Sariputta | Riwayat Hidup Buddha Gotama – Bab II – Pelepasan Agung Sariputta

Riwayat Hidup Buddha Gotama – Bab II – Pelepasan Agung

👁 1 View
2017-09-21 13:37:07

pelepasan_

BAB II
PELEPASAN AGUNG

 Pangeran Siddhattha Meninggalkan Istana

Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah. Tetapi Pangeran kelihatan tidak gembira. Pangeran dengan hati-hati mendekati Raja dan mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit, dan mati. Hal ini menimbulkan amarah Raja.
Izin tidak diberikan seperti dapat kita ikuti dalam percakapan di bawah ini (dikutip dari buku Mahavastu II, halaman 141/2).
“Ayah, kalau tidak diberi izin saya mohon Ayah berkenan memberikan kepadaku delapan macam anugerah.”
“Tentu saja, anakku, aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permintaanmu.”
“Kalau begitu, mohon Ayah memberikan kepadaku:

  1. Anugerah supaya tidak menjadi tua.
  2. Anugerah supaya tidak sakit.
  3. Anugerah supaya tidak mati.
  4. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku.
  5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama sama dengan kerabat lain tetap hidup.
  6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang.
  7. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
  8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, dan mati.”

Mendengar pernyataan di atas, Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja menjawab bahwa hal-hal di atas itu berada di luar kemampuannya dan masih mencoba untuk membujuknya dengan mengatakan, “Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.”
“Ayah, relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil, akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayah.”
Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus melaksanakan cita-citanya.
Pangeran kemudian memasuki kamar Yasodhara dan memandangi anaknya dengan gembira dan terharu karena tidak lama lagi Beliau akan meninggalkannya berhubung tekadnya yang sudah bulat untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati.
Selanjutnya Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari sedang menari diiringi musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat dari benang-benang emas dan karena letih, tidak lama kemudian Pangeran tertidur. Para penari menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran.
Pada tengah malam, Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur di lantai dalam sikap yang beraneka ragam, ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang mulutnya menganga lebar, ada yang air liurnya meleleh keluar, ada yang menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya, ada yang mengigau, dan lain-lain. Pangeran merasa seperti di pekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat Pangeran jijik dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan istana pada malam itu juga.
Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutupi muka Sang bayi, sehingga muka bayi tidak dapat terlihat.
Pangeran semula ingin menggeser sedikit tangan istrinya tetapi hal itu diurungkan karena takut kalau hal ini menyebabkan Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran hanya berkata dalam hati, “Tidak, biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari, aku akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan istriku.”
Setelah itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah sudah diatur terlebih dulu oleh para dewa, Pangeran Siddhattha tidak mendapat kesukaran sewaktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan waktu hendak keluar dari pintu tembok kota.
Para pengawalnya semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat membuka pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota.
Ketika itu Pangeran dicegat oleh Dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu, Pangeran akan menjadi Raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Dewa Mara, yang membuat Dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus membuntutinya.
Setelah sampai di luar kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya). Saat itu terang bulan di bulan Asalha dan Pangeran berusia 29 tahun.
Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi Sungai Anoma. Pangeran turun dari kuda, melepas semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka dan membawanya ke surga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (± dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.
Selanjutnya, Brahma Chatikara mempersembahkan keperluan seorang bhikkhu kepada Pangeran yang terdiri dari delapan jenis barang, yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu, Pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana.
“Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah hamba ikut Tuanku berkelana.”
“Jangan Channa, bawa pakaian dan perhiasan ini kembali, berikan kepada Ayahku dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, dan Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati.
Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Segera setelah aku memperolehnya, aku kembali ke istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu, Yasodhara, Rahula, dan kepada semua orang yang ada di dunia ini.”
Channa memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka, mengusap-usap dan menepuk-nepuk lehernya dengan penuh kasih sayang sambil berkata, “Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan jangan menunggu aku lagi.”
Kanthaka ikut dengan Channa tetapi belum seberapa jauh berjalan, kuda itu berhenti dan menengok lagi ke belakang agar dapat melihat wajah Pangeran untuk terakhir kali. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya basah dengan air mata.
Kembalinya Channa bersama Kanthaka (tanpa Pangeran) ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Yasodhara memeluk leher Kanthaka dan bertanya, “Oh, Kanthaka, kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa pergi Tuanku Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak?” Hal ini membuat Kanthaka sedih dan patah hati.
Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi Sungai Anoma di negara Malla.
Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondañña dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan dimana Beliau berada.

 

Bertapa di Hutan Uruvela

Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari berdiam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata.
Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa.
“Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah dari kerajaanku.”
“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orang tuaku, istriku, anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.”
“Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut.”
“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”
Dari Rajagaha, pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tempat pertapaan Alara Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga disebut Pertapa Gotama) berguru kepada Alara Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya.
Di tempat ini Pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal lahir.
Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab-musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar tentang hal tersebut.
Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta, yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai.
Dari Uddaka-Ramaputta, Pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaan “Bukan-Pencerapan Pun Bukan Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu singkat Pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali.
Tetapi Pertapa Gotama masih belum puas sebab ia masih belum mendapat jawaban tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit, dan mati.
Pertapa Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah Pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji, dan Kondañña) berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil, maka Pertapa Gotama lalu melakukan latihan yang lebih berat lagi.
Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur keluar dari ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.
Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit demi sediki menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar melalu hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.
Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.
Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja, kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kala perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya beruba menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran.
Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.

Pertama:
Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.

Kedua:
Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak akan berhasil.

Ketiga:
Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.

Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut maka Pertapa Gotama mengambil keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya, Pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga Pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu Pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kemudian Pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali.
Namun lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali karena dengan berhenti berpuasa, Pertapa Gotama dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung. Mereka meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di Benares.
Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk Pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang diantaranya menyanyi dengan syair sebagai berikut:
“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendur ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.”
Mendengar nyanyian itu, Pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata,
“Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) harus menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendur.”
Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon dimana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon.
Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan, “Oh, Nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari khayangan untuk menerima langsung persembahan Nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan Nyonya.”
Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah Pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada Pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon.
Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan antara Pertapa Gotama dengan Sujata seperti di bawah ini.
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah ucapan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.”
Kemudian Pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah:
“Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini, engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia dan apakah kehidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?”
“Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak, maka hatiku dengan mudah mendapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi persembahan kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan, apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya harus mati?”
Mendengar penjelasan Sujata maka Pertapa Gotama menjawab,
“Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku.”
“Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuan sebagaimana aku berhasil mencapai cita-citaku.”
Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerañjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai Pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, “Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.

 

Penerangan Agung

Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah Timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah Pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur. Dengan tekad yang bulat, ia kemudian berkata dalam hati,
“Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana.”
Kemudian Pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan obyek keluar dan masuknya nafas. Tidak berapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai kehidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa, takut terhadap jin-jin, hantu-hantu jahat, keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal, tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
Perjuangan hebat dalam batin Pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran berikut ini.
Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi Pertapa Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri, lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling Pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan Pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti Pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala Pertapa Gotama.
Bumi telah menjadi saksi bahwa Pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan Pertapa Gotama.
Setelah berhasil mengalahkan Mara, Pertapa Gotama memperoleh Pubbenivasanussatiñana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahiranNya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00-22.00.
Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00-02.00, Pertapa Gotama memperoleh Cutupapatañana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dari makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkhuñana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa.
Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00-04.00 pagi, Pertapa Gotama memperoleh Asavakkhayañana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
Dengan demikian Ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara untuk menghilangkannya. Dengan ini Ia telah menjadi orang yang paling bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadaNya. Sekarang Ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakbahagiaan, usia tua dan kematian. Batin-Nya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian karena sekarang Ia mengerti semua persoalan hidup dan Ia telah menjadi Buddha.
Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, Pertapa Gotama dengan suara lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut:

“Anekajati samsaram
Sandhavissam anibbissam
Gahakarakam gavesanto
Dukkha jati punappunam
Gahakaraka! dittho’si
Punageham na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutam visamkhitam
Visamkharagatam cittam
Tanhanam khayamajjhaga.”

Artinya :

“Dengan sia-sia Aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habis-habisnya
Oh, Pembuat Rumah, sekarang telah Kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah Kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah Kubongkar
Batin-Ku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”

Dikisahkan bahwa pada saat itu bumi bergetar karena gembira dan di udara sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu, seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha, pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru, binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai.

Demikianlah Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 S.M, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.

 

Tujuh Minggu Setelah Penerangan Agung

Selama minggu pertama,
Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian.

Selama minggu kedua,
Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.

Selama minggu ketiga,
Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung.

Selama minggu keempat,
Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.

Selama minggu kelima,
Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu meninggalkan Sang Buddha.

Selama minggu keenam,
Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai berikut:

“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya ‘Sang Aku’ merupakan berkah yang tertinggi.”

Selama minggu ketujuh,
Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.

Dengan demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima sebagai pengikut.
Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dhamma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini.
Setelah makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Sang Buddha merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak.
Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti sehingga timbul perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajar Dhamma.
Tiba-tiba Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati berkata kepada Sang Buddha,
“Semoga Sang Tathagata, demi belas kasih-Nya kepada para manusia, berkenan mengajar Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah mengerti Dhamma yang akan diajarkan.”
Hingga kini permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan permohonan kepada seorang bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebagai berikut:

“Brahma ca lokadhipati Sahampati
Katañjali andhivaram ayacatha
Santidha sattapparajakkhajatika
Desetu Dhammam anukampimam pajam.”

Artinya:

“Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya dan memohon,
Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin
Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka. “

Dengan mata dewa, Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma.
Karena itu Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas kasih-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:

“Aparuta tesam amatassa dvara
Ye sotavanto pamucantu saddhami.”

Artinya:

“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi
Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan.”

Perhatian-Nya kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera memberitahukan bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia. Kemudian perhatian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para dewa juga mengatakan bahwa kemarin malam Uddaka meninggal dunia.
Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu sekarang berada di Taman Rusa di kota Benares ibukota negara Kasi.
Sang Buddha segera berangkat menuju ke Taman Rusa Benares. Dalam perjalanan ke Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Sang Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares

Sumber : http://samaggi-phala.or.id

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com