Sariputta | Hasil Karmamu Sendiri Sariputta

Hasil Karmamu Sendiri

Bhikkhu Sri Pannavaro Dayaka Mahathera

👁 1 View
2017-09-18 18:18:29

Suatu hari ada seseorang yang datang ke vihara bertemu saya. Dia bukan umat BUddha. Dan kebiasaan kami, kami menerima siapa pun yang datang. Umat buddha atau bukan, tanpa membeda-bedakan.
Saya kenal baik dengan orang ini, dia mau belajar dan sering meminta nasehat kepada saya. Dia seorang pekerja keras, jujur, tetapi sering ditipu, sering gagal, sering hancur. Dia juga rendah hati.
Saya berikan nasehat kepadanya. Saya berikan dia semangat; "Bertahanlah ! Apalagi Anda masih mempunyai tubuh yang sehat, tidak sakit. Kesehatan itu modal untuk bangkit kembali. Kuatlah ! Tidak ada kesulitan yang kekal, semuanya tidak kekal. Ketidak kekalan memberikan harapan, hukum perubahan memberikan harapan kepada kita untuk maju."
Dia mengerti dan berucap; "Terimakasih Bhante."
Masih ada cerita sambungannya. Ada lagi seorang umat Buddha yang datang. Suatu ketika dia memiliki masalah. Umat Buddha ini seorang yang mampu, tidak seperti orang pertama yang tadi, yang kehidupannya seorang yang sederhana, orang miskin.
Umat Buddha ini orang yang mampu tetapi sombong. Sangatlah sombong. Dia menjalin kerja sama dengan seorang umat Buddha juga di daerah, proyeknya besar.
Kemudian, dilakukan persiapan. Orang yang sombong ini membayar seorang umat Buddha lainnya yang dia percayai untuk menjalankan proyeknya. Orang ini diberi gaji lebih dari yang lain karena memandangnya sebagai sesama umat Buddha juga.
Dari persiapan itu, ketika saatnya beroperasi, dia ditipu oleh orang yang dia percayai tadi. Orang sombong ini menjadi sangat marah saat mengetahui orang yang dia percayai melakukan korupsi.
Dia menasehatinya dengan kemarahan, kemudian menghujat dengan mengirimkan pesan pendek di handphone. Pesan pendek tersebut ditembuskan ke saya juga. Secara tidak langsung saya ikut dapat maki-makian meskipun bukan ditujukan kepada saya. Barangkali dia berpikir supaya orang itu dapat dipermalukan di depan para bhikkhu.
Saya ingin memberikan nasehat kepadanya dan juga kepada orang yang korupsi itu. Saya memberikan nasehat kepada dia terlebih dahulu. Saya bermaksud agar kesombongannya sedikit turun.
Saya membalas pesan pendeknya;
Bapak, sebagai umat Buddha kita percaya kepada hukum karma, yakin terhadap hukum karma.
Kemudian, lebih lanjut saya menjelaskan tentang hukum karma dengan mengurainya sebagai hukum sebab-akibat. Bahwa apabila seseorang ditipu, itu terjadi karena perbuatan buruknya di masa lalu sedang membuahkan hasilnya.
Lalu dia yang dicaci maki juga adalah akibat dari perbuatan buruknya sendiri yang sedang berbuah. Kalau tidak ada sebab berupa perbuatan buruk, akusala kamma, dimasa lalunya, tentu dia tidak akan ditipu.
Begitu juga dengan dia yang dicaci maki, Andai tidak ada akusala kamma yang pernah dia lakukan, maka tidak mungkin dia dihina seperti itu.
Sekarang orang yang menipu itu sedang membuat sebuah karma buruk yang baru. Demikian juga dengan dia yang mencaci maki, dia juga sedang membuat akusala kamma yang baru. Suatu hari nanti akan memberikan akibat yang buruk juga kepada keduanya.
Akhirnya saya menutup penjelasan saya;
Jadi kan sama toh, Pak. Keduanya sedang menerima hasil perbuatan buruk yang sebelumnya, lalu atas akibat itu melakukan sebab baru berupa perbuatan buruk lagi.
Saya berharap dengan penjelasan saya tersebut, 'aku' - nya turun. Alih-alih 'aku' - nya turun, dia malahan membalas nasehat itu dengan agak marah, hanya saja karena kepada saya, marahnya diatur.
Dia membalas;
Bhante, orang yang menipu dan mencaci-maki itu memang harus dinasehati supaya menjadi baik, tetapi saya kan di jalan bodhisattva.
Ah......, ternyata 'aku' - nya sudah menjadi bodhisattva sekarang.
Sulit. Ketika kita menderita, tetapi tidak mau menerima bahwa itu adalah akibat perbuatan buruk kita sendiri yang sedang berbuah, masalah akan menjadi semakin sulit. Mau tidak mau, malu-tidak malu, apa pun yang dilakukan oleh orang lain kepada kita, semata-mata itu adalah akibat perbuatan kita sendiri yang sednag berbuah. Titik !
Sedangkan orang yang sedang keburukan itu melakukan perbuatan buruk yang baru. Kasianilah dia. Dia tidak tahu bahwa dia sedang melakukan perbuatan buruk yang akan menambah penderitaannya. Seperti yang terjadi pada bapak itu, sulit sekali baginya untuk bisa menerima bahwa itu adalah akibat karmanya. "Aku" - nya sulit menerima. Karena 'aku' -nya telah naik sampai menjadi 'bodhisattva'.
Maka saya akhiri pesan pendek saya;
Baiklah, Bapak. Sadhu sadhu sadhu.
Dia pun tidak mau kalah, kemudian dia membalas lagi;
Terimakasih, Bhante. Sadhu sadhu sadhu sadhu.
Dia menuliskan sadhu empat kali. 'Aku'-nya semakin tinggi lagi.
Kisah ini mengingatkan kita, marilah kita mengalahkan diri sendiri. Apabila kita tidak mau mengalahkan diri sendiri maka kita juga tidak akan berguna, meskipun hanya untuk keluarga kita sendiri, apalagi untuk masyarakat. Tidak akan. Dengan mengalahkan diri sendiri kita akan memiliki ketentraman di dalam batin. Ketentraman ini akan mempengaruhi perilaku kita, tindak tanduk kita, juga ucapan kita. Dengan demikian kita di dunia ini pun menjadi berguna, bermanfaat.
Meskipun mungkin tidak panjang, tidak lebih seratus tahun. Namun kita menjadi berguna, bermanfaat. Marilah kita maju terus dengan kesadaran, dengan mengendalikan diri, dengan peduli kepada mereka yang membutuhkan dan menderita.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com