Sariputta | Kehidupan Upatissa (Sariputta) dan Kolita (Moggallana) Sariputta

Kehidupan Upatissa (Sariputta) dan Kolita (Moggallana)

👁 1 View
2017-09-21 13:36:55

Sebelum Sang Buddha Gotama muncul di dunia ini, ada dua desa pertapa yang letaknya tidak jauh dari Rajagaha, bernama Desa Upatissa dan Desa Kolita. Pada suatu hari seorang istri dari seorang pertapa bernama Rupasari, yang tinggal di Desa Upatissa mempunyai sebuah tekad, dan pada hari yang sama pula istri dari seorang pertapa bernama Moggali, yang tinggal di Desa Kolita, juga mempunyai tekad yang sama. Selama tujuh generasi kedua keluarga ini mengikat tali persahabatan yang erat antara mereka. Kedua istri pertapa ini bertekad untuk melahirkan anak pada hari yang sama. Pada bulan ke sepuluh, kedua ibu itu melahirkan bayi laki-laki.

Pada saat memberi nama kepada bayi laki-laki yang baru lahir, mereka memberi nama Upatissa kepada bayi dari anak istri pertapa yang bernama Sari, sebab bayi itu adalah anak dari keluarga terkemuka di Desa Upatissa. Dan kepada bayi laki-laki yang lain, karena ia anak dari keluarga terkemuka di Desa Kolita, maka mereka memberi nama Kolita.

Kedua anak ini tumbuh dewasa bersama-sama, dan amat mahir di segala bidang, baik di bidang seni maupun di bidang ilmu pengetahuan lainnya. Apabila pemuda Upatissa pergi ke sungai ataupun ke taman untuk bermain-main, lima ratus tandu emas mengiringinya; lima ratus kereta kuda yang ditarik oleh kuda istimewa mengiringi pemuda Kolita. Kedua pemuda ini masing-masing mempunyai lima ratus pengiring.

Pada waktu itu, berlangsung festival atau perayaan yang selalu dilaksanakan setiap tahun di Rajagaha yang bernama Festival Atap Gunung. Tempat duduk untuk kedua pemuda itu sudah disediakan, dan keduanya duduk bersama-sama menonton pertunjukan festival yang sedang berlangsung. Kalau ada pertunjukan yang lucu, mereka tertawa bersama-sama; kalau ada pertunjukan yang menyedihkan, mereka menangis; kalau waktunya memberikan dana, merekapun berdana. Mereka menonton festival ini beberapa hari lamanya. Tetapi pada waktu mereka sudah tumbuh menjadi pemuda yang bijaksana, mereka tidak lagi tertawa ketika mereka harus tertawa, mereka tidak menangis walaupun mereka dapat menangis, dan apabila peserta festival mencari dana, mereka tidak memberikannya.

Keduanya lalu berpikir : “Mengapa kita kelihatan seperti ini? Sebelum seratus tahun berlalu, semua orang yang ada di sini akan pergi dan tidak ada lagi yang dapat dilihat. Karena itulah kita harus mencari Jalan Kebebasan.”

Setelah berpikir demikian, mereka lalu duduk merenung. Kemudian Kolita berkata kepada Upatissa : “Sahabatku Upatissa, kamu kelihatannya tidak gembira dan senang dalam beberapa hari ini. Malah kamu kelihatan susah dan sedih. Apa yang kamu pikirkan?”

“Sahabatku Kolita, saya berpikir, saya tidak memperoleh kepuasan hanya dengan melihat festival ini. Semuanya tidak menyenangkan, karena itulah saya akan mencari Jalan Kebebasan untuk diri saya sendiri. Tetapi, mengapa kamu juga kelihatan bersedih?”

Kolita menjawab dengan jawaban yang sama. Ketika Upatissa mengetahui bahwa pikiran Kolita sama dengan pikirannya, ia berkata : “Pikiran kita berdua sama. Marilah kita mencari Jalan Kebebasan dan mengundurkan diri dari kehidupan duniawi bersama-sama. Di bawah bimbingan guru siapakah kita melepaskan kehidupan duniawi ini?”

Pada saat itu, seorang pertapa bernama Sanjaya memasuki Kota Rajagaha disertai dengan sejumlah besar murid-muridnya.

Upatissa dan Kolita berkata : “Kita akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa di bawah bimbingan Pertapa Sanjaya.”

Kemudian mereka melepaskan ke lima ratus pengiringnya dan berkata kepada mereka: “Ambillah tandu-tandu dan kereta-kereta ini, pergilah kalian.”

Bersama dengan ke lima ratus pengiring lainnya, mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa di bawah bimbingan Pertapa Sanjaya. Sejak saat kedua pemuda meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa, maka Pertapa Sanjaya memetik keuntungan dan ketenaran dari kedua pemuda ini. Tetapi, beberapa hari kemudian, mereka telah mempelajari semua pelajaran dengan baik. Mereka lalu bertanya kepadanya : “Guru, apakah ini semua pelajaran yang anda ketahui ataukah ada pelajaran lainnya?”

“Semuanya sudah aku ajarkan, kalian telah mengetahuinya.”

Upatissa dan Kolita berpikir : “Kalau hanya seperti ini, tidaklah menguntungkan bagi kita untuk tetap menjadi murid guru ini lebih lama lagi. Jalan Kebebasan yang kita cari dengan meninggalkan kehidupan keduniawian, tidak akan kita dapatkan dari guru ini. Tetapi Tanah Apel Merah (India) adalah negara yang luas. Marilah kita melakukan perjalanan melalui desa-desa, kota-kota dan kerajaan-kerajaan. Kita akan mencari guru yang dapat menerangkan Jalan Kebebasan yang kita cari.”

Mulai saat itu, apabila mereka mendengar ada pertapa atau bhikkhu yang dapat memberikan ajaran, mereka segera mencari dan menjadi muridnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Upatissa dan Kolita tidak ada seorang pun yang mampu menjawab, tetapi setiap pertanyaan yang ditanyakan orang kepada mereka pasti dapat mereka jawab dengan baik. Jadi mereka berjalan terus mengelilingi Tanah Apel Merah (India); mereka lalu mengulangi kembali perjalanan mereka dan akhirnya kembali pulang ke daerahnya lagi. Sebelum berpisah, Upatissa berkata kepada Kolita : “Sahabatku Kolita, siapapun di antara kita berdua yang mendapatkan Kebebasan, harus segera memberitahukan kepada yang lain.”

Setelah membuat perjanjian ini mereka lalu berpisah. Ketika mereka hidup dengan perjanjian itu, Sang Guru Agung setelah berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya, tiba di Rajagaha, menerima Vihara Veluvana dan Beliau berdiam di Veluvana. Sesudah itu Sang Guru Agung mengirim ke enam puluh Arahat untuk mengajarkan Tiga Permata Mulia, dengan berkata : “Pergilah, O Para Bhikkhu, ajarkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya ini kepada semua mahluk untuk kefaedahan dan kebahagiaan mereka.”

Salah satu dari ke lima Pertapa Pertama, Yang Mulia Assaji, balik kembali, masuk ke Rajagaha. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan membawa mangkuk dan jubahnya, Beliau memasuki Rajagaha untuk menerima dana makanan. Pada pagi yang sama itu pula, Pertapa Upatissa sedang makan pagi, meneruskan kehidupannya seperti pertapa, melihat Yang Mulia Assaji.

Ketika ia melihat Beliau, ia berpikir, ‘Tidak pernah sebelumnya saya melihat seorang bhikkhu seperti bhikkhu ini. Ia seharusnya adalah salah satu dari para bhikkhu yang telah mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi, menjadi Arahat di dunia ini, atau yang telah memasuki Jalan menuju pencapaian Arahat. Sebaiknya saya mendekati dan bertanya kepadaNya, untuk kepentingan siapakah, O Bhikkhu, Anda meninggalkan kehidupan duniawi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda anut?’

Setelah berpikir demikian, ia lalu berpikir lagi, ‘Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya kepada bhikkhu ini, ia sedang mencari dana makanan dari rumah ke rumah, sebaiknya saya ikuti saja bhikkhu ini, seperti dilakukan orang yang mencari berkah’

Pertapa Upatissa lalu memperhatikan Yang Mulia Assaji, yang setelah menerima dana makanan, mencari tempat yang sejuk dan berpikir bahwa Beliau ingin duduk. Pertapa Upatissa lalu menebarkan karpet di tanah dan mempersilakan Beliau duduk. Setelah Yang Mulia Assaji menyelesaikan makannya, pertapa Upatissa menuangkan air minum dari kendi airnya. Sesudah ia melakukan tugas-tugas seorang murid kepada gurunya, ia menyampaikan salam hormat dengan penuh kebahagiaan dan berkata kepada Beliau : “Tenang dan damai, O bhikkhu, kesadaran Anda penuh, kulit Anda terang dan bersih. Untuk kepentingan siapakah, O bhikkhu, Anda meninggalkan kehidupan duniawi? Siapakah guru Anda? Ajaran apakah yang Anda anut?”

Yang Mulia Assaji berpikir, ‘Pertapa pengelana ini mempunyai kepercayaan berlawanan dengan apa yang saya pelajari; karena itulah saya akan menunjukkan kepadanya inti ajaran Dhamma Yang Mulia ini.’

Tetapi pertama-tama Beliau menerangkan bahwa Ia sendiri baru saja menjadi seorang bhikkhu, lalu berkata : “Saudaraku, Saya baru saja mulai dan belum lama menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu, dan baru saja mempelajari Dhamma Yang Mulia (Ajaran dan Peraturan) ini; saya tidak mampu untuk menjelaskannya panjang lebar.”

Upatissa menjawab : “Saya Upatissa, katakanlah banyak ataupun sedikit sesuai dengan kemampuan Anda, O bhikkhu; saya akan berusaha untuk menyelami artinya dengan seratus ataupun seribu macam cara.”

Kemudian ia berkata lagi : “Katakanlah sedikit atau banyak; Katakanlah hanya isi pokoknya saja; Saya hanya butuh isi pokoknya saja; Mengapa mengucapkan dengan banyak kata-kata?”

Yang Mulia Assaji lalu menjawab dengan baris pertama dari syair ini :
“Segala sesuatu dihasilkan dari sebuah sebab;
Sebab ini telah dikatakan oleh Sang Tathagata.”

Setelah Pertapa Upatissa mendengar baris pertama ini, ia langsung mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana), sempurna di dalam seribu jalan. Segera setelah ia mencapai Tingkat Kesucian Pertama, Yang Mulia Assaji lalu mengucapkan baris yang kedua :
“Dan juga bagaimana menghentikannya;
Hal ini juga telah dikatakan oleh Sang Tathagata.”

Sesudah Pertapa Upatissa mencapai Tingkat Kesucian Pertama, Tingkat Kesucian Kedua (Sakadagami) tidak muncul. Karena itulah ia berpikir, ‘Pasti ada alasan untuk hal ini,’ ia lalu berkata kepada Yang Mulia Assaji : “Jangan Anda ajarkan Dhamma ini lebih jauh lagi, ini sudah cukup. Di manakah Sang Guru Agung berdiam?”

“Di Veluvana, saudaraku.”

“Baiklah, Yang Mulia, silakah Anda meneruskan perjalanan Anda. Saya mempunyai seorang sahabat, saya dan dia sudah membuat perjanjian apabila salah satu di antara kita mencapai Kebebasan harus memberitahukan kepada yang lain. Saya harus menepati janji ini. Saya akan membawa sahabat saya ini dan pergi menemui Sang Buddha, mengikuti jalan yang sama seperti Yang Mulia ambil.”

Setelah berkata demikian, Upatissa menjatuhkan dirinya dengan berlutut di depan kaki Yang Mulia Assaji, memutarinya tiga kali sesuai arah jarum jam dan kemudian meninggalkan Yang Mulia Assaji lalu pergi mencari sahabatnya, Pertapa Kolita.

Pertapa Kolita melihat sahabatnya datang menghampirinya, berpikir : “Hari ini paras muka sahabatku ini bersinar terang tidak seperti hari-hari yang lalu, pasti ia telah memperoleh Kebebasan.”

Ia lalu bertanya kepada Pertapa Upatissa, apakah ia telah memperoleh Kebebasan. Upatissa menjawab : “Ya, saudaraku, saya telah memperoleh Kebebasan.”

Setelah berkata demikian ia mengulangi syair yang dikatakan oleh Yang Mulia Assaji. Pada akhir syair itu Kolita mencapai tingkat kesucian. Kemudian Kolita berkata : “Sahabatku, di manakah Sang Guru Agung berdiam?”

“Di Veluvana, sahabatku. Dan saya diberitahu oleh guru kita, Yang Mulia Assaji.”

“Baiklah, sahabatku, marilah kita pergi menemui Sang Guru Agung.”

Pada saat itu, terlihat sifat yang berbeda dari Pertapa Upatissa yaitu ia selalu mengingat gurunya dengan penuh rasa hormat. Karena itulah ia berkata kepada sahabatnya itu : “Sahabatku, marilah kita memberitahukan hal ini kepada guru kita, Pertapa Sanjaya, bahwa kita telah mencapai Kebebasan. Semoga ia tersadar dan mengerti. Tetapi apabila ia tidak dapat mengerti, ia akan percaya bahwa apa yang kita katakan adalah benar; dan bila dengan segera ia mendengar Ajaran Sang Buddha, ia akan memperoleh Jalan dan Tingkat Kesucian.”

Kemudian kedua pertapa ini pergi mengunjungi Pertapa Sanjaya. Ketika Pertapa Sanjaya melihat kedua muridnya, ia bertanya : “Saudara-saudaraku, sudahkah kamu berhasil menemukan seseorang yang dapat menunjukkan Jalan Kebebasan?”

“Ya guru, kami sudah menemukannya. Sang Buddha telah muncul di dunia ini, Dhamma telah muncul, demikian juga Sangha telah muncul pula. Sedangkan anda sendiri, guruku, anda berjalan di jalan yang tidak nyata dengan sia-sia. Marilah, guru, ikutlah bersama kami untuk menemui Sang Guru Agung.”

“Kamu boleh pergi; saya tidak dapat pergi.”

“Apa alasan guru?”

“Pada masa sebelum ini saya telah menjadi seorang guru dengan murid yang begitu banyak. Tidak pernah terlintas dalam pemikiran saya untuk kembali menjadi seorang murid. Saya tidak dapat hidup sebagai seorang murid.”

“Guru, jangan berpikiran seperti itu.”

“Tidak apa-apa saudara, pergilah, saya tidak dapat pergi.”

“Guru, pada saat Sang Buddha muncul di dunia ini, rakyat jelata akan membawa minyak wangi, bunga rampai dan sebagainya di tangan mereka sendiri, kemudian pergi dan mempersembahkannya sendiri kepada Sang Guru Agung. Marilah kita pergi ke sana. Apa yang ingin anda lakukan?”

“Saudaraku, lebih banyak yang mana di dunia, orang bodoh atau orang bijaksana?”

“Guru, orang bodoh lebih banyak, dan orang bijaksana amat sedikit.”

“Kalau demikian, biarlah orang bijaksana pergi menemui Sang Buddha Gotama dan biarkanlah orang bodoh datang kepadaku yang bodoh ini. Kamu dapat pergi, saya tidak akan pergi.”

“Kamu akan menjadi orang terkenal, guru!” kata kedua pertapa muda itu, kemudian mereka pergi.

Setelah mereka pergi, murid-murid Pertapa Sanjaya terpecah dan dengan seketika hutan itu menjadi sepi. Ketika Pertapa Sanjaya melihat hutan itu sepi, ia lalu muntah darah. Lima ratus pertapa menyertai kedua pertapa itu memulai perjalanan menemui Sang Buddha. Dua ratus lima puluh pertapa yang masih setia kepada Pertapa Sanjaya balik kembali; dan dua ratus lima puluh pertapa lainnya diterima sebagai murid kedua pertapa itu, dan membawa mereka menuju Veluvana.

Ketika itu Sang Buddha sedang duduk di tengah-tengah murid-muridNya membabarkan Dhamma, Beliau melihat dua orang pertapa mendatangi dari kejauhan. Beliau lalu berkata kepada murid-muridNya : “O para bhikkhu, ada dua sahabat yang baru datang, Kolita dan Upatissa. Mereka akan menjadi sepasang pengikutKu, menjadi seorang pemimpin dan seorang yang bijaksana.”

Kedua pertapa itu lalu bernamaskara kepada Sang Guru Agung, dan duduk dengan penuh hormat pada satu sisi, lalu berkata kepada Sang Buddha : “Yang Mulia, kami ingin sekali diterima menjadi Anggota Sangha di bawah perlindungan Yang Maha Sempurna; kami akan melaksanakan segala kewajiban kami.”

Sang Guru Agung menjawab : “Datanglah kemari, o bhikkhu! Dhamma telah diajarkan dengan baik. Jalanilah kehidupan suci, maka pada akhirnya semua penderitaan dapat disingkirkan.”

Dengan segera mereka memiliki mangkuk dan jubah yang diciptakan oleh kemampuan spiritual yang tinggi, dan menjadikan tempat itu sebagai tempat para bhikkhu berdiam ratusan tahun lamanya.

Bertambahnya jumlah murid-murid Sang Buddha, menyebabkan Sang Guru Agung meningkatkan pembabaran Dhamma kepada mereka. Dengan perkecualian kedua Murid Utama ini, semua murid Sang Buddha telah mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi, menjadi Arahat.

Kedua Murid Utama ini tidak dapat menyempurnakan meditasi yang membawa kepada Tingkat Kesucian Tertinggi. Apa alasannya? Hal ini disebabkan karena luasnya kesempurnaan pengetahuan kedua Murid Utama ini.

Saat itu, Yang Mulia Moggallana (Kolita) yang berdiam di dekat sebuah desa Kallavala di Kerajaan Magadha menjadi segan dan malas pada hari ketujuh sesudah beliau menerima pentahbisan menjadi bhikkhu. Kemudian Sang Guru Agung membangunkan semangatnya, sehingga beliau membuang keseganan dan kemalasannya, dan mulai mempraktekkan rumus-rumus latihan meditasi tentang elemen (unsur) yang diberikan Sang Tathagata kepadanya. Kemudian beliau dapat menyempurnakan meditasinya, yang membawanya kepada tiga tingkat kesucian yang lebih tinggi dan mencapai Kesempurnaan Pengetahuan sebagai Murid Utama.

Demikian pula Yang Mulia Sariputta (Upatissa), beliau menghabiskan waktunya selama empat belas hari setelah menerima pentahbisan menjadi bhikkhu oleh Sang Buddha bertempat tinggal di Gua Sukarakhata dekat dengan Kota Rajagaha. Mendengar keterangan tentang Vedanapariggaha Sutta dari anak laki-laki saudara perempuan beliau, yaitu Pertapa Dighanakha, beliau kemudian mempergunakan sutta ini dalam mengembangkan latihan meditasinya, seperti seorang laki-laki makan nasi yang dimasak oleh laki-laki lainnya. Akhirnya Beliau mencapai tujuan Kesempurnaan Pengetahuan sebagai Murid Utama.

(Meskipun Yang Mulia Sariputta adalah seorang yang mempunyai kepandaian yang amat tinggi, mengapa Beliau membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai Tingkat Kesempurnaan Pengetahuan sebagai Murid Utama? Karena sebagai pemula Beliau amat teliti. Kita harus mengerti sebabnya, diumpamakan seperti seorang raja yang ingin melaksanakan perjalanan, ia memerintahkan pengawalnya untuk mempersiapkan segala sesuatu dengan baik, seperti ahli penunggang gajah dan sebagainya. Sebaliknya dengan orang yang miskin, yang tidak punya apa-apa, ke manapun ia ingin pergi, dengan segera ia pergi tanpa ada kesibukan.)

Pada hari ketika Yang Mulia Sariputta dan Yang Mulia Moggallana ditahbiskan menjadi Anggota Sangha, Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya di Veluvana dan menunjuk kedua bhikkhu baru ini sebagai Murid Utama, kemudian membabarkan Patimokkha.

sumber : http://samaggi-phala.or.id

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com