Sariputta | Bahagianya Melepas Sariputta

Bahagianya Melepas

Ajahn Brahmavamso

👁 1 View
2017-09-18 19:36:29

Di dunia Buddhis dewasa ini, terdapat banyak diskusi di antara para meditator tentang relevansi jhana. Pertanyaan pertama yang biasanya diajukan adalah "Haruskah kita mencapai jhana dahulu untuk menjadi tercerahkan penuh (Arahanta), ataukah mungkin untuk meraih tujuan tertinggi tanpa pengalaman jhana apa pun?"

Mereka yang menanyakkan pertanyaan itu biasanya adalah mereka yang belum mengalami jhana. Sulit untuk melakukan apa yang diperlukan untuk merealisasi jhana, jadi kebanyakan orang yang mengajukan pertanyaan ini ingin diberitahu bahwa jhana itu tidak penting. Mereka ingin diberitahu bahwa ketidak mampuan mereka bukanlah suatu halangan. Mereka menginginkan jalan yang cepat dan mudah menuju Nibbana. Orang-orang seperti itu akan merasa senang dan terilhami oleh seorang guru yang memberitahukan mereka tentang apa yang mereka ingin dengar - bahwa keadaan jhana-jhana ini tidaklah diperlukan - dan mereka ingin mengikuti ajaran tersebut karena ajaran itu lebih gampang. Sayangnya, kebenaran itu jarang yang gampang, dan jarang yang setuju dengan apa yang ingin kita dengar.

Di sisi lain, seorang meditator yang telah akrab dengan jhana-jhana akan mengenali mereka sebagai keadaan bahagia dari pelepasan, dan dari sana, dalam pengalaman melepas, diketahuilah melepas yang relevan dengan jhana. Jhana Pertama adalah hasil alami dari melepas yang berkenaan dengan kesenangan indra (kama-sukkha), maksudnya adalah segala sesuatu, bahkan demi kenyamanan belaka, di alam lima indra eksternal (penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan perabaan). Di dalam jhana Pertama, melalui pencabutan yang penuh dan berlanjut dari semua kesenangan panca indra keenam, yaitu pikiran murni, dan tenang, dalam keheningan kebahagiaan sejati.

Buddha menyebutnya sebagai "Kebahagiaan Pelepasan", atau kebahagiaan melepas. Jhana Kedua adalah hasil alami dari pelepasan pergerakan perhatian yang sangat halus yang mengarah dan memegang objek pikiran yang bahagia ini. Tatkala 'goyangan' terakhir dari perhatian ini dilepaskan, kita bahkan mengalami kebahagiaan yang lebih besar dari keheningan sejati sepenuhnya (Samadhi), di mana pikiran sepenuhnya manunggal dan tak bergerak.

Jhana Ketiga adalah hasil alami dari melepas kegairahan halus dari kegiuran, dan jhana Keempat adalah hasil alami dari pelepasan kebahagiaan itu sendiri, untuk menikmati keseimbangan batin yang paling mendalam dan tak tergoyahkan.

Di dalam Buddhisme, pengalaman, bukan spekulasi bahkan semakin tidak adanya keyakinan membuta, adalah kriteria bagi pemahaman. Seorang meditator semata-mata tidak memahami arti penuh dari ketenangan, kegiuran, kebahagiaan atau keseimbangan batin sebelum mereka akrab dengan jhana-jhana. Tetapi pengalaman jhana-jhana, tahap-tahap pelepasan ini, memberikan kita pemahaman langsung melalui pengalaman dari fenomena batin ini, khususnya kebahagiaan 9Sukha) dan penderitaan (dukkha).

Hal itu sama seperti seekor berudu yang melewatkan hidupnya di dalam air, tetapi tidak memiliki pemahaman tentang air, karena dia tidak mengetahui hal lainnya. Lantas, ketika ia tumbuh dewasa menjadi seekor katak, keluar dari air, dan mendarat di tanah kering, barulah dia mengetahui sifat air maupun jalan menjuju daratan. Dalam perumpamaan ini, air melambangkan dukkha, daratan kering melambangkan jhana (bukan Nibbana - si katak masih membawa sedikit air di kulitnya menuju daratan!), dan jalan menuju daratan melambangkan pelepasan.

Dengan cara ini, praktik jhana menyingkap jalan menuju pengakhiran sepenuhnya dukkha. Meditator yang mencapai jhana pada akhirnya akan bertanya, "Mengapa jhana-jhana ini begitu luar biasa membahagiakan? "Mereka akan menemukan sendiri jawaban jelasnya - "Karena mereka adalah tahapan-tahapan pelepasan dari apa yang mereka sekarang lihat sebagai bentuk-bentuk halus dari penderitaan!" Ketika kita telah akrab dengan jhana, dan menyadari sumber kebahagiaan sejati disana, kita akan melihat sendiri bahwa semua kesenangan duniawi, yang berasal dari lima indra ekternal (termasuk seksualitas), adalah semata-mata dukhha. Kelekatan terhadap tubuh dan petualangan indranya akan mulai memudar. Kita akan memahami dengan jelas mengapa semua mahluk tercerahkan adalah selibat. Lalu, selama kita maju terus ke jhana-jhana yang lebih tinggi dan merenungi mengapa setiap tingkatan yang lebih lanjut akan bertambah membahagiakan lagi, kita mengerti bahwa hal itu karena kita telah melepaskan kelekatan batin yang halus, seperti kelekatan terhadap kegiuran, kebahagiaan, dan keseimbangan batin.

Menjadi jelas bahwa bahkan keadaan batin paling tinggi seperti itu pun adalah bentuk-bentuk halus dari penderitaan, karena ketika kita melepaskan mereka, maka lebih banyak penderitaan yang juga berlalu. Semakin tinggi kita maju, semakin banyak dukkha yang berlalu dan melampaui proses ini dukkha dapat diketahui. Kita tidak dapat mengetahui sepenuhnya Kebenaran Tentang Penderitaan, demikian pula Empat Kebenaran Mulia, kecuali dengan pelepasan penderitaan melalui pengalaman jhana.

Oleh karena itu, sangatlah aneh bahwa sebagian orang berpendapat bahwa praktik jhana menuntun kepada kelekatan. Bagaimana mungkin, apa yang merupakan latihan pelepasan, menuntun kepada kelekatan? Tentu saja, Buddha berulang kali mengatakan bahwa jhana-jhana ini tidak semestinya ditakuti, tetapi semestinya dikembangkan, dan bahwa ketika jhana-jhana ini diakrabi secara teratur mereka akan menuntun kepada Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahanta, empat tataran Pencerahan (lihat Pasadika Sutta dan Digha Nikaya).

Begitu Pencerahan penuh diraih dan semua kelekatan dienyahkan, maka melepas ke dalam jhana-jhana menjadi sealami sehelai daun yang lepas dari pohonnya dan jatuh ke tanah. Tentu saja, kemampuan kita saat ini untuk melepas dan mengalami jhana adalah sebuah ukuran bagi pemahaman sesungguhnya kita terhadap Dhamma dan kurangnya kelekatan sebagai konsekuensinya.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com