamma yang berkembang diluar Buddhisme pada saat itu. Ajaran kamma menjadi satu ajaran esoteris, ajaran yang bersifat khusus dan rahasia.. Tranmisi ajaran juga dilakukan secara rahasia.
Di sisi lain, Buddha tidak seperti itu. Tidak ada ajaran yang disembunyikan dan berada dalam "genggaman guru" (acariyamutthi). Beliau mengajarkan semua yang Beliau tahu dan bermanfaat untuk pembebasan kita. Tidak semua yang Beliau tahu diajarkan kepada kita karena Beliau hanya mengajarkan semua ajaran yang bermanfaat untuk menghancurkan keserakahan, kebencian dan delusi. Segala hal yang bermanfaat untuk pencerahan sudah diajarkan Buddha. Semua ajaran sudah dibuka, Jalan Mulia Berunsur Delapan dibuka, meditasi samatha untuk mencapai JHANA dibuka, peta spritual untuk mencapai Jalan dan Buah sudah diajarkan oleh Buddha----semuanya dibuka dan tidak ada yang disembunyikan. Siapa pun yang mempraktikkan Ajaran Buddha mendapatkan satu jaminan yang pasti, yaitu hancurnya lobha, dosa, dan moha.
"Teori kamma adalah salah satu usaha penting yang dilakukan untuk pertama kalinya di dalam sejarah spekulasi manusia untuk menjelaskan tujuan hidup manusia, kaitannya dengan usaha diri sendiri. Penekanan pada usaha sendiri, usaha pribadi sebagai JALAN YANG PASTI untuk pemurnian moral dan pencerahan adalah bentuk protes yang sangat penting terhadap ajaran suku-suku tentang tanggung jawab kolektif ( Pada masa itu mereka percaya bahwa kehidupan ini merupakan tanggung jawab kolektif.) Kamma 'mengumandangkan' teori individualisme, dan, pada tataran keagamaan, melawan takdir dan kewenangan Tuhan (Karena sering kali pada masa itu, ada satu suku sangat menderita, ini karena dikutuk oleh Tuhan. Ada satu suku lain bahagia karena dia mendapat berkah atau anugerah dari Tuhan. Ini yang dimaksud dengan kesewenang-wenangan.) pada tataran sosial (The origin and sociology of the Early Budhist Philosophy of Moral Determinism, Varma VP 1963:35f).
Pernyataan tersebut merevolusi cara pandang masyarakat India pada masa-masa awal munculnya ajaran tentang kamma. Jadi teori tentang kamma ini muncul, umat manusia di muka bumi selalu percaya kalau mereka ingin bahagia maka yang mereka harus lakukan adalah memohon dan melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Pada saat teori kamma ini muncul untuk pertama kalinya maka manusia pun kembali menjadi manusia yang harus bertanggung jawab terhadap kehidupannya masing-masing. Inilah revolusi spritual yang terjadi, bahwa untuk pertama kalinya manusia bisa melihat bahwa dia ternyata adalah pencipta dari kehidupannya sendiri.