Sariputta | Keinginan dan Motivasi Sariputta

Keinginan dan Motivasi

Tanya Jawab Bhikkhu Uttamo

👁 1 View
2017-09-22 11:15:34

Dari: William Halim, Padang

Namo Buddhaya, Bhante.
Saya ingin meminta penjelasan mengenai 'keinginan' dan 'motivasi'.
Dalam beberapa teori terkenal untuk mencapai sukses, diperlukan 'motivasi'. Motivasi
umumnya dibentuk dari dua faktor pendorong, yakni: rasa takut (takut akan kemiskinan,
takut ditinggalkan dll.) dan impian (ingin kaya, ingin menyekolahkan anak dll). Seperti
kata Einstein : Hanya satu hal yang bisa mengalahkan teknologi yaitu impian.
Kesimpulannya, 'impian' diperlukan untuk membentuk motivasi agar giat berusaha.
Tetapi dalam Agama Buddha, impian adalah keinginan dan keinginan adalah sumber dari
penderitaan.

Akhirnya saya menyimpulkan: keinginan (impian) boleh saja, asal tidak terlalu tinggi
(jauh dari keadaan). Yang jadi masalah, kadang-kadang sulit untuk menentukan harapan /
keinginan kita tersebut terlalu jauh ataukah wajar ? Ataukah kita harus melepaskan
impian kita, tetapi hal ini akan menghilangkan motivasi.

Sejak mendapat kecocokan dengan Agama Buddha, saya telah melemahkan banyak
keinginan (kemelekatan) yang terlalu kuat dan saya merasakan lebih tenang dan damai.
Akan tetapi pertanyaan di atas timbul setelah saya membaca buku tentang 'Resep Sukses
Menjadi Kaya' saduran luar negeri. Bukannya saya bermaksud untuk menjadi kaya
dengan membaca buku itu, akan tetapi ulasannya sangat menarik dan masuk akal. (Dalam
buku itu, 'kaya' bukan berarti banyak materi, tetapi kaya ialah bila seseorang lebih kecil
pengeluaran dibanding pendapatannya).

Saya menjadi bingung untuk memahami mengenai 'impian / keinginan' dan 'motivasi' ini.
Mohon penjelasan Bhante. Terima kasih.

Jawaban:
Dalam riwayat Sang Buddha tentu telah diketahui bahwa Pangeran Siddhattha
meninggalkan istana karena Beliau 'takut' akan mengalami usia tua, sakit dan kematian.
Beliau kemudian menjadi seorang pertapa karena Beliau mempunyai 'impian' untuk
membebaskan semua umat manusia dari rasa takut akan sakit, usia tua serta kematian.
Dengan perjuangan yang sangat keras selama enam tahun lamanya di hutan belantara,
Beliau akhirnya mencapai keberhasilan yaitu menjadi Buddha. Beliau berhasil
menemukan cara untuk mengatasi ketakutan pada ketuaan, penyakit maupun kematian
yaitu dengan tidak terlahirkan kembali. Seseorang yang tidak terlahirkan kembali pasti ia
tidak akan mengalami ketuaan, penyakit maupun kematian. Cara mengatasi kelahiran
kembali yang diketemukan oleh Sang Buddha Gotama disebut dengan Jalan Mulia
Berunsur Delapan. Siapapun yang melaksanakan Jalan Mulia tersebut dengan baik dan
benar, ia pasti akan terbebas dari kelahiran kembali. Ia pasti terbebas dari usia tua, sakit
dan mati. Ia pasti mencapai kesucian atau Nibbana.

Menyimak sekilas kisah hidup Sang Buddha Gotama ini tentunya sudah dapat
disimpulkan bahwa 'ketakutan' dan 'impian' memang bisa menjadi 'motivasi' bagi
seseorang untuk mencapai peningkatan kualitas diri, dalam hal ini mencapai kesucian
sehingga tidak terlahirkan kembali. Inilah kebahagiaan tertinggi yang ingin dicapai oleh
umat Buddha.

Memang, umat Buddha boleh saja mempunyai keinginan. Namun, ia harus mampu
mengelola keinginan yang dimiliki sehingga menjadi motivasi untuk mencapai
peningkatan kualitas diri. Jadi, ketika keinginan seseorang tidak terwujud, ia hendaknya
tidak kecewa apalagi putus harapan. Rasa kecewa yang mendalam itulah sebagai tanda
kemelekatan dengan keinginannya. Sikap mental yang disebabkan oleh kemelekatan ini
tidak sesuai dengan Dhamma. Sikap inilah yang harus dihindari.

Dalam 'menejemen keinginan' yang diuraikan secara Dhamma, seseorang hendaknya
justru menjadikan segala kegagalan dan kesulitan yang dihadapinya sebagai pelajaran
untuk mencapai kemajuan. Sikap positif ini selaras dengan unsur keenam Jalan Mulia
Berunsur Delapan yaitu Daya Upaya Benar. Dalam unsur keenam tersebut diterangkan
bahwa seseorang hendaknya mampu memperbaiki kekurangan diri sendiri. Sebaliknya,
seseorang hendaknya berusaha meningkatkan kelebihan yang dimilikinya. Sedangkan
kelebihan orang lain hendaknya dijadikan contoh untuk ditiru. Dan akhirnya, kekurangan
orang lain perlu dijadikan pelajaran agar dapat dihindari terjadi pada diri sendiri.
Dengan melaksanakan keempat unsur Daya Upaya Benar ini, umat Buddha senantiasa
berusaha menghindari keburukan dan meningkatkan kelebihan yang ada pada dirinya.
Sikap mental ini menjadikan umat Buddha selalu maju, berkualitas serta pantang mundur.
Tidak akan terjadi umat Buddha yang loyo, lemah serta tidak bersemangat dalam
kehidupan ini. Semua umat Buddha akan mencapai prestasi tertinggi di bidang masingmasing.
Oleh karena itu, pengertian tentang 'menejemen keinginan' yang terdapat pada
Daya Upaya Benar ini hendaknya dijadikan motivator kemajuan umat Buddha di segala
bidang.

Semoga jawaban ini dapat meningkatkan semangat semua umat Buddha untuk sukses
berkarya secara lahir maupun batin.
Semoga selalu berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com