Sariputta | Hantu Kelaparan Sariputta

Hantu Kelaparan

Ajahn Chah

👁 1 View
2017-09-21 21:52:09

Buddha menyatakan bahwa biarpun seorang guru, seperti saya ini (Ajahn Chah ataupun guru lainnya), bisa terlahir ulang menjadi hantu kelaparan---semacam hantu kelaparan yang rapi. Bagiamana mungkin? Ada sebuah cerita yang ingin saya kisahkan, sebuah fabel yang layak diceritakan. Kisahnya agak panjang, jadi tolong bersabar dengan saya.

Dahulu, ada seseorang yang batinnya sangat bijak. Ia akan berusaha melakukan apa pun yang membuahkan jasa baik dan yang piawai. Segala yang dilakukannya tertata apik dan agak bertuntutan tinggi, segalanya mesti rapi, semuanya mesti tertata rapi ditempatnya. Kalau anak-anak atau keponakannya datang berkunjung, ia merasa sedikit kesal. Sapu yang seharusnya ada di sini di letakkan di tempat yang lain, teko tidak diletakkan kembali di tempatnya semula, jika ada orang yang berperilaku tidak sesuai kehendaknya, ia akan kesal dan menderita.

Tetapi ia ini orang yang memang apik dan mempunyai batin yang baik. Suatu hari, terlintas dalam benaknya untuk membangun sebuah paviliun di dalam hutan, sebuah sala (aula) tempat orang bisa bernaung. "Hmmmm, membangun sala di sini adalah hal yang baik. Aku akan memperoleh jasa kebajikan. Pedagang dan pejalan kaki boleh berhenti mapir dan beristirahat di sini. Mereka bakal merasa nyaman dan pasti sangat terbantu dan menghargainya." Setelah memikirkan hal ini, dia pun membangun aula tersebut, dan benar banyak orang lain yang mendapatkan manfaatnya.

Kemudian, ia pun meninggal. Setelah meninggal, karena kelekatannya terhadap berbagai kegiatan baiknya, kesadarannya kembali berdiam di sana, tempatnya dahulu ketika ia masih hidup dan melakukan perbuatan-perbuatan baiknya. Ia selalu memeriksa sala dan melihat apakah aula yang dibangunnya itu bersih dan rapi. Bilamana ditemukannya bagian yang berantakan, dia akan kesal. Dan bilamana dilihatnya aula itu rapi dan bersih, ia bahagia, karena batinnya seperti itu---bajik, rapi, dan teratur.

Lalu suatu hari, ada beberapa ratus pedagang tiba untuk mampir dan tinggal di aula itu. Setelah makan malam, mereka pun tidur, berbaring dalam sebuah susunan deretan panjang.

Pemilik aula itu sekarang adalah hantu kelaparan yang rapi tersebut. Ia datang untuk memeriksa apakah para pedangan itu tidur dengan rapi. Saat berkeliling dan melihat-lihat, tampak olehnya bahwa kepala para pedagang itu tidak segaris rapi. Apa daya? Ia berpikir-pikir, lalu akhirnya menarik kaki-kaki para pedagang itu untuk mensejajarkan kepala mereka. Ia terus menarik dan menghentak; deret pertama, ke dua, dan seterusnya, hingga kepala mereka semua bergeser menjadi segaris rapi. Tetapi waktu itu ia melihat kaki para pedagang itu; kini kaki para pedagang itu menjadi tidak segaris, apa daya? Alhasil, ia mulai menarik kepala mereka kembali untuk mensejajarkan kaki mereka.

Begitu akhirnya selesai, tampak olehnya kepala mereka kembali tidak segaris. "Apa yang terjadi ya?" Ia terheran-heran. Ia terus berupaya berbuat seperti ini sepanjang malam, repot sekali dia. Akhirnya ia menyerah dan lalu bertanya kepada dirinya sendiri mengapa bisa begitu. Ia duduk, berpikir, lalu akhirnya menyadarinya; semua orang itu tidak sama, tinggi mereka berbeda, sehingga mereka tidak bisa segaris. Ia lalu melepaskan masalah itu, karena dilihatnya bahwa ada orang yang pendek dan ada yang lebih tinggi; begitulah adanya.

Ia melepas, dan merasa lebih baik karena teampak olehnya bahwa orang tidaklah sama. Sebelum itu, dia menuntut mereka semuanya harus sama. Ketika ternyata mereka itu tidak sama, ia mencoba untuk menyamakannya, namun hal itu adalah hal yang mustahil, dan ia menderita karenanya. Lantas ia berhenti dan merenungi hal itu dan akhirnya menyadari kebenaran: "Ah, orang memang seperti itu. Mereka tidak semuanya dama tinggi," dan ia merasa lebih baik akhirnya. Ini sama seperti kita. Kita harus melihat penyebabnya. Kita mesti melihat bahwa setiap orang tidaklah sama. Ini sesuatu yang layak kita renungi karena kita tidak dapat mengubah hal-hal tertentu. Kaki para pedagang itu tidak mungkin dipotong untuk meratakannya. Genggamanlah yang membuat kita tersangkut pada kelekatan dalam cara kita berharap.

Kita manusia memang seperti ini. Kita mempunyai usaha, pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda. Sebagian bekerja secara cepat dan efisien, sebagian lagi lamban---segala jenis perbedaan. Kalian gampang menjadi hantu kelaparan jika salah memandangnya. Saya pun begitu, saya bisa jadi hantu kelaparan karena hal ini, meskipun saya menyadari dengan cepat: "Hei, kamu sedang menjadi hantu kelaparan. Berhenti !"

Saya punya siswa dan saya ingin mereka maju dan berkembang dengan mengikuti mode pelatihan kami. Terkadang saya menderita karenanya. Ketika hal itu terjadi, saya mengingatkan diri sendiri bahwa saya sudah mulai menjadi hantu kelaparan lagi. Saya mengajari diri sendiri terus menerus seperti ini.

Dengan cara ini, kita bisa sering terlahir sebagai hantu kelaparan. Kita tidak mudah menyerah. Kita mesti mengajari diri sendiri agar piawai dalam menghadapi hidup, untuk mengetahui penyebab dan akibatnya. Setelah itu, barulah kita bisa membiarkan orang seperti apa adanya, membiarkan mereka berlaku apa adanya. Dengan melepas, kita bisa lega terhadap hal itu. Mungkin kita ingin mereka ini menuruti cara tertentu, namun masalahnya bukan karena mereka, tetapi karena kita. Batin kita sendiri buram. Alhasil, kita berpikir karena orang ini atau itu. Bukan seperti itu, itu karena kita sendiri. Orang-orang tidaklah sama satu dengan lainnya, tetapi kita mengharapkan mereka semuanya sama. Jika kita menuntaskan masalah cara kita berpandangan, kita akan baik-baik saja.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com