Berdoa Dari Sudut Pandang Buddhisme
Bhikkhu Kheminda
👁 1 View2018-07-23 20:06:58
Di ambil dari rubrik Anda Bertanya Ashin Menjawab Media Komunikasi DBS Ñāṇappabhā edisi 02)
Pertanyaan:
Di paragraf terakhir halaman 45 Buku Kamma: Pusaran Kelahiran dan Kematian Tanpa Awal, terdapat pernyataan sebagai berikut "Sejak saya mengenal ajaran Buddha sampai hari ini saya tidak pernah berdoa untuk memohon kebahagiaan…”
Pertanyaannya adalah saat membacakan paritta Ettāvatā di mana terdapat syair yang berarti semoga timbunan jasa ini melimpah kepada sanak keluarga. Semoga sanak keluarga berbahagia atau seperti paritta Brahmavihārapharaṇā: semoga aku berbahagia, bebas dari derita, apakah tidak termasuk berdoa? Bila kita memohon untuk kesehatan apakah salah?
Jawaban Ashin Kheminda:
Batasan Istilah
Pertanyaan di atas tentu mewakili pertanyaan banyak orang. Menanyakan sesuatu yang memunculkan keraguan adalah perbuatan yang bijaksana. Semoga uraian di bawah ini bisa mengusir keraguan tersebut.
Pertama-tama saya ingin menyampaikan batasan istilah untuk berdoa, yaitu suatu aktivitas batin yang memohon atau meminta sesuatu yang diinginkan—misalnya kebahagiaan—kepada dewa, brahmā atau makhluk apa pun yang diyakini bisa memberikannya. Kebahagiaan dianggap bisa didapatkan hanya dengan cara berdoa seperti itu dan merupakan hadiah dari makhluk tersebut. Apabila makhluk tersebut tidak berkenan maka kebahagiaan tidak bisa terwujud karena tidak ada makhluk lain yang bisa menghalangi kehendaknya; termasuk diri kita sendiri. Dengan demikian kebahagiaan menjadi sesuatu yang berada di luar kuasa kita.
Dengan batasan istilah seperti di atas maka Ettāvatā dan Brahmavihārapharaṇa tidak termasuk dalam terminologi berdoa karena keduanya melibatkan perbuatan baik yang menjadi faktor utama kemunculan kebahagiaan. Akan tetapi saya tidak akan membahas alasannya di sini mengingat keterbatasan tempat yang tersedia.
Data Empiris
Seandainya Buddha tidak pernah mengajarkan tentang tiadanya hubungan antara berdoa dan kebahagiaan seperti yang akan saya uraikan di bawah ini, seharusnya kita sendiri pun bisa menggunakan kebijaksanaan untuk menilai efektivitas dari berdoa melalui pengalaman yang sudah kita alami minimal di dalam satu kehidupan ini.
Mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing persentase keberhasilan dari doa. Kita pun akan terkejut ketika menemukan fakta betapa doa-doa tersebut tidak efektif! Mungkin ada sebagian dari Anda yang menyangkalnya dan mengatakan bahwa selama ini keberhasilan dan kebahagiaan yang Anda capai adalah efek dari doa-doa Anda. Akan tetapi renungkanlah lebih dalam lagi, apakah Anda yakin bahwa kebahagiaan yang Anda dapatkan adalah hasil dari berdoa? Apakah Anda yakin bahwa berdoa adalah sebab dan kebahagiaan adalah akibat; seperti yang terjadi ketika lampu menyala sebagai sebab maka akibatnya adalah hilangnya kegelapan? Tidakkah keyakinan tersebut spekulatif? Tidakkah Anda berpikir bahwa kebahagiaan yang dialami adalah hasil dari perbuatan Anda selain berdoa? Anda mungkin tidak bisa menjawab dengan tegas pertanyaan-pertanyaan tersebut; oleh karena itu maka sebaiknya dengarkanlah apa yang diajarkan oleh Buddha tentang hal ini.
Iṭṭha Sutta (AN 5.43)
Sutta yang berisi nasihat Buddha kepada seorang kepala rumah tangga (gahapati) yang bernama Anāthapiṇḍika ini akan menjadi rujukan utama guna menjawab pertanyaan di atas. Kitab-kitab kita merekam kebiasaan Anāthapiṇḍika yaitu mengunjungi Buddha setiap hari—tidak hanya sekali bahkan beberapa kali dalam satu hari. Akan tetapi, dengan alasan tidak ingin mengganggu dan memberikan beban tambahan kepada Buddha, biasanya dia tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Itulah mengapa di Sutta ini Buddha tetap mengajarkan Dhamma walaupun Anāthapiṇḍika tidak memintanya.
Nama dari Sutta ini adalah “iṭṭha” yang berarti menyenangkan. Di sini Buddha menyampaikan lima dhamma yang menyenangkan yang tidak bisa didapatkan melalui berdoa.
Kepala rumah tangga, lima dhamma ini adalah menyenangkan, disukai, menawan hati (tetapi) sulit didapatkan di dunia ini. Lima itu apa? (1) kepala rumah tangga, umur panjang adalah menyenangkan, disukai, menawan hati (tetapi) sulit didapatkan di dunia ini; (2) keelokan adalah…idem…;(3) kebahagiaan…idem…;(4) ketenaran…idem…;(5) kelahiran di surga adalah menyenangkan, disukai, menawan hati (tetapi) sulit didapatkan di dunia ini. Inilah, kepala rumah tangga, lima dhamma yang menyenangkan, disukai, menawan hati (tetapi) sulit didapatkan di dunia ini.
Selanjutnya Buddha mengatakan bahwa permohonan atau doa bukanlah akar penyebab perolehan lima dhamma tersebut. Begawan yang tercerahkan sempurna melanjutkan ucapan-Nya, “Seandainya permohonan dan doa adalah akar penyebab perolehan lima dhamma ini maka siapakah di sini yang akan ditinggalkan olehnya?” Kalimat terakhir dari seorang yang telah mencapai pencerahan sempurna ini seolah-olah “membuyarkan mimpi kita.” Ya! Apabila lima hal tersebut—dan tentu saja juga kesehatan—bisa didapat hanya dengan memohon dan berdoa lalu siapa yang tidak bisa mendapatkannya?! Apa sulitnya berdoa?! Sesulit apa pun doa atau mantra, pasti pada akhirnya—dengan latihan yang berulang-ulang—semua orang bisa mengucapkannya dengan sempurna.
Walaupun sudah berdoa ribuan kali, hari ini sebagian besar manusia tetap saja belum bisa keluar dari kesulitan hidup seperti kelaparan, kemiskinan, kesengsaraan atau hati yang dipenuhi oleh nafsu dan kemarahan. Fakta ini pun seharusnya sudah cukup untuk membuka mata hati kita bahwa berdoa bukanlah cara yang cerdas untuk mengatasi kesulitan hidup dan mendapatkan kebahagiaan. Bukankah ada kutipan yang terkenal—dianggap berasal dari Albert Einstein—yang mengatakan, “Melakukan hal yang sama berulang-ulang tetapi mengharapkan hasil yang berbeda adalah kegilaan”? Pengalaman Anda selama ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa berdoa bukanlah cara yang efektif untuk mendapatkan kualitas hidup yang baik. Janganlah berpikir bahwa suatu saat nanti, di masa depan, doa Anda akan terpenuhi! Hal yang demikian tidak akan terjadi karena dhamma bekerja dalam kesamaan pola di masa lalu, masa depan dan masa kini. Apabila berdoa tidak efektif di masa lalu maka sampai kapan pun akan seperti itu. Semua cabe adalah pedas! Janganlah memakannya terus-menerus hanya karena berharap mendapatkan cabe yang manis! Cukuplah sudah dengan semua pengalaman kita selama ini.
Hubungan Antara Bibit dan Buah
Walaupun Iṭṭha Sutta berisi tentang lima hal yang menyenangkan, tetapi di sini saya akan fokus pada satu hal yang menjadi tema sentral untuk semua jenis kehidupan, yaitu kebahagiaan. Apa pun yang kita lakukan dari bangun tidur hingga tidur kembali di malam hari hanyalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Untuk itu mari kita dengarkan lebih jauh apa yang disampaikan oleh Sammāsambuddha berkaitan dengan hal tersebut.
“Kepala rumah tangga, untuk murid Orang Suci yang mengharapkan kebahagiaan, tidaklah pantas untuk memohon kebahagiaan atau bersukacita melakukannya. Kepala rumah tangga, dia hendaknya mengikuti jalan yang membawa ke kebahagiaan. Oleh karena, jalan yang membawa ke kebahagiaan yang telah diikuti mengarah pada perolehan kebahagiaan. Dia menjadi seseorang yang mendapatkan kebahagiaan manusiawi atau surgawi.”
Ketika membaca kutipan di atas hendaknya Anda bisa mengambil saripatinya, yaitu hukum sebab dan akibat. Kalau ingin mendapatkan kebahagiaan maka pastikan bahwa sebab-sebab untuk kemunculannya telah Anda ciptakan.
Sammāsambuddha mengatakan bahwa sebab dari kebahagiaan adalah mengikuti jalan yang membawa ke kebahagiaan. Apa maksudnya?
Berdasarkan kitab komentar, jalan yang membawa ke kebahagiaan adalah praktik-praktik kebajikan seperti dāna, sīla dan lain-lain (dānasīlādikā puññapaṭipadā). Itulah sebab-sebab untuk kemunculan akibat berupa kebahagiaan. Demikianlah hubungan sebab dan akibat sudah disampaikan oleh Buddha dengan sangat terang benderang. Hubungan tersebut seperti hubungan antara bibit dan buah mangga. Buah mangga muncul dari bibit mangga; bukan dari bibit yang lain. Demikianlah, kebahagiaan muncul dari praktik berdana dan lain-lain; bukan dari berdoa. Apabila Anda ingin mendapatkan mangga tetapi menanam bibit jagung maka bersiaplah untuk kecewa.
Mungkin ada sebagian dari Anda yang akan menyanggah, “Melakukan kebajikan saja tidak cukup melainkan harus disertai dengan berdoa juga.” Anda yang memiliki pemahaman seperti ini seperti seseorang yang telah menanam bibit mangga dan setiap saat berdoa di dekatnya, “Wahai Brahmā, kasihanilah saya. Berikanlah saya buah mangga. Perkenankan saya menjadi manusia terkasihmu untuk menikmatinya.” Bukankah perbuatan tersebut adalah sia-sia dan terkesan lebay? Kenapa? Karena untuk bisa tumbuh dan cepat berbuah maka bibit mangga harus disiram secara rutin, diberi pupuk dan lain-lain. Selain itu, tidak ada cara lainnya lagi, doa Anda bisa jadi akan merusak dan mengganggu pertumbuhan bibit tersebut. Mungkin Anda akan menyanggahnya lagi, “Selain berdoa, saya juga menyiram, memberi pupuk, memastikan cukup kelembaban dan sinar matahari!” Kalau demikian, lalu apa fungsi dari doa tersebut? Bukankah tanpa doa, apabila memang harus tumbuh maka bibit tersebut tetap akan tumbuh dan apabila musimnya tiba maka akan berbuah?
Demikian pula halnya ketika kebajikan telah dilakukan maka yang harus dilakukan adalah merawat benih kamma baik tersebut. Apabila Anda mengganggu proses pertumbuhan benih kamma tersebut dengan doa-doa yang biasanya penuh dengan harapan dan nafsu-keinginan maka bisa jadi buah kamma tidak akan pernah muncul; atau kalaupun muncul kualitas buah kamma tersebut akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh gangguan dari nafsu-nafsu keinginan Anda.
Meraih Kebahagiaan di Sini dan Mendatang
Syair penutup dari Iṭṭha Sutta mengingatkan kita bahwa setiap perbuatan baik akan membawa dua jenis manfaat, yaitu manfaat yang didapatkan di kelahiran ini dan manfaat yang didapatkan di kelahiran mendatang (diṭṭhe dhamme ca yo attho, yo cattho samparāyiko).
Untuk dia yang senang dengan aspirasi yang mulia: umur panjang, keelokan, ketenaran, nama baik, surga, kelahiran yang tinggi. Orang-orang yang bijaksana memuji kewaspadaan di dalam perbuatan kebajikan. Orang bijaksana yang waspada melampaui manfaat keduanya; yaitu manfaat yang didapatkan di kelahiran ini dan manfaat yang didapatkan di kelahiran mendatang. Dengan realisasi manfaat-manfaat ini, dia disebut sebagai orang yang pandai dan bijaksana.
Yang dimaksud dengan realisasi manfaat-manfaat adalah perolehan manfaat (atthappaṭilābha); yang dijelaskan di kitab subkomentar sebagai perolehan manfaat baik di kehidupan saat ini maupun di kelahiran-kelahiran mendatang (diṭṭhadhammikādihitappaṭilābha). Jadi, kebajikan yang kita lakukan adalah benih kamma baik yang mempunyai potensi untuk berbuah di sepanjang kehidupan kita di saṃsāra.
Abhidhamma mengajarkan bahwa di dalam satu jentikan jari diperkirakan terdapat ratusan miliar kamma yang muncul dan lenyap. Apabila terakumulasi dalam waktu 5 menit saja maka benih kamma yang tersimpan sudah tidak terhitung jumlahnya. Setiap benih kamma tersebut mempunyai potensi untuk berbuah di sepanjang kehidupan hingga di kehidupan yang terakhir di dalam saṃsāra. Jadi, dari satu kamma yang sudah terakumulasi maka kita bisa menikmati buahnya di ratusan, ribuan atau bahkan ratusan ribu kehidupan. Inilah yang dimaksud oleh Buddha ketika mengatakan bahwa kebajikan memberikan manfaat di kelahiran ini dan di kelahiran mendatang.
Lebih jauh lagi, seseorang yang melakukan kebajikan akan menjadi seseorang yang mendapatkan manfaat kebahagiaan duniawi atau surgawi. Di dalam kehidupannya sebagai manusia, perumah tangga akan mendapatkan manfaat berupa kehidupan yang bersih, tidak terlibat di dalam perbuatan-perbuatan yang tercela serta mendapatkan pekerjaan yang terbebas dari konflik dan pelanggaran sīla. Sebaliknya, seseorang yang meninggalkan keduniawian (pabbajita) mendapatkan manfaat berupa kehidupan yang bebas dari penyesalan. Selanjutnya, baik perumah tangga maupun pabbajita akan mendapatkan kebahagiaan surgawi di kehidupan-kehidupan berikutnya berupa pencapaian kualitas perilaku yang baik dan sesuai dengan Dhamma (dhammasucarita). Pemahaman dalam perspektif yang luas seperti ini—tentang potensi buah kamma yang melintasi banyak kelahiran—adalah bagian dari pandangan-benar (sammādiṭṭhi). Jadi, mengingat efek positifnya yang sangat bagus maka sudah semestinya kita bersukacita di dalam berbuat kebajikan.
Kewaspadaan
Syair di atas juga mengajarkan kepada kita tentang nilai penting dari kewaspadaan (appamāda) dalam melakukan kebajikan. Kita hendaknya tidak lengah (appamatta) karena setiap saat senantiasa memberikan peluang untuk melakukan kebajikan dengan sempurna. Lebih jauh lagi, ketika seseorang lengah maka kilesa akan menyela proses kebajikan yang sedang dilakukan. Hal itu akan menurunkan kualitas kebajikan yang dilakukan menjadi inferior. Penurunan kualitas kebajikan tidak akan terjadi apabila dia senantiasa waspada. Tiadanya kewaspadaan juga berarti kelengahan (pamāda) yang membuat batin menjadi ceroboh dan mengalir ke arah perbuatan tubuh, ucapan dan pikiran yang tidak baik.
Jadi, kewaspadaan membuat kualitas kebajikan menjadi superior dan akhirnya berbuah maksimal di kehidupan saat ini serta di kehidupan-kehidupan berikutnya. Itulah mengapa kewaspadaan sangat dipuji oleh orang yang bijaksana. Kewaspadaan adalah keadaan hati yang senantiasa waspada dan penuh perhatian (sati). Sati adalah faktor-mental yang indah (sobhana) yang hanya muncul di batin yang indah, yaitu batin yang penuh saddhā, mettā, karuṇā, paññā dan lain-lain. Dengan kata lain, batin yang penuh kewaspadaan adalah batin yang sangat damai dan bahagia di saat ini. Ini adalah manfaat lain yang bisa kita peroleh dari kewaspadaan. Oleh karena itu, kewaspadaan hendaknya dikembangkan dan sering dipraktikkan (bhāvita bahulīkata) dengan cara melakukan kebajikan atau kamma baik apa pun. Oleh karena kebajikan sesungguhnya juga merupakan sarana untuk mengembangkan kewaspadaan. Semakin sering melakukan kebajikan maka kita pun akan semakin terampil dalam memunculkan kewaspadaan. Hal ini sangat penting karena kebajikan yang disertai dengan kewaspadaan adalah kebajikan yang superior.
Di Pada Sutta, Buddha mengatakan bahwa dhamma-dhamma baik apa pun, semuanya itu berakar pada kewaspadaan, bertemu di kewaspadaan. Beliau menggambarkan hal tersebut dengan indah sekali melalui perumpamaan kaki seekor gajah (hatthipada). Jejak kaki seekor gajah adalah yang terbesar di antara jejak kaki binatang lainnya. Demikianlah halnya dengan kewaspadaan yang merupakan dhamma yang terunggul (seṭṭha) di antara semua dhamma yang baik. Itulah mengapa Jalan Mulia Berunsur Delapan pun akan berkembang dengan baik apabila kewaspadaan telah dipraktikkan berulang-ulang.
Ponsel Pintar di Tangan Orang Pintar
Sejauh ini saya sudah mendemonstrasikan tiadanya hubungan antara berdoa dan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah ujung dari sebuah jalan lurus yang disebut praktik-praktik kebajikan seperti dāna, sīla dan lain-lain. Langkah kaki seseorang yang sudah berjalan di atas jalan yang lurus akan membawa dia kepada ujung dari jalan tersebut. Demikianlah, kebajikan-kebajikan yang telah dilakukan akan menghasilkan buah berupa kebahagiaan.
Setiap kebajikan yang dilakukan dengan penuh kewaspadaan hendaknya juga disertai dengan pengetahuan atau kebijaksanaan yang muncul melalui perenungan, “Saya bersyukur bisa mendapatkan kesempatan ini. Yang akan/sedang/telah saya lakukan ini adalah perbuatan yang sangat baik.” Inilah yang disebut kebajikan yang disertai dengan tiga akar baik yang superior. Sebaliknya, apabila dilakukan tanpa pengetahuan seperti di atas maka kebajikan superior tersebut hanya disertai dengan dua akar. Dua kualitas kebajikan ini menghasilkan buah dengan kualitas yang berbeda—yang satu sangat manis, yang lainnya kurang manis.
Akan tetapi, apabila mengembangkan kewaspadaan hanya dimaksudkan untuk mendapatkan kebahagiaan di setiap kelahiran adalah menyia-nyiakan kemampuan kewaspadaan tersebut. Mengapa demikian? Karena kelahiran di saṃsāra selalu tertekan oleh kemunculan dan kelenyapan batin-dan-jasmani. Inilah yang disebut dukkha! Demikianlah, kewaspadaan yang hanya diarahkan untuk mendapatkan kebahagiaan seperti itu adalah seperti mempunyai ponsel pintar yang mahal tetapi hanya dipakai untuk SMS atau Whatsapp. Sungguh malang ponsel pintar yang berada di tangan orang yang tidak pintar tersebut.
Sesungguhnya kewaspadaan bisa diarahkan untuk buah yang lebih hebat dan besar, yaitu keluar dari saṃsāra. Oleh karena kewaspadaan adalah jalan menuju Tanpa-Kematian. Kitab komentar menjelaskan tentang seseorang yang memiliki kewaspadaan sebagai seseorang yang senantiasa hadir di saat ini melalui perhatian-penuh (satiyā avippavāso) atau batinnya senantiasa disertai dengan kehadiran perhatian-penuh (niccaṃ upaṭṭhitāya satiyā cetaṃ). Sedangkan Tanpa-Kematian adalah terminologi untuk Nibbāna—karena keadaannya yang tanpa kelahiran, usia tua dan kematian. Jadi, siapa pun yang ingin mencapai Nibbāna harus melalui jalan yang disebut kewaspadaan. Dengan demikian seharusnya kewaspadaan dikembangkan untuk tujuan tertinggi ini. Apakah hanya dengan menghadirkan kewaspadaan di kehidupan sehari-hari kita bisa mencapai Nibbāna? Tentu tidak; kita harus mengembangkannya dalam praktik-praktik seperti moralitas yang lebih tinggi, mental yang lebih tinggi dan kebijaksanaan yang lebih tinggi untuk menembus Empat Kebenaran Mulia. Memanfaatkan kewaspadaan untuk tujuan tertinggi seperti ini ibarat ponsel pintar yang dimanfaatkan oleh orang yang pintar atau pandai (dhīra).
Demikianlah jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh upāsikā Felicia Lorens.